"Apa yang kamu yakini tentang hidup, Juna? — ia menjawab, " Tentang menjalani, lalu mati."
Hidup itu tentang dua keajaiban, hidup dan mati. Ketika semua manusia mempercayai bahwa mati adalah suatu kenyataan paling menakutkan, mereka lupa bahwa hidup lebih dari menyedihkan. Manusia lupa bahwa terkadang kepedihan meniti hari lebih menakutkan dari pada kematian. Meski sekalipun seseorang menghindari betapa sakitnya untuk bertahan dengan guncangan masalah diri sendiri hingga guncangan keterbatasan ekonomi, tetap saja—seseorang itu hidup, untuk menunggu mati. Kita ibarat ranting yang muda menunggu jadi batang lalu menua hingga jatuh lantaran lapuk, lantas pergi dinikmati rayap.
"Maaf, Bujang, gue hanya pengen lo tahu. Gue nggak sebaik yang lo pikir, nggak sepolos yang lo kira." Juna menunduk, kedua lengannya memeluk kedua lututnya dengan rasa sesal.
"Manusia itu munafik, cuman cara sikapnya yang bikin mereka kelihatan suci. Bohong, kalau semua orang jujur, bohong kalau semua manusia suci." Rhuto tetap diam, ia tetap berpura-pura dungu, berpura-pura tetap biasa saja meski begitu sakit rasanya—menerima seseorang yang memang hampir dianggapnya sebagaimana kata Mak Zuhri, Juna itu adik.
"Gue cuman mau tahu kenapa Mama meninggal, kenapa dia harus bundir. Gue cuman tahu kalau keluarga lo satu-satunya yang terlibat waktu itu, gue tahu nama lo karena gue cari berita soal lo, gue—"
"Bisa nggak usah diperjelas? Lo pikir gue goblok? Gue tahu lo sengaja deketin gue pasti ada tujuan, kan?" rasa di dada Rhuto tidak bisa ia tahan-tahan pada akhirnya, Rhuto tetap egois.
"Bukan berarti gue punya niat buruk sama keluarga lo, gue pikir lo pasti tahu soal Mama, kenyataannya nggak." Juna menatap Rhuto, napas lelaki itu memburu penuh emosi, da Juna hanya bersiap dengan kemungkinan.
"Kamu suka 'kan sama Bujang?" tanya Mia, seolah memprovokasi keadaan yang tak genting.
Rhuto menatap ke arah Juna dengan tajam, Mia pun begitu adanya, Juna membuang napas. Memilih tak menjawab, ia menunduk, tidak sama sekali menjawab. Mata Juna hanya tertuju pada lantai besi yang dingin, hingga bermenit-menit menciptakan rasa panas—keringat sebiji jagung dari Mia turun ke dagunya. Ia mendelik ke arah Mbok Bunar, seolah minta jawaban atas permintaannya.
"Jawab Juna!" bentak Mia dengan histeris.
"Diam Mia!" sarkas Rhuto hingga urat lehernya terlihat.
Di dalam booth container itu, semuanya diam. Kecuali deru napas Rhuro yang memburu hingga membuat kedua bahunya bergetar, Mia mengalihkan pandangan matanya, ia menahan air mata. Ia menatap dinding yang jadi saksi rasa sakit di dalam hatinya, Mia manahan tangis tapi tetap saja rasa sakit di hatinya tak bisa terbendung. Ia menangis tanpa suara, matanya menatap ke arah Juna yang melihat ke arah bawah membuat rasa yang tak bisa ditafsirkan semakin bergejolak menciptakan api dalam hatinya.
"Aku iri Juna! Bujang nggak pernah deket sama aku, kamu datang seolah kamu paling akrab sama dia, kamu datang yang selalu sama dia! Aku apa? Aku ibarat sampah yang dibiarin hanyut kalau pun kalian lihat." buliran air mata itu terus jatuh hingg jatuh pada kakinya sendiri.
"Kenapa? Kenapa aku harus kamu anggap asing, Bujang? Iya! Aku tahu kamu nggak suka aku, kamu nggak suka dijodohin sama aku. Aku tahu, tapi seenggaknya kamu hargain aku masak ini itu buat kamu, Mak bilang kamu suka kolak aku bikinin tapi apa? Kamu nggak pernah sedikit pun makan masakanku!"
"Aku tahu kita sekadar orang asing! Tapi aku suka beneran sama kamu! Sakit Bujang, sakit! Sakit karena lo nggak pernah ngehargain aku!"
"Sekarang jawab Juna! Jawab! Kamu suka, kan sama Bujang? Kamu homo, kan? Iyakan!" suara Mia melengking hingga membuat dalam container ini bergema, Mbok Bunar menitikkan air matanya, ia menatap Juna dengan rasa iba.
KAMU SEDANG MEMBACA
HELLO JUNA! | HARUKYU REVISI
Mystery / Thriller(Misteri) Rhuto Al-Delrio kedatangan tetangga baru yang persis menempati rumah kosong terkait kasus wanita gantung diri yang tak terpecahkan. Mak Zuhri bersama Bu Surti kembali memulai aksi prasangka lantaran bertanya-tanya siapa keluarga terseb...