9. SALUT D'AMOUR (SALAM CINTA) PART 2 [END]

37 3 21
                                    

(Note : Saat mendengarkan musik, disarankan menggunakan earphone )

Sarasvati Kusuma

Menurut sejarah, Edward Elgar menulis komposisi "Salut d'Amour" untuk melamar kekasihnya, Caroline Alice Robert. Sebagai balasan, tunangannya menulis kumpulan puisi berjudul "The Wind at Dawn" untuk dihadiahkan kepada Elgar. Sebuah hubungan yang manis. Manakala pasangan saling memberi dan saling menerima. Bukankah seharusnya semua bentuk cinta seperti ini?

"Gendhuk cantikku!" seru Mama dengan suara manja dan ceria khasnya saat menyambutku tiba di kediaman utama keluarga Kusuma. Papa menamainya Griya Trisna, atau Rumah Cinta. Kompleks bangunan seluas 1,5 hektar hasil pemugaran rumah peninggalan kakek buyutku.

"Mama," sapaku saat menyambut pelukannya. Padahal, kami selalu berkomunikasi. Namun, bertemu langsung memang berbeda dengan pertemuan virtual. Itu sebabnya manusia harus sering saling bertemu. Merasakan fisik dan keberadaan masing-masing.

"Gimana penerbangannya? Tadi Pak Satrio nggak telat jemput, 'kan?" berondong Mama saat menggiringku memasuki rumah. Sementara, seorang penjaga dan petugas rumah tangga membawakan barang-barangku ke kamar.

"Lancar, kok, Ma. Pak Satrio malah datangnya in time," jelasku.

Mama menatap haru sekaligus lega seraya mengusap kepalaku. "Ketemu Papa dulu, ya. Beliau lagi terima telepon di ruang kerjanya. Biasa, tawaran dari parpol buat jadi kepala daerah," jelasnya.

Aku dan Mama kompak tertawa kecil. Sudah biasa bagi kami mendengar berita mengenai tawaran jabatan politik untuk Papa. Sebagai seorang mantan perwira yang cukup berjasa bagi negara, tentu figur Papa adalah pertimbangan ideal sebagai kepala daerah. Namun, tidak sedikit juga dari para politisi tersebut yang datang untuk sekadar meminta dukungan.

Papa baru menyelesaikan komunikasinya ketika aku dan Mama tiba. "Papa," sapaku.

"Hey, little cactus! Come, come." Papa mengundangku mendekat, lalu memeluk erat menyambutku. "Aduh, kangennya, Papa. You look so tiny. Kamu jarang makan di sana? Hm?"

Aku tertawa kecil mendengar pertanyaannya. "Sara makan banyak, Pa. Tapi banyak gerak juga. Mungkin kalorinya terbuang di situ," jelasku. Papa sejak dulu selalu khawatir bila melihat tubuhku kurus. Bahkan lebih khawatir dibandingkan Mama. Dia sampai melarangku mengikuti kelas balet ketika SMA karena melihat betapa kurus tubuh para penarinya.

"Mbak Sara!" Suara menggelegar tersebut memasuki gendang telingaku saat aku serta kedua orang tuaku tengah melanjutkan obrolan di ruang kerja Papa.

"He's already waiting for you since yesterday," tutur Mama padaku.

Benar saja. Pintu ruang kerja Papa segera tersibak dan muncullah seorang pria bertubuh gempal. Tingginya sama dengan Papa dengan wajah kemerah-merahan yang selalu tampak berseri. Tanpa basa-basi, pria tersebut segera menghambur memelukku seolah akan meremukkan setiap tulang.

"Abyakta, sudah. Kakakmu bisa jadi serbuk manusia, nanti," tegur Papa yang membuat pria tersebut segera melepaskan pelukannya. Namun, dia masih menatapku haru. Di antara keempat adikku, Abyakta si anak bungsu paling mirip Mama. Mulai dari bakat, bahkan fisiknya.

"I miss you so much," ucap Abyakta padaku.

"I don't."

"Ya udah, sana. Balik ke Sumbawa. Nikah sama kuda sekalian," sewot Abyakta yang membuat Mama dan Papa kompak tertawa. Beberapa saat kemudian, Ravindra, si anak ketiga, bergabung dengan kami. Dia baru saja dari mengurus kuda-kuda kesayangannya di istal. Sementara, Wijaya, si anak keempat yang merangkap asisten Papa, baru bisa pulang pada waktu makan malam. Dia mewakili Papa menghadiri rapat komisaris di salah satu hotel di Yogyakarta. Indra, adik tertuaku, tentu saja tidak bisa hadir. Dia berdinas di Jakarta dan hanya mengabariku melalui sambungan telepon.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Noona, You're So Pretty (Short Stories)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang