Sudah sepekan lamanya Addara tak masuk sekolah. Rania merasa kesepian. Tak ada yang bisa ia ajak curhat. Ia juga tak bisa hubungi temannya itu karena nomer Addara sudah diganti semenjak masuk ke rumah Dimas.
Hari itu Dimas kembali masuk sekolah untuk mengajar. Kepala sekolah sempat bertanya kenapa Dimas tak masuk mengajar murid-muridnya sepekan terakhir, Pak Dimas menjawab bahwa dia sedang ada kunjungan ke Desa untuk eksplorasi buat tugasnya sebagai seorang jurnalisme. Ya, rupanya Dimas menekuni bidang jurnal sebagai pekerja sampingan. Kepala sekolah menyanyangkan sikap ketidak profesionalannya, karena Dimas harus perfeksionis terhadap posisinya sebagai seorang guru. Namun karena itu hanya sampingan, Dimas hanya ingin mengumpulkan beberapa data atau dokumentasi desa tersebut untuk bisa di unggah di platform tulis menulis. Lebih tepatnya blogger. Jadi tak mengganggu sama sekali.
"Baiklah. Lain kali kalo tidak bisa masuk, izin dulu ke guru piket. Agar murid masih bisa belajar meskipun wali kelasnya tidak hadir."
"Baik, Pak. Sekali lagi saya minta maaf."
Seusai dinasehati, Dimas masuk ke kelasnya untuk mengajar. Semua tampak seperti biasa, hanya saja ada satu bangku kosong yang merusak pemandangan. Ia lantas berkata, "itu siapa yang tidak hadir?" menunjuk ke arah bangku kosong tadi, tepat di sebelah Rania.
"Addara, Pak." Dengan lesunya Rania menjawab.
Dimas tersadar, bukankah Addara---muridnya itu sudah menjadi istrinya. Ia sedikit terhenyak. Tingkahnya menjadi aneh.
"Emhh... eu... anu... emh..." Terlihat kebingungan untuk memulai pelajaran. Ia juga berkali-kali salah mengambil buku untuk mengisi mata pelajarannya.
"Kenapa, Pak?" Rania bertanya.
"Eng---enggak.'
"Sekarang kalian tulis apa yang saya tuliskan di papan tulis. Setelah itu kalian boleh pergi ke perpus untuk mengkaji tentang buku fiksi dan non-fiksi. Dan rangkum apa yang telah kalian baca."
Keberadaan Addara di hidupnya telah mengusik isi pikiran Dimas. Ia bahkan tidak bisa fokus mengisi mata pelajarannya. Lalu Nasya? karena gadis itu Dimas jadi lupa dengan Nasya. Setelah usai jam materinya, ia mengabari kekasihnya itu.
Kring... Handphone milik Nasya berbunyi. Terdapat nama kesayangan yang terpampang di layar handphonenya.
(My future husband💕)
Akan tetapi, kesibukan Nasya dalam menangani pasiennya, telpon itu teracuhkan. Hanya getaran yang menotifikasi, tak sempat untuk dijawabnya.
Akhirnya, hanya meninggalkan notif dua panggilan tak terjawab dari Dimas di layar ponsel Nasya
"Dari tadi kok wajahnya kayak lagi kesel mulu, Pak?" Seseguru menegur Dimas yang terlihat murung menatap ponselnya dengan kosong.
"Biasa. Mungkin masalah perempuan," sahut Bapak guru lainnya.
"Ada masalah apa, Pak? Ayo ceritakan pada kami."
"Tidak. Ini hanya soal waktu saja." Dimas berlalu dari kumpulan bapak-bapak guru itu, menghindari pertanyaan yang akan membuatnya terpojokkan.
***
"Biasanya kalo aku lapar, Ummi yang masakin. Ummi juga yang bersihin bekas makanan ku. Tapi sekarang...aku yang mesti lakuin itu semua."
"Ummi benar. Harusnya dari dulu aku belajar masak, nyuci, bersih-bersih, dan bukannya main... terus." Addara yang sedang cuci piring tetiba teringat pesan Umminya dulu. Ia berbicara sendiri. Mengulang kembali kenangan semasa menjadi tuan putri. Kini dirinya bukanlah seorang putri lagi, melainkan seorang istri yang ditakdirkan menjadi babu.
Nirmala yang tak sengaja mendengar ocehan gadis itu mendekat, diam-diam mengupingnya.
"Apa maksud kamu? Jadi selama ini kamu tak bisa melakukan pekerjaan rumah?"
"Hah? eh... Ibu, anu emh..." Addara kaget melihat keberadaan Nirmala yang datang tiba-tiba.
"Tidak apa-apa, Nak. Kamu bisa belajar disini. Nanti Ibu yang ajarin kamu masak juga."
Selama ini Addara selalu berpikir bahwa mertua itu kejam, galak, tetapi setelah mengenal Nirmala, ternyata pemikiran itu salah. Dari balik cadarnya Addara tersenyum setelah tahu akan diajari oleh Ibu mertuanya.
"Oh ya, nanti setelah beres nyuci piringnya, kamu bersihin meja makannya dulu, setelah itu saya ajarin kamu masak."
"Baik, Bu." Seolah diberi tugas oleh seorang pemimpin, Addara memberikan hormat pada Nirmala layaknya hormat bendera.
Hari semakin siang. Dimas telah usai mengajar. Ia pulang dengan menaiki motornya. Lajunya kian dipercepat karena daya dari handphone sudah menipis. Ia akan segera mencharge baterai handphonenya, kalau tidak kemungkinan besar Nasya akan marah, tak bisa ditelpon balik.
Setelah masuk rumah, tak ada seorang pun yang terlihat. "Kemana perginya semua orang?"
"Mah... Kakak... Bibi..." Teriaknya mencari para penghuni rumah. Dimas berjalan ke arah ruang makan. Ia mencium aroma masakan.
"Mungkin mereka lagi masak." Ia menebak-nebak.
Sambil mencari kabel charger di dalam tasnya. Ia menuju pojokan dekat meja makan, yang dimana ada tempat colokan disana. Dimas pun mencharger handphonenya, dan menaruhnya di atas kursi. Setelah itu ia meninggalkannya.
Tak lama kemudian, Addara datang menuju ruang makan. Gadis yang ceria, ia bernyanyi seolah tak punya masalah hidup.
"Eh bentar. Kata Ibu kan bersihin meja makan, bersihinnya gimana ya?"
"Biasanya Ummi pake kemoceng, tapi..." Addara berbicara sendiri, seraya mencolek meja dengan jari telunjuknya. Kotor. Meja itu sangat kotor.
"Kotor banget sih. Mending aku cuci aja sekalian ya, pake air sabun. Biar bersih kinclong, wangi."
Akhirnya Addara melakukan hal yang konyol. Tali yang ada di pinggang bajunya ia ikat. Dan juga mengikat kain perca yang akan ia gunakan ke kepalanya. Dari tangan kanan kirinya memegang sapu dan ember berisi air sabun yang sudah ia ambil dari WC.
"Hari ini aku akan bekerja..." Melakukan pekerjaannya sambil bernyanyi. Byur.... air itu di siramkan ke meja. Addara pun naik ke atas meja itu.
"Bekerja untuk mencari uang. Bekerja, bekerja.... Hoo..." srek... srekk ... sapu itu menyeret air, membersihkan meja. Dan sesuatu yang buruk terjadi. Air sabun itu mengenai handphone milik Dimas yang sedang di charge diatas kursi.
Teriakan dari nyanyian random Addara mengundang perhatian keluarga Dimas. Mereka berbondong-bondong datang mencari sumber suara, mereka sangat terkejut melihat tingkah Addara yang membersihkan meja makannya dengan cara yang diluar akal.
Bibinya Dimas tertawa, sementara Nirmala menegur Addara. "Ya Allah Ya Rabb. Apa yang kamu lakukan?"
Addara turun dan merasa bangga dengan dirinya karena sudah menyelesaikan pekerjaannya.
"Lihat, Bu! Mejanya sudah bersih, kinclong."
"Tapi bukan seperti itu cara membersihkannya. Lantai pada basah semua gara-gara ulahmu."
Addara tersadar. "Astagfirullah, iya ya. Kok gak kepikiran sih," ucapnya polos.
"Ada apa ini?" Dimas datang memasang wajah keheranannya.
"Kok basah?" Kakinya jinjit-jinjit menginjak lantai basah penuh dengan air sabun. Lantai itu pun licin juga.
"Siapa yang buat ulah?" Dimas melihat ke arah Addara. "Pasti kamu kan?"
Yang ia tuduh tak menyahut, Addara gelagapan saat ingin menjelaskan. Dirinya takut setelah mendengar suara Dimas yang terdengar galak.
"Astaga. Handphone ku." Kabel charger yang terpasang di stop kontak segera Dimas cabut. Ia mengelap handphonenya yang basah.
Tatapan mata sinis juga tajam seketika membuat mental Addara menciut. Dia tak berkutik melihat betapa kesalnya Dimas pada Addara. Kemarahannya memuncak karena tingkah gadis bercadar itu yang kian meresahkan.
"Maafkan aku... Pak"
KAMU SEDANG MEMBACA
Addara
JugendliteraturDi setiap takdir ternyata Tuhan membuat alur kisah yang tak disangka-sangka. Dalam kisah ini, Aku, Addara Kynandra---seorang gadis berusia 18 tahun ditakdirkan untuk menikah dengan seorang laki-laki yang bahkan aku pun baru mengenalnya dalam beberap...