Langit pertengahan musim panas terasa menyengat kulit seorang gadis yang masih betah termenung memandangi sebuah bangunan besar dan mewah, tujuannya pagi itu.
Mata monolid itu meneliti setiap sudut pun seluruh lingkungan civitas academica ternama tersebut. Sesekali ia menghela nafas panjang, mengeratkan pegangannya pada tali tas punggungnya, kala ia mengingat betapa beruntungnya dia karena bisa masuk ke sekolah tersohor itu. Bagaimana tidak, ia hanyalah gadis miskin yang mampu masuk sekolah bergengsi dengan beasiswa.
Mimik mukanya yang datar, tak kunjung menunjukkan ekspresi apapun saat dia melihat mobil mewah bersliweran mengantar sang anak majikan pergi sekolah, atau anak anak itu sendiri yang mengendarainya. Jauh berbeda dengannya, yang harus berjalan kaki setidaknya 150 meter seusai turun di halte bus paling dekat dari sekolah.
Gadis itu cukup tau diri dan sadar dimana ia berada. Kalau ditanya soal harta, derajat dan tahta, ia mungkin selevel dengan cacing didalam tanah jika dibandingkan seluruh murid yang ada. Namun jika bersaing dalam segi kemampuan akademik, ia dengan percaya diri, tak akan kalah dari anak anak konglomerat itu.
Sejujurnya, ia sudah mempersiapkan mental dan hatinya untuk menghabiskan setidaknya tiga tahun di tempat itu. Kemungkinan kemungkinan atas segala kesulitan, caci maki, juga perundungan sudah ia pikirkan sebab ia tau diri tak mungkin kaum marjinal sepertinya akan diterima dengan mudah di singgasana para pemilik kasta tinggi. Seburuk apapun jalannya nanti, ia tak akan pernah menyerah untuk bisa bertahan mengenyam pendidikan yang jauh lebih layak untuknya. Kesempatan emas merubah nasibnya dan juga adiknya menjadi lebih baik. Sekalipun sudah tak ada lagi orang tua yang akan mengarahkan atau membimbingnya, ia sudah paham dan bisa menentukan jalan mana yang harus ia pilih.
"Sekolah ini memang bagus, tapi, apa kau akan berdiri disini seharian?"
"Kamjagiya!!" Entah sejak kapan gadis berperawakan kecil dengan rambut sebahu itu berdiri tepat di sisi kanannya, cukup membuatnya terperanjat kaget.
Sedangkan gadis rambut pendek dengan tubuh yang sedikit 'pendek' itu justru tersenyum lebar. Menertawakan murid baru yang tampaknya terkesima dengan kemegahan sekolah unggulan itu.
"Haha! Kenapa kau malah kaget? Ayo masuk! Sebentar lagi pagar akan ditutup. Jangan coba coba bolos, kalau kau tak mau hidupmu berakhir di ruang Mr. Jones" Cerocosnya sembari menarik tangan yang kini menampilkan raut bingung.
Sadar dengan gadis kecil itu, Seulgi beranjak mengekor masuk halaman sekolah yang tak pernah ada dalam pikirannya. Baginya, gedung dengan arsitektur eropa itu lebih layak dikatakan sebagai istana ketimbang tempat menimba ilmu.
"Kau kelas berapa? Aku baru melihatmu hari ini, apa kau murid baru itu?" Celotehnya lagi.
Merasa tak diberikan jawaban, si gadis berambut pendek menghentikan langkahnya, lantas berbalik badan menghadap seseorang yang ia tarik sedari tadi."Aku Son Seungwan. Kau bisa memanggilku Wendy." Perkenalnya sembari tangannya mengulur.
"Aku Kang Seulgi, panggil saja Seulgi." Ia menjawab sekenanya yang membuatnya tampak terlihat sedang tak menapaki bumi, sebab ia masih diambang batas antara sadar dan tidak, juga sadarnya yang perlahan tenggelam dalam kekagumannya pada lingkungan itu.
"A-aigoo! Hahaha! Lihatlah! Kau kaku sekali seperti kanebo kering. Ayolah, kau akan bersenang senang disini, jangan khawatirkan kemungkinan yang belum terjadi." Perlahan tawa Wendy reda, sebab Seulgi hanya menanggapinya dengan diam seraya menatap dingin kearahnya.
Seulgi menyusuri koridor sekolah elit itu ditemani Wendy. Anak yang memberinya banyak informasi tak terkecuali tentang dirinya yang baru kembali mengeyam ilmu di luar negeri itu masih saja berceloteh. Pun dengan harapannya agar Seulgi bisa berada di kelas yang sama dengannya. Pagi itu terasa berbeda, poros tatap murid yang biasanya acuh dengan siapapun, kini terpusat pada sosok Seulgi.