Our Date

0 0 0
                                    

"Nih tapi jangan ngadu ke Mamah ya aku beliin kamu ini." Ucap Zahir sambil memberikan sebuah plastik  berisikan jajanan pinggiran yang biasa mereka beli ketika mereka pergi bersama sepulang sekolah seperti saat ini.

"Gak bakalan lah, lagian aku cuma bisa makan makanan kayak gini kalau lagi jalan sama kamu doang. Kalau lagi di rumah mana bisa aku makan micin-micinan."

"Ya itu karena orang tua kamu pengen yang terbaik untuk anak semata wayangnya."

"Tapi yang terbaik rasanya hambar."

"Yang terbaik gak berarti yang kamu suka." Aneth menatap Zahir dengan sebuah senyum kecil. Zahir selalu bisa menyulap sebuah kalimat sederhana menjadi bermakna.

"Makasih ya buat jajananan dan filosofi hidupnya." Aneth menyikut lengan Zahir dan tertawa.

"Kamu tuh kalau dikasih tau dengerin jangan ngeyel." Ucap Zahir sambil mencubit cuping hidung Aneth.

"Aku gak ngeyel lho, malah aku suka kalau kamu udah ngasih wejangan-wejangan hidup kayak tadi." Aneth tertawa diujung kalimatnya.

"Aku selalu pengen ngasih kamu yang terbaik, dari yang aku punya, sekalipun secara objektif aku gak punya apa-apa."

"Kata siapa? kamu punya banyak hal yang orang gak punya, kamu bisa bikin hal sederhaan jadi penuh makna, aku bisa bikin kalimat dangkal jadi punya arti yang mendalam, kamu bisa jadi apapun yang kamu mau." Aneth menyandarkan kepalanya pada bahu pria itu.

"Kamu kenapa selalu punya pikiran yang positif buat aku, tapi gak bisa ngelakuin hal yang sama ke diri kamu sendiri?"

"Karna itu tugas kamu." Zahir refleks terkekeh mendengar pernyataan tersebut. Hidup rasanya terlalu sempurna untuk dikeluhkan saat ia bersama Zahir. Aneth selalu bertanya-tanya dalam hatinya, mengapa banyak perempuan begitu mengidam-idamkan pria nakal seakan mereka yang suka tawuran dan berani baku hantam adalah laki-laki keren dan pemberani yang dianggap bisa menjaga mereka dan membuat mereka merasa lebih aman. Padahal laki-laki seperti itu justru yang paling besar potensinya menjadi suami yang suka melakukan praktik KDRT di masa depan. Selabil itukah mentalitas remaja jaman sekarang, hingga apa yang mereka baca mempersuasi mereka begitu mudahnya, bahkan hingga tahap di mana mereka sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang baik dan benar di usia mereka yang sudah mampu berpikir. "Hir."

"Iya sayang?"

"Kamu gak mau jadi cowok yang maco-maco gitu?"

"Emang cowok maco menurut kamu itu yang kayak gimana?"

"Kayak kamu."

"Kalau cowok maco menurut kamu itu yang kayak aku, terus kenapa kamu masih minta aku buat jadi maco."

"Karna kalau ngeliat definisi maco di masyarakat sih, maco tuh cowok yang biasanya suka berantem atau baku hantam gitu."

"Kamu mau aku jadi cowok yang suka berantem?"

"Enggak juga sih."

"Jadi maunya aku jadi maco atau enggak?"

"Aku mau kamu jadi diri kamu sendiri aja deh, hehehe."

"Labil." Zahir mengambil plastik yang isinya sudah habis lebih dari setengah dari tangan Aneth. "Udah cukup micin hari ini." Hal itu membuat Aneht memberengut sebal.

"Aku cuma dapet jajanan kayak gitu kalau sama kamu, itu juga jarang banget, kenapa masih harus dibatesin sih?"

"Karna cowok maco gak bakal peduli sama kandungan gizi atau makanan yang kamu konsumsi, but i do." Aneth tetap memberengut mendengar hal itu, namun Zahir tidak memberikan kembali apa yang sudah berada di tangannya. "Kita pulang yuk, udah sore." Ajak Zahir sambil menggandeng lengan Aneth yang malas-malasan mengikuti langkah Zahir menuju motor tuanya yang berisik tapi masih layak di pakai, setidaknya itu yang Zahir pikir, namun sebenarnya standar mereka berbeda, Aneth yang lahir dari keluarga berkecukupan sudah berkali-kali menawari Zahir untuk mengganti motor tuanya, karena sebagai penumpang setia motor itu, Aneth merasa keberatan saat motor tersebut tiba-tiba berhenti tanpa sebab atau mogok selama berhari-hari.

"Kamu gak mau ganti motor aja? Katanya kamu mau ngelamar kerja part time jadi kurir." Aneth mencoba untuk kesekian puluh kalinya merayu Zahir untuk mengganti motornya.

"Motor ini udah cukup banget buat aku Aneth sayang." Kalimat akhirnya mendayu begitu lembut sekalipun jauh didalam hatinya ia sedikit tersinggung.

"Cukup bukan berarti layak." Aneth langsung terdiam, ia sadar mulutnya lancang sekali.

"Aneth ... " Zahir menghela sambil menatap Aneth dengan penuh pengertian. "kamu kan tahu kalau aku-"

"Iya aku tahu, aku nyuruh kamu buat ganti motor bukan berarti aku gak ngerti keadaan kamu, aku yang bakal beliin buat kamu, tapi please ganti motor ya?"

"Motor ini udah nemenin keluarga aku selama bertahun-tahun bahkan motor ini udah ada sebelum aku lahir."

"Iya dan udah saatnya motor ini pensiun dari tugasnya."

"Selagi dia masih bisa jalan, aku gak bakal ganti."

"Dia jalan aja udah engap-engapan, seminggu bisa mogok 4 kali dan kamu masih nganggep motor ini layak buat jalan?."

"Terus kamu mau aku ganti motor? Uang dari mana aku Neth?"

"Aku kan udah bilang puluhan kali, aku yang beliin."

"Dan aku juga udah nolak itu puluhan kali, artinya aku emang gak mau sayang." Zahir masih terus bersikap lembut sekalipum mereka sebenarnya berada dalam sebuah perdebatan sengit.

"Kenapa kamu selalu nolak?."

"Itu bukan sesuatu yang harus dipertanyakan Aneth, aku ini laki-laki, mau di taruh di mana muka aku kalau kamu beliin aku motor?."

"Kamu sepeduli itu sama pandangan orang lain ke kamu?."

"Ini bukan soal apa kata orang, tapi ini perkara moralitas, emang gak seharusnya seorang laki-laki nerima materi dari perempuan apa lagi kamu itu pacar aku, kamu gak seharusnya bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan aku."

"Tapi Hir, motor ini yang pake bukan cuma kamu, tapi aku juga. Aku yang tiap hari jadi penumpang motor ini, aku juga bagian dari pengguna motor ini, jadi kalaupun aku beliin kamu motor baru, itu gak sepenuhnya buat kamu, tapi juga buat aku."

"Kalau kamu gak nyaman pake motor ini karena suka mati mendadak, aku minta maaf ya sayang, aku emang gak punya sesuatu yang lebih layak, seengaknya untuk saat ini aku belum mampu, tapi aku yakin suatu hari nanti aku bisa kasih kamu hal yang lebih, tapi tolong, selama aku masih berproses kamu ngerti ya? Aku juga bukannya gak mau ngasih kamu yang terbaik, tapi buka kayak giini caranya, biarin aku berusaha bahagiain kamu pake usahaku sendiri, ya?" Zahir mengusap pipi Aneth yang hanya menatapnya dengan tatapan pasrah dan diakhiri dengan sebuah anggukan lemah yang diiringi oleh sebuah helaan nafas pendek. "Makasih ya sayang, aku janji aku bakalan lebih apik ngerawat motor aku biar pas jalan sama kamu gak mogok-mogok hehehe."

"Makasih ya udah mau berusaha." Aneth memeluk Zahir dan dibalas dengan sebuah dekapan hangat yang menutup kencan mingguan mereka sore itu.

Dirimu yang Ada Namun Hilang Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang