Shanin membuka sebuah pintu bercat putih. Pemandangannya langsung disambut rak-rak tinggi yang diisi berbagai macam buku. Aroma apek karena lama tak dikunjungi begitu terasa. Tentu Seria tidak punya alasan untuk masuk ke sini. Dari dulu bagi gadis itu, ruangan ini sama halnya seperti penjara.
Shanin mendudukkan dirinya pada sebuah kursi goyang. Wajahnya menengadah menatap langit-langit. Salah satu kakinya bertumpu pada rak, membuat gerakan mendorong dan kursi itu pun mulai bergoyang. Tubuh Shanin terayun-ayun dengan derit kecil dari kursi yang sudah tua.
Shanin cukup merasa lelah. Sepertinya dia harus tidur sebentar sebelum pulang ke apartemen nanti. Meskipun bertekad melupakan semua yang ada di sini, nyatanya Shanin tak bisa benar-benar pergi. Ini masih tetap rumahnya, tempat segala kenangan tercipta dan tersimpan di kepalanya.
Shanin mengusap-usap kepalanya sendiri lalu mulai memejamkan matanya. Suasana malam yang sunyi, derit kursi pun menjadi nyanyian pengantar tidurnya. Shanin perlahan mulai kehilangan kesadaran hingga tiba-tiba ponselnya berbunyi dan membuat Shanin membuka matanya dengan raut terkaget.
Shanin menepuk dadanya untuk meringankan sesak. Dia merogoh ponselnya lalu mengangkat telepon itu.
"Kenapa belum keluar? Nggak makan malam?" Orang di seberang sana langsung menyambut dengan sebuah pertanyaan.
"Siapa?" Shanin balik bertanya. Bukannya menghilangkan sesak, tepukan yang Shanin lakukan padanya justru mengundang rasa mual. Ini kacau.
"Zio."
Kening Shanin berkerut-kerut. "Siapa?" ulangnya. Shanin terlihat tidak nyaman.
Alih-alih memperjelas, orang di seberang sana terdengar menghela napas.
"Nggak mau makan?"
"Siapa?" tanya Shanin lagi. Kali ini dirinya memegangi kepala yang terasa sakit. Shanin mengerjap-ngerjap saat isi pandangannya berubah buram. Berkali-kali, tapi keadaannya malah semakin terlihat gelap.
"Di mana sekarang?"
Prak!
Ponsel Shanin terjatuh saat pemiliknya tak sadarkan diri.
oOo
Shanin tengah membaca dengan kilat buku di tangan kirinya sementara tangan kanan sibuk memasukkan peralatan sekolah ke dalam tas. Bibir Shanin berkomat-kamit dengan cepat setelah melihat jam yang mengartikan bahwa waktunya tidak banyak.
Bel di depan pun tiba-tiba berbunyi. Anne mengetahui passcode-nya dan tentu dia tidak akan datang pagi seperti ini. Dia pasti sibuk untuk persiapan pergi ke kantor. Kemarin Anne memberi tahu soal problem yang terjadi di perusahaan mendiang ayahnya itu.
"Sebentar," ucap Shanin begitu orang di luar sana tidak bisa bersabar. Setelahnya Shanin pun merutuki karena suara dirinya tidak akan terdengar orang yang tidak ada kerjaan itu.
"Ini masih pagi. Ada urusan apa sih?"
Shanin menutup tasnya kemudian berjalan cepat keluar dari kamar. Sepertinya orang itu akan membobol pintunya jika Shanin tidak cepat-cepat keluar.
"Ada apa?" tanya Shanin dengan raut kesal. Zio ada di hadapannya dengan seragam sekolah yang juga lengkap sepertinya. Shanin tidak kaget. Lebih kaget jika orang lain yang datang, yang notabenenya pasti tidak Shanin kenal. Sosial Shanin memang belum mengalami perkembangan di sini.
"Yuk."
"Yuk?" Shanin mengulang dengan kerutan samar.
"Lupa kalau setelah kamu terima uluran aku kemarin, kamu harus selalu sama aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Untitled Memories
Подростковая литератураShanin kehilangan adiknya, satu-satunya keluarga yang dirinya punya. Hingga terkuak fakta jika adiknya ternyata bukan murni meninggal karena kecelakaan, tapi dibunuh! Sebuah bukti mengarah pada Zionathan, orang yang punya kuasa tinggi hingga mudah m...