04. Jakarta di Hari Minggu

9 6 0
                                    

***

Hari minggu ini harusnya jadi hal yang menyenangkan. Namun menurut Naya, hari ini adalah hari terburuk baginya.

Naka yang setia duduk berjongkok menemaninya di depan pagar seraya merokok, ia kelihatan begitu lucu menggunakan piyama lengan pendek berwarna abu-abu. "Ka." Naya memanggil, ia menolehkan kepala pada Naka.

Naka juga menoleh, menatap wajah gadis di sebelahnya. "Kenapa?" Naka bertanya dengan suara rendah. "Selama gue minta antar-jemput lo atau Papa, gue ngerepotin gak sih?" Tanya Naya, Naka terkekeh seraya geleng-geleng kepala.

"Kenapa lo nanya gitu? Ovt siang-siang gini emang enak, ya?" Naka malah bertanya balik. "Apa gue belajar motoran aja?" Naka menatap Naya dari samping, menatap gadis cantik itu dengan jenaka, menatapnya dalam-dalam menggunakan netra cokelatnya yang indah.

"Lo kan udah bisa motoran." Ucapnya, Naya terkekeh. "Iya sih, tapi terakhir motoran kan pas naik kelas dua SMP, ya gue lupa kan anjir." Timpal Naya. "Terus nanti kalo lo udah inget lagi caranya motoran? Lo nggak bakal dong nebengin gue?" Naka bertanya demikian.

Naya terkekeh geli. "Ya gue kan anaknya males pegang stang." Ujarnya, Naka terkekeh lantas bangkit. "Ajarin lagi dong Ka, kapan-kapan kalo lo nggak ada di deket gue, gue bisa kemana-mana sendiri." Kata Naya. "Gue nggak akan pergi dari lo, Ya."

"Ya siapa tahu, kan."

"Nggak bakal."

"Yaudah, ayo ajarin."

Naka membuang rokok ke dalam tong sampah, ia berdeham. "Lo mau pake motor yang mana? CB? CBR?" Tanyanya, Naya sontak membelalakkan mata. "Scoopy lah anjir, gila aja pake CB, pake CBR." Cibirnya, Naka terkekeh lalu mencubit hidung Naya gemas. "Yaudah, tunggu."

Gadis dengan piyama berkarakter kucing dan cardigan warna abu-abu itu mengikat rambutnya, meninggalkan beberapa helai poni agar tidak terikat. "Ayo." Naka memakai denim hitam seraya mendorong scoopy abu-abu keluar pagar.

"Ma, Naya izin keluar sama Naka, ya!" Naya berteriak dari luar pagar, kemudian Mama muncul dari balkon. "Mau kemana!?" Mama bertanya seraya berteriak. "Ke depan bentar Ma, nanti isya pulang kok!" Sahut Naka. "Yaudah, pulangnya jangan kemaleman kayak kemarin loh ya!"

"Iya, Ma!" Mama kembali masuk ke dalam rumah. "Ayo, naik." Naya terkekeh. "Gue di depan? Ini beneran? Kalo gue nggak bisa bikin benda mati ini seimbang?" Tanyanya, Naka membuka bungkus permen milkita rasa mangga. "Kaki lo panjang, kaki gue ada, kalo gak bisa seimbang nanti gue pegangin." Sahut Naka.

"Nanti kalo jatoh, barengan?"

"Jangankan jatoh, barengan seumur hidup juga ayo-ayo aja gue mah."

"Hahaha!" Gadis dengan rambut diikat cepol itu menaiki motor, ia menyalakan mesin motor ketika Naka sudah duduk di jok belakang. "Ini kalo gas tuh tariknya ke depan apa ke belakang?" Tanyanya.

"Ke belakang, pelan-pelan aja." Naka menyimpan kedua tangannya di paha, kalau-kalau Naya hilang keseimbangan, ia bisa langsung memegang tangannya. "Lo kalo pegel, bilang aja." Ucap Naka, Naya mengangguk saja.

Perlahan, ia menarik gas, melajukan motornya dengan pelan sampai ke jalan Garuda yang cukup lengang. Mereka menyusuri jalanan itu dengan obrolan ringan, sedikit tawa sampai kedua tangan Naya terasa kesemutan. "Ka, pegel."

Gegap Gempita Kota Jakarta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang