Bab 30 | Hilangnya harapan

51 9 7
                                    

Air mata Rellona mulai menggenang, tubuhnya gemetar hebat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Air mata Rellona mulai menggenang, tubuhnya gemetar hebat. Fokusnya seketika teralihkan begitu suara Drey dan Gena histeris memberontak. Gadis itu menatap pintu ruangan yang masih terkunci rapat dengan air mata yang mulai berjatuhan, ia tak bisa membendungnya, hatinya mendadak begitu sakit mendengar kedua temannya yang berada di luar sana berteriak ke arah Rellona dan Dozi untuk memintanya tidak keluar dari tempat persembunyian, menyuruhnya untuk tetap diam dan melindungi Riga. Teriakan itu kemudian lenyap seketika. Dan sudah dipastikan, bahwa Drey dan Gena telah dilumpuhkan.

Dada Rellona mulai terasa sesak, nafasnya memburu tak beraturan, tangannya yang semula menggenggam sebuah suntikan yang bahkan belum ia sentuhkan pada permukaan kulit Riga, terjatuh begitu saja. Ia tak kuasa menahan dirinya untuk tidak menangis. Gadis itu merunduk, terisak dalam diam, tangannya mencengkram pakaian Riga berusaha mengontrol diri.

Melihat itu, Dozi mulai ikut berkaca-kaca. Kedua temannya telah tertangkap, ia ikut menundukkan kepalanya, menghela nafas berat, merasa sangat bersalah karena tak cukup mampu melindungi teman-temannya. Jika bukan karenanya yang merencanakan untuk menyusup, juga kalau saja ia tetap menolak Drey dan Gena untuk tidak mengikutinya kala itu, semua hal buruk yang kini menimpa keduanya tak akan pernah terjadi. Pria itu akhirnya mengangkat kelapa, meraih punggung tangan Rellona, menyentuhnya dengan lembut. "Run, ayo kita selesaikan." lirihnya.

Rellona masih terisak, ia masih menenggelamkan wajahnya di samping tubuh Riga, kedua pundaknya masih bergerak naik turun karena tak bisa menghentikan perasaan sesaknya. "Ma-maaf.. ini semua salah gue .."

Dozi beralih mengangkat tangannya untuk mengusap rambut Rellona. "Nggak, ini bukan salah lo.." ujarnya mencoba menenangkan.

Rellona menengadah, wajahnya telah banjir dengan genangan air memenuhi permukaan pipi, wajah pucat, hingga bintik-bintik merah di hidung dan kedua pipinya nampak jelas, suhu yang membekukan seluruh tubuhnya tak mampu meredakan rasa sedihnya yang sudah terlampau pedih. Ia selalu merasa semua yang telah terjadi pada teman-temannya, ialah karenanya. Ia selalu merasa tidak pernah berguna, dan hanya membawa sial bagi siapapun, juga dalam hal apapun.

Rellona menatap Dozi, gadis itu melihat bibir Dozi yang menggigil mulai pecah-pecah, seluruh tubuhnya mulai kaku membeku, endusan nafasnya mengeluarkan asap dingin yang sudah nampak semakin pendek berembus. Perlahan, pria itu sesekali terpejam, tangannya masih setia menggenggam punggung tangan Rellona semakin erat. "Zi.." panggil Rellona.

Alih-alih Dozi tak merespon, dia semakin menundukkan kepalanya. Rellona nampak mulai khawatir, ia buru-buru menarik tangan Dozi. "Doz—"

Pria itu terjatuh. Tak sadarkan diri.

"DOZI!" Rellona spontan memekik. Ia menggoyangkan tubuh Dozi yang sudah terbujur kaku di atas tubuh Riga. Rellona semakin histeris, ia tak tahu apa yang harus dilakukan.

Sementara itu, akibat teriakan Rellona, orang-orang di luar sana terdengar berseru melangkah mendekat ke ruangan pendingin.

"Kau di sana rupanya.."

Sudah jelas. Suara berat nan tegas itu yang tak lain dan tak bukan adalah Prof. Born. Kemudian, suara benturan mulai terdengar, berusaha mendobrak pintu ruangan pendingin yang tengah terkunci dari dalam.

Rellona terperanjat, ia bergerak gegabah tak jelas harus melakukan apa.

Alhasil, dengan tangan yang bergemetar hebat, ia mengambil suntikan yang sebelumnya tergeletak beberapa menit lalu, tangannya sangat kaku digerakkan, suhu ruangan yang mulai membunuhnya secara perlahan, juga keadaan yang mencekam membuat Rellona berusaha mati-matian menahan diri untuk tetap tenang. Di tambah, ia sama sekali tak tahu bagaimana caranya menyuntik dengan benar. Lantas yang ia lakukan adalah menusuknya dengan asal pada lengan Riga, kemudian mendorong ujung suntikan hingga cairan hijau tak lagi terlihat. Rellona lalu menarik suntikan itu dan membuangnya ke sembarang arah, ia menunggu reaksi cairan itu bekerja, sesekali menoleh ke sumber suara yang riuh sedang mendobrak.

Rellona menelan ludah susah payah dengan cemas, meski tak ada lagi air liur yang tersisa di dalam mulutnya. Namun, sudah semenit berlalu, Riga tak menampakkan perubahan apapun. Pria itu masih setia tak sadarkan diri dengan luka di kepala yang masih terlihat jelas penuh dengan darah. Ia juga sesekali melirik pada Dozi, memastikan bahwa pria itu juga masih bernafas.

"Gue mohon.." lirihnya putus asa. Rellona menundukkan kepala menenggelamkan wajahnya. Kedua tangannya tak lepas terus mencengkeram pakaian kedua temannya.

Harapan Rellona sudah mulai pupus, perlahan, pintu itu akan terbuka beberapa detik lagi. Gadis itu kini melemas pasrah, ia menjatuhkan wajahnya di atas dada Riga. Ia memejamkan kedua matanya seiring air mata mulai kembali mengalir.

Saat di detik-detik terakhir, Rellona seketika terperanjat. Ia tiba-tiba terbesit sesuatu di dalam kepalanya. Dengan cepat, ia langsung meraih tangan Riga. Dan.. syukurlah arloji pria itu masih terpasang utuh di pergelangan tangan kirinya —yang sebelumnya di rampas oleh Dozi dari tangan Neohuman.

"Hidup gue boleh berakhir, tapi.. tidak dengan kalian."

Bersamaan Rellona menekan tombol arloji milik Riga, pintu ruangan terbuka.

"JANGAN BERGERAK!"

Beberapa antek dan rekan Prof. Born menyodorkan senapan khusus yang tentu saja mematikan. Semuanya bergerak melingkari, mengurung Rellona dan kedua temannya.

Rellona sontak berbalik dan mengangkat kedua tangannya. Matanya mendelik penuh ketakutan.

Prof. Born langsung menghampiri gadis itu dan memborgolnya tanpa aba-aba. Sembari tubuhnya ditarik paksa, Rellona melihat beberapa rekan Prof. Born mengangkat tubuh Dozi. Sekali lagi, setetes air matanya terjatuh. Meski ia sudah berhasil meloloskan Riga, namun ia tak sempat meloloskan Dozi. Rellona memejamkan matanya, mengulum bibirnya menahan jeritan didalam hati. Ia merasa menyesal. "Maaf.."

Dan pada akhirnya, Rellona dan Dozi dibawa secara terpisah.

.

.

(⁠ ⁠⚈̥̥̥̥̥́⁠⌢⁠⚈̥̥̥̥̥̀⁠)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


(⁠ ⁠⚈̥̥̥̥̥́⁠⌢⁠⚈̥̥̥̥̥̀⁠)

Crazy Life: Another World [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang