"Aku membencimu."
#Kring
Karina memukul alarm yang telah berdering selama lebih dari sepeluh menit itu. Matanya yang kini terbuka lebar, memandang langit-langit kamarnya dengan tajam. Matanya merah, pertanda bahwa dirinya masih merindukan alam mimpi. Namun realita tak mengijinkan dia untuk tinggal berlama-lama diatas kasur empuknya. Ia mengusap wajahnya melayangkan pandangannya pada jam yang hampir rusak dibuatnya.
6.30
Angka-angka itu bagaikan sebuah tatapan tajam yang membuat ia memalingkan wajahnya, walau tak rela ia pun mulai bangkit dari kasurnya berniat untuk segera bersiap-siap untuk pergi bekerja.
Rutinitas yang membosankan, Karina hampir saja memuntahkan isi perutnya saat ia tak sengaja memasukan sikat giginya terlalu dalam ke mulut. Ia memejamkan matanya merutuki dirinya yang masih setengah mengantuk itu. Ia pun menatap wajahnya, dihadapan Karina ada cermin yang memantulkan wajahnya. Lingkaran hitam tampak bangga bergantung dibawah matanya, Karina tersenyum tipis dan ia berpikir sejak kapan bibirnya menjadi kering?
Apakah karena udara semakin panas?
Atau kah dia kurang minum air putih?Namun Karina tahu betul bahwa jawaban dari pertanyaan itu adalah ia yang akhir-akhir ini terlalu banyak mengonsumsi minuman keras.
Karina membasuh wajahnya, berusaha menghilangkan tanda-tanda keputusasaan dari sana, berharap bahwa air bisa menghanyutkan segala rasa frustasi yang kini tengah ia rasakan.
Karina beranjak keluar dari kamar mandi, satu tangan mengeringkan rambutnya dengan handuk sedangkan tangan yang lain mengotak-atik ponsel. Ia membuka email dan mendapati sebuah surel dari atasannya, Karina mendecih namun tak sedikit pun berniat untuk membalas pesan itu.
Ia menghembuskan napasnya, dadanya serasa berat ketika pikirannya secara spontan melayang pada seseorang yang berusaha ia lupakan. Jempolnya mengusap layar, membaca ruang chat dari seseorang yang selalu ia nantikan, sudah dua bulan ia tidak menerima pesan dari orang itu. Namun seketika matanya membulat tatkala tulisan typing tampak bersanding dengan nama kontak itu. Jantungnya berdetak dengan cepat namun kontras dengan irama yang tak beraturan itu, waktu pun terasa bergulir lebih pelan.
Saat gawai itu bergetar dan sebuah kalimat memenuhi pandangan Karina, ia bergejolak.
Semalam Sungchan melamarku.
Karina melempar telepon genggamnya, rasa frustasi dan kegundahan yang membludak memenuhi pikirannya. Tangannya bergetar mencoba meraih sebungkus rokok yang berada di kolong tempat tidurnya, namun ketika ponselnya berdering dan Karina tahu betul siapa yang menelpon dari nada dering yang telah ia setting itu--ia segera melompat.
Meraih ponsel yang jauh terjatuh dari tempat ia berdiri, bahkan rela melemparkan tubuhnya seolah-olah jika ia terlambat sedetik pun maka ponsel itu tidak akan berbunyi lagi.
Dan ia pun berhasil memencet tombol hijau.
"... Jimin?"
Napasnya tersendat ketika ia mendengar suara itu, lututnya melemah, kening yang selalu berkerut kini melemas, rahang yang selalu terkatup kini menyerah. Seketika atas dasar mendengar suara itu, seluruh sistem saraf Karina segera menjadi relaks.
"Min-minjeong?"
"Apa kabar--"
"J-jangan terima la-lamarannya!" Seru Karina
Ia tidak tahu apa yang merasukinya sehingga ia dengan seenaknya berkata demikian, tapi hatinya sakit. Membaca berita dari Minjeong sudah cukup menyakitkan, apalagi jika berita itu menjadi kenyataan.
Untuk sesaat tak ada yang bertukar kata, yang terdengar hanya suara napas Karina yang memberat.
".. Minjeong?" Panggil Karina memastikan bahwa Minjeong masih berada disebrang garis.
Gadis itu bergumam,
"Berikan satu alasan, kenapa aku tidak boleh menerima lamaran itu."Karina membasahi bibirnya, tenggorokan yang kering membuat kata-kata yang keluar terdengar seperti satu tragedi yang terpaksa ia akui.
"Karena aku mencintaimu."
Perkataan itu membuat gadis diujung telepon terkekeh tanpa humor, membuat benang-benang dalam hati Karina seperti ditarik dengan paksa ketika sebuah isakan kecil pecah diujung tawa Minjeong.
"Mencintai takkan pernah bisa cukup jika kamu tidak bisa membuktikannya."
Dan sambungan telepon pun terputus.
Kening Karina saling bertautan, rahangnya kembali terkatup rapat, saraf-sarafnya secara sadar mengunci pergerakannya.
Dan ia pun tidak mampu menyangkal perkataan Minjeong.
Karena benar ia tidak ingin Minjeong menjadi tunangan orang lain dan adalah benar bahwa ia mencintai gadis itu.Namun pada kenyataannya ia terlalu takut untuk menunjukan bukti dari rasa cintanya untuk Minjeong kepada dunia.