Bab 9 - api unggun

46 3 2
                                    


9 – Api Unggun

Hatiku terluka ketika melihatmu, sebab aku selalu ingat pada dosa malam itu

Ini adalah malam ketiga Renjani berada di bumi perkemahan. Bukan hanya pelajaran yang Renjani dapatkan dengan mengikuti acara kemping akbar tahun ini. Ia juga menjadi mengerti bagaimana cara menyatukan diri dengan alam. Benar kata Inggit, jika Renjani tidak ikut kemping, dirinya akan menyesali soal itu.

Sekarang, tepatnya jam sembilan malam. Renjani dan semua peserta berkumpul di lapangan. Mereka membuat satu lingkaran besar. Di tengah-tengah lingkarang itu, kayu disertai ranting mengumpul telah dibakar.

Renjani menatap api yang tengah menyala di tengah-tengah lingkaran. Ia duduk bersila sembari menikmati malam. Dingin yang malam ini tidak terlalu menusuk membuat sebagian orang meninggalkan pakaian hangatnya di dalam tenda. Namun, berbeda dengan Renjani, cewek itu justru memakai hodie hitam yang diberikan Raga malam kemarin.

"Oy, ini katanya si Renjani mau nyanyi boleh, kan?" Kata Inggit memecah bising yang diciptakan para anak manusia ketika mereka berdiskusi untuk menambah kemeriahan acara puncak api unggung kemping ini.

Renjani yang sedang duduk bersila melongo. Ia menoleh pada Inggit dan menatapnya tidak percaya. "Inggit, jangan mulai stresnya!" ucap Renjani yang membuat Inggit tertawa pelan. Renjani menatap kesekelilingnya. Lalu di antara mereka ada sepasang mata hitam milik Raga yang ditemui Renjani sedang menatap ke arahnya.

"Nggak kok. Gue gak bisa nyanyi." Renjani mengangkat kedua tangan. "Si Inggit bercanda doang."

"Eh tapi kalau lo mau nyanyi boleh kali, Ja," ucap Yasa. "Iya nggak, guys?" Dan menoleh pada semua orang untuk setuju pada ucapannya.

"Eh nggak. Gue gak bisa," tolak Renjani lagi.

"Lo mah suka merendah, Renja. Btw ya, guys, sahabat gue ini jago banget main pianonya. Auto juga suaranya pasti bagus, kan."

"Nggak. Gue gak bisa nyanyi." Kepala yang rambutnya dikuncir kuda menggeleng. Tersenyum canggung pada semua orang yang menatap ke arahnya.

Lalu Yasa tiba-tiba memanggil Raga yang sedang menyendiri, duduk di bawah pohon sambil memangku gitar—yang entah milik siapa. "Raga, lo jago main gitar, kan. Dampingi Renjani buat nyanyi gih!"

"Yasa, gue gak bisa," tolak Renjani. Bagaimana mungkin dirinya bisa berdampingan bersama Raga di acara seperti ini. Mata selembut salju itu menatap Raga penuh permohonan. Mengharapkan penolakan dari cowok yang sekarang justru menganggukkan kepala.

Raga sialan. Stres. Gila. Kenapa pake segala nerima? Renjani membatin geram.

"Gue juga bilang apa, lo gak usah nyari soal cowok, Ja. Calon pacar udah ada depan mata." Inggit menyenggol siku Renjani. Sahabatnya tidak tahu saja jika Renjani sekarang malah merasa udara di sekitarnya berhenti.

"Ini maksud lo apa ya, Inggit?" Wajah serba salah Renjani menoleh sangar. Tidak suka jika Inggit terus menyangkut-nyangkutkannya dengan Raga.

"Gue gak suka ya cara berpikir lo yang nyinggung-nyinggung gue sama Raga." Sumpah. Renjani tidak ingin marah atau tersinggung. Akan tetapi, otaknya sedang tidak beres. Hingga menyimpulkan perkataan Inggit sebagai hal serius. Terlepas dengan semua yang terjadi antara dirinya dan Raga, jadi apa pun yang Inggit katakan, tidak bisa dicerna sebagai lelucon.

Renjani berdiri ketika Raga sudah duduk bersila di antara teman-teman yang lain. Cowok itu siap memetik senar gitar. Namun, semuanya kacau karena Renjani yang sensitif. Semua orang memerhatikan Renjani yang tiba-tiba beranjak dari lingkaran. Marah.

Raga Renjani (Terbit Cetak)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang