Suara wajan dan spatula yang beradu berhasil membangunkan seorang lelaki yang semalam tidur larut. Langkahnya yang pelan tak terdengar oleh pemilik wajan. Matanya masih terkatup-katup, menahan kantuk. Tanpa sadar, kakinya tersandung kaki meja saat hendak mengambil minum.
Ringisannya membuat perempuan yang sedang sibuk di depan kompor menoleh.
"Apa itu? Kamu jatuh? Pelan-pelan dong, Mas."
Lelaki itu menatap sinis pada istrinya yang hanya berkomentar tanpa berusaha menolong. Tampaknya, masakan yang tengah ia buat lebih penting untuk diperhatikan.
"Hari ini aku masak nasi goreng cabai hijau, aku campur dengan sisa daging sapi yang ada di kulkas juga. Terdengar enak, kan?" ujar Naida dengan semangat.
Sandi sebenarnya tidak pernah keberatan dengan masakan Naida, apalagi nasi goreng yang dibuatnya selalu punya cita rasa khas yang sulit ia tolak. Tapi pagi ini, dengan mata yang masih berat dan kantuk yang belum hilang, ia tak ingin memikirkan apa pun selain segelas air untuk menyegarkan dirinya.
Seusai meminum airnya, ia merasa sedikit lebih segar. Suara gesekan wajan dan spatula pun mulai terdengar lebih akrab. Meski lelah, dalam hati ia merasa beruntung memiliki istri yang selalu pandai memasak sesuatu yang spesial untuknya.
Setelah itu, ia berbalik, siap kembali ke kamar untuk melanjutkan tidur.
"Jam sembilan nanti aku mau ke supermarket. Kamu mau temani aku nggak, Mas?" Suara istrinya menghentikan langkahnya.
"Iya, aku temani. Tapi jam sepuluh aja, ya."
Naida tersenyum lebar. Ini momen yang ditunggu-tunggunya. Sandi sendiri sebenarnya juga senang bisa pergi berdua dengan istrinya, yang biasanya lebih banyak menghabiskan waktu di dapur. Namun, ia tahu betul kebiasaan Naida yang suka berlama-lama saat berbelanja.
"Menu ayam lada hitam yang aku buat beberapa hari lalu ternyata banyak yang suka, lho, Mas. Di supermarket nanti aku mau beli bahan-bahannya lagi. Sekalian mau coba-coba menu baru."
Wajah sumringahnya pudar sejenak mendengar rencana istrinya. Tapi tidak apa-apa, dia akan mencoba merayu istrinya agar tidak terlalu lama di bagian bahan masakan.
*____*
Dari awal masuk supermarket, Sandi tidak melepas lengan istrinya, meskipun Naida berusaha melepaskan genggamannya supaya bisa lebih leluasa memilih sayur.
"Mas, lepas dulu dong, tangannya."
"Aku ambilin aja pakai tangan kiriku. Kamu mau yang mana? Paprika merah, hijau, atau kuning?"
"Aku mau yang hijau, yang agak besar."
"Mau berapa biji?"
"Tiga cukup."
Akhirnya, setelah selesai memilih paprika dan sayur-sayur lainnya, mereka berjalan menuju kedai nasi di area luar supermarket. Naida mendahului, duduk di kursi kosong sambil memegang kertas untuk menulis pesanan.
Sandi melirik daftar pesanan istrinya. Ia melihat bahwa Naida memilih menu-menu yang rata-rata pedas.
Oseng sapi mercon, tahu krispi cabai garam, bihun goreng bumbu pedas.
"Noi, yang benar aja kamu. Pilih menu lain, dong! Nanti perut kamu sakit kalau makan pedas semua," tegurnya.
"Ih! Kalau nggak pedas, rasanya kurang, Mas."
"Aku izinin pesan tahu krispi cabai garam aja. Yang lain ganti."
Naida mendesah kesal sambil menulis pesanan dengan tekanan keras, memperlihatkan amarahnya yang memuncak. Sandi hanya tersenyum, lalu mengusap pipinya sebelum mengambil alih pena untuk menuliskan pesanannya sendiri.
"Aku udah pernah makan di sini. Pesanan ini enak banget, kamu nanti harus coba." Dia menunjukkan pesanannya pada Naida yang wajahnya mulai kembali normal.
"Nggak mau, aku nggak mau coba!" balas Naida.
Sandi hanya tersenyum, yakin bahwa istrinya akan penasaran nantinya.
Supermarket yang mereka datangi cukup jauh dari rumah. Sandi memang ingin menghabiskan waktu berdua meski pada akhirnya Naida lebih sibuk dengan sayur, ikan, dan daging di dalam supermarket. Tapi tidak apa-apa, meski terkesan seperti bodyguard yang mengikuti ke mana-mana, dia menikmati setiap momennya.
Eh, bodyguard mana yang menggandeng tangan majikannya dengan erat dan enggan dilepas?
*____*
"Mas."
"Nggak mau, aku nggak mau coba!" Sandi sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan istrinya yang sejak tadi melirik makanannya.
"Ih, aku mau coba sedikit."
"Aw!" Naida menusuk perutnya dengan sumpit. Sandi meringis, tapi senyuman Naida segera menghapus rasa sakitnya. Dengan lembut, Sandi menyuapkan sesendok sup daging yang jadi menu andalan di kedai itu.
"Hm, enak banget!" Naida tersenyum puas.
Sandi mengangguk sambil mengisi piring Naida dengan sup. Perlahan tapi pasti, Naida mulai melupakan pesanannya sendiri dan malah asyik menyantap makanan milik Sandi. Sandi hanya tersenyum, menikmati momen itu, meski harus menyantap makanan yang dipesan istrinya.
*______*
"Kamu tunggu di sini dulu, aku urus pembayaran, ya, Sayang."
Naida mengangguk ragu. "Iya, tapi jangan lama-lama ya, Mas."
Perut kenyang, hati senang. Namun, kejadian tak terduga terjadi saat mereka dalam perjalanan pulang. Ban belakang mobil sebelah kiri terasa aneh. Sandi langsung mencari bengkel terdekat, dan setelah dicek, ban itu bocor tertusuk beberapa paku kecil.
Sambil menunggu ban diperbaiki, Sandi mendengarkan ocehan Naida yang tak henti-hentinya.
"Warna batik cokelat itu bikin laki-laki terlihat keren, deh, Mas. Kapan-kapan kita pakai batik bareng, yuk."
"Kamu udah lama nggak beli topi ya, Mas? Coba lihat brand ini, kayaknya gaya kamu banget."
Sandi menanggapi setiap kalimat random yang keluar dari mulut istrinya. Dan ketika ia menarik napas dalam untuk beristirahat, Naida sudah beralih ke topik lain.
"Coba tanya ke abangnya, Mas. Masih lama nggak? Aku ngantuk nih, lama-lama kena angin begini."
Tepat saat itu, petugas bengkel memanggil Sandi.
"Maaf ya, sudah membuat Mas dan adik Mas terlalu lama. Silakan Mas, udah selesai. Bisa langsung ke tempat pembayaran untuk transaksi."
Apa katanya tadi?
Mas dan adik Mas?
"Ayo, Sayang! Mobilnya sudah siap." Sandi menggandeng tangan Naida dan menggenggamnya erat begitu sudah selesai melakukan pembayaran, ia menunjukkan sisi romantis di depan petugas bengkel yang menyangka Naida adalah adiknya.
"Kok kamu tumben manggil aku sayang, sih, Mas?"
Tanpa aba-aba, Sandi mencium bibir istrinya, yang membuat petugas bengkel terkejut. Sandi hanya tersenyum bangga melihat reaksi Naida yang kini merah padam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Komposisi Cinta (END)
RomansaSegala kebaikan yang ada di muka bumi ini, Naida rasa Sandi memilikinya. Lebih dari sekadar seorang suami, Sandi seperti malaikat. Ya, begitulah yang ia rasa selama menjalani hubungan dengan Sandi. Selama enam bulan pernikahannya dengan Sandi, Naid...