Chapter 10

100 8 1
                                    

Sean melihat ke arah arlojinya yang menunjukkan angka 11, lalu melirik pada Andin yang tertidur di bahunya. Dia mengambil ponselnya di meja, melakukan sebuah panggilan pada Surya yang duduk tidak jauh dari tempatnya, namun karena dia takut membangunkan Andin kalau berteriak, dia memutuskan melakukan panggilan pada Ayah Andin.

"Paman, aku akan pulang bersama Andin sekarang. Bisakah aku merepotkanmu dengan membawa kruk ini nanti saat kau pulang?"

Surya tidak menjawab, tapi dia langsung berdiri kemudian berjalan ke arah Sean. Mengambil kruk yang dipakai putrinya yang tergeletak di samping sofa, "Merepotkanmu untuk membawa Andin pulang dengan selamat, Sean. Bibi Jung ada di rumah, panggil saja dia kalau kau sudah sampai di rumah. Aku mungkin akan pulang sedikit terlambat malam ini."

"Aku janji membawa dia pulang dengan selamat sampai ke rumah. Kuhubungi kau nanti setelah sampai. Aku pulang dulu kalau begitu." pamit Sean pada Surya. Dibawanya Andin yang tertidur di pelukannya.

"Terima kasih, Sean. Hati-hati di jalan, jangan lupa kabari aku kalau kalian sudah sampai." kata Surya lagi mengingatkan.

Sean mengangguk, kemudian pergi dari ruangan itu setelah berpamitan pada William dan Raphael.

Al yang berpura-pura tertidur di sofa lain di ruangan itu, membuka matanya. Dia sangat terkejut melihat wajah Rendi yang dekat sekali di depannya, "Apa sih yang kau lakukan? Menghalangi saja." Katanya kesal sambil mendorong wajah Rendi dengan telunjuknya ke belakang.

Kepala Rendi terdorong ke belakang, dia mencibir ke arah Aldebaran dan balas mengejeknya, "Kau tertarik dengan wanita itu, kan? Dari sejak kau datang ke sini, kau melihat ke arahnya terus menerus dengan mata membara begitu."

Al mengangkat bahunya acuh, tubuhnya menggeliat malas dengan mulut menguap tanda mengantuk, "Aku memang tertarik padanya. Jadi, pastikan saja kau mendapatkan informasi gadis itu segera. Atau kalau kau sampai terlambat, bersiap-siap saja investasimu di Universitas itu mengalami kerugian."

Rendi menunjuk ke arah Aldebaran yang kini menyeringai, giginya terkatup saat dia mulai mengutuk sahabatnya yang kejam itu, "Kau... Kau benar-benar Iblis tidak punya hati Aldebaran!"

.
.
.

Udara di penuhi bau amis darah yang menusuk hidungnya, membuat perutnya bergejolak mual. Saat Andin sadar dari pingsannya, warna merah pekat yang terdapat di depannya, membuat wajahnya langsung terdistorsi ngeri.

Arghhhh...! Teriak gadis itu melengking keras, urat di lehernya sampai terlihat karena betapa kencangnya suara gadis itu suarakan.

Gadis itu yang tak lain adalah Andin, tampak sangat terkejut, dan wajah cantiknya berubah pucat seputih kertas.

Seorang remaja jatuh di atas tubuhnya dengan berlumuran darah, darah merah mengalir dari kepala remaja tersebut menetes jatuh di wajah pucatnya yang pipinya terluka karena pecahan kaca.

Keheningan karena telinganya yang tidak bisa mendengar apa pun, menambah horor pada ekspresi gadis itu.

"Tidak, tidak, tidak, jangan mati, jangan mati, Kumohon." ulang gadis itu merintih dengan suara lemah. Berharap orang yang tadi masih bergurau dan tertawa bersamanya akan bangun.

"Buka matamu! Hiks... Kumohon buka matamu, Al."

"Jangan tinggalkan aku, Al. Aldebaran... Hiks... Bangun!"

Suara tersedu-sedu yang menyedihkan dan teriakan melengking dari dalam mobil yang hancur itu, menjadi satu-satunya suara di jalan tol yang gelap gulita dan sepi.

"Andin, ya Tuhan... Andin, bangun! Kau  sedang bermimpi buruk!"

Andin langsung tersentak bangun dari tidurnya, keringat dingin mengalir di punggungnya, membasahi piyama yang dia kenakan.

Musimnya Cinta (Season's Of Love Series/SoL) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang