33. Nata

17 4 4
                                    

Tidak usah mempedulikan penilaian orang lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak usah mempedulikan penilaian orang lain. Berbanggalah atas apa yang telah kamu lalui.

~ Saujana

❃.✮:▹ ◃:✮.❃

*TYPO TANDAIN.

Sudut Pandang Nata

Aku terbangun di pagi-pagi sekali. Sekitar pukul setengah empat pagi. Setelah melaksanakan kewajibanku sebagai muslim, aku bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Aku keluar dari kamar dengan dasi abu yang belum terpasang. Sambil menuruni anak tangga aku benahi dasi yang berantakan itu. Di lantai satu, aku sudah disuguhkan oleh masakan Bi Mimin. Sepiring Nasi Goreng. Masakan buatan Bi Mimin itu menjadi makanan favorit ku sejak dulu. Aku segera duduk di meja makan dan memakan nya.

“Ada yang perlu bibi siapin nggak, Den?” Tanya Bi Mimin di sela-sela makanan ku.

Aku menelan makanan yang ada di dalam mulut lalu menjawab. “Enggak ada bi, nanti aja pulang sekolah kalau mau main.”

Bi Mimin mengangguk paham. “Ohiya, tadi Bapa pesen katanya Bapa mau ke luar kota tiga hari.” Ucap nya.

Aku mengangguk. “Iya, Bi,” Papa memang sangat gila kerja. Tetapi, aku tahu sedikit alasan mengapa papa segila itu pada pekerjaannya. Walaupun aku sering merasa kesal dengan sikap papa yang seperti itu, tapi aku selalu berdoa agar papa memiliki kehidupan yang lebih lama, sehingga aku selalu bisa melihat raga nya berlalu lalang di rumah ini.

“Yaudah atuh, Den, bibi ke belakang lagi, ya,” Kata Bi Mimin padaku.

Aku melanjutkan makanku sampai habis. Setelah itu aku membawa piring kotor itu ke wastafel yang ada di dapur. Mang Toto muncul dari belakang sambil menenteng gunting rumput. “Berangkat, den,” Kata nya padaku.

“Iya, mang,” jawabku.

Dua pengurus rumahku sudah ada sejak aku masih kecil. Aku sudah menganggap keduanya seperti keluarga sendiri, bukan orang asing lagi. Baik Bi Mimin maupun Mang Toto, mereka orang yang sangat berjasa dalam hidup ku. Ketika Mama tiada, dan Papa sibuk dengan perkerjaan nya, merekalah yang mengurusku. Aku harap mereka sehat selalu dan mau bertahan lama di rumah ku.

Aku keluar dari rumah untuk pergi ke sekolah. Berbeda dengan kemarin kini aku kembali memakai motorku. Sebelum pergi ke sekolah seperti biasa anu menjemput Arina, gadisku.
Gadisku yang sangat cantik.

Jika tidak macet aku akan sampai dirumahnya dalam waktu sepuluh menit saja dari rumahku. Tentunya dengan kecepatan yang lebih tinggi daripada kecepatan standar di jalan raya. Sesampainya di rumah Arina, aku disambut oleh ibu yang sedang menyiram bunga. Tetapi, aku tidak melihat ayah. Mungkin beliau sudah pergi ke toko lebih awal.

“Ibuuu, Assalamu'alaikum.” Aku menyalami tangan ibu Arina.

Tidak lama Arina keluar dari dalam rumah. Kami kembali berpamitan pada ibu lalu pergi ke sekolah.

SAUJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang