Kedua orang tua Rangga itu tiba-tiba datang ke rumahnya. Entah tujuan sesungguhnya apa, namun tatapan sinis sang Ibu pada Arsena yang tajam membuatnya tak enak hati.
"Loh yah bu, kapan datang?" Rangga kalang kabut menyambut mereka.
Segera mengambil tas bawaan orangtuanya, lalu membawa mereka duduk di ruang keluarga.
"Ah terlanjur jadi ini adonan, seselein aja lah" monolog Arsena dengan menipiskan adonan yang berbeda warna hingga terlihat tak terpisah.
Usai menggulung dan memotong batangan itu, ia meletakkannya ke loyang. Kue mentah yang menjadi 20 potong itu dilanjutkan dengan acara pemanggangan dalam oven yang sebelumnya disiapkan.
"Aih pake brulee kayaknya enak!" Ujarnya semangat.
Melihat tuan mudanya tak terpengaruh hal tadi, ART itu merasa lega. "Buat apalagi Den? Bukannya kue sudah masuk oven?" Tanyanya sambil membuat kopi dan teh.
"Bikin krim totol Bi," singkatnya datar.
Dilain sisi, Rangga gusar dengan kedatangan orangtuanya. Mencoba mengalihkan beberapa bahasan ke kesibukan mereka.
"Tumben ngga ngabarin, biasanya minta dijemput?" Basa-basinya.
"Siapa dia? Anak Lastri ART mu?" Buka Andika, laki-laki itu.
"Atau anak haram yang sering kau sebutkan?" Tambah Leni ibunya.
'Ck,' decak Rangga dalam hati.
Orangtuanya tau masa lalu pahit dari anaknya. Tentang kesusahan bahkan bagaimana Rangga sempat depresi dengan keadaan waktu itu. Sehingga membuat mereka begitu membenci keluarga Suryajaya terlebih perempuan itu, bahkan membenci keberadaan anak itu.
"Kenapa ada disini? BUANG!" Kesal Andika dengan menekan kalimat terakhirnya.
"Sudahlah, aku tak ingin membahas itu lagi Yah, Bu!" Jawab Rangga enteng.
"Ingin memelihara anak setan kau Ngga? Sudah lupa dengan yang kemarin?" Ungkap Leni berteriak.
Rangga hanya bisa mendesah, menghela nafas panjang mendengar perkataan mereka.
"Sudah tumpul otakmu? Rangga Bhaskara, apa yang kau pikirkan dengan memungut anak haram itu?" Bentak Andika.
"Sudahlah, aku tak mau membahas itu disini." Putus Rangga dengan nada abai.
"Baguslah, akan lebih baik jika segera menendang anak itu keluar." Ucap Leni dengan ekspresi di buat-buat.
Mereka tau anak itu baru saja lewat dan berhenti beberapa saat lalu. Sengaja Leni membuat suasana seolah ada kesempatan terhadap Arsena. Dan bayangan pada frame di seberang tembok itu terlihat raut kekecewaan sosok yang menjadi topik bahasan mereka.
Usai meninggalkan tempat dengar itu, Arsena segera masuk ke kamarnya. Pikiran yang berkecamuk seolah menjadi kontradiksi antara pikiran dan hatinya. Benar dalam otaknya dia tak peduli dengan hal apapun asal hidupnya tetap nyaman. Sementara hatinya memberontak berusaha menolak sebuah fakta namun terlanjur kecewa.
"Hei apa yang kulakukan. Membuang waktu!" Putusnya mengalihkan perhatian.
Waktu setengah jam berlalu dalam kamar, kini dilanjutkan dengan kembali ke dapur. Seharusnya cromboloni itu matang.
'huff' sekuat hati di menahan emosi yang bergejolak tak karuan. Sambil menata krim brulee diatas kue serta bubuk gula tipis itu, lalu menyuruh Bibi ART nya mengantar beberapa kue yang sudah tak terlalu panas.
Emosi membuat lidahnya tak merasakan detail kue. Seharusnya garing diluar lembut didalam dan brulee yang harum manis. Namun ternyata hambar, hanya kue tepung dengan taburan bubuk yang ia rasa.
"Sudah matang semua boy?" Tanya Rangga dengan senyum sambil mencuri gigitan di kue di tangan Arsen.
"Emm enak kayak di toko-toko milik hotel itu." Tambahnya dengan senyum dan mengambil sisa kue di tangan anaknya.
"Hm" singkat Arsena mengangguk.
"Dad, apa yang dikatakan Daddy itu benar?" Keputusan Arsena memecah kegaduhan hati dan pikirannya.
"Ya, kenapa?"
"Sudah direncanakan ya?" Tambah Arsena dengan nadanya makin rendah.
"Benar, memang sudah lama Daddy merencanakannya. Dan Daddy harap kamu tak sakit hati boy." Diusapnya lembut pucuk kepala anaknya dan berlalu ke ruang tengah.
"Sudah lama huh? Sakit hati?" Ujar Arsena menahan rasa tak nyaman dihatinya dan mata yang hampir mengembun.
Dia kembali ke kamarnya. Melupakan niat sarapan, melupakan niat membuka hati.
'Aku terlalu menerima keadaan, harusnya aku yang memutuskan menjadi apa atau kemana.' dan segala pikiran buruk memenuhi dirinya. Menyesal karena seharusnya bisa hidup seperti apa yang dia mau.
"Tak apa lah, sudah terlanjur. Setidaknya aku disini akan berusaha berguna dan segera membalas jasa." Putusnya menghela nafas panjang.
Semenjak pagi hari itu, Arsena berubah dalam banyak hal. Hari-hari dilalui dengan datar tak tertarik dengan apapun. Melewatkan beberapa kesempatan penting tentang urusan ayah dan anak dalam kehidupannya.
Bahkan saat usia menginjak 16 tahun saat kelas XII SMA. Sengaja dia berucap pergi bersama temannya yang keluar kota membeli buku yang hanya dijual disana lalu hujan deras hingga memutuskan menginap di hotel terdekat. Nyatanya, dia keluar kota sendirian karena asistennya dimininta bekerja di kantor perusahaan Rangga. Sehingga dia leluasa sendirian.
Membeli sebuah unit apartemen dan tentu menyogok pengelolanya agar saat usianya 17 tahun bisa langsung diurus kepemilikan.
Arsena mempertimbangkan beberapa hal. Jika nantinya dia diusir maka harus memiliki tempat tinggal, memiliki pekerjaan, bahkan jika harus tinggal lebih jauh lagi.
"Dan benar, hujan deras. Untung beli kasur lipat beserta perlengkapan tidur." Ujarnya duduk di belakang pintu kaca balkon.
Unit mewah satu lantai yang dibelinya ditujukan agar dia aman. Menghindari jika suatu saat ada yang mencarinya, dia bisa mengatakan pada pihak keamanan untuk tak mengatakan apapun. Kareja jika dia beli perumahan besar kemungkinan banyak tetangga yang menyebutkan tempat tinggalnya.
"Selamat tidur Arsena, semoga di malam kelahiranmu ini bisa hidup tentram." Usai mengatakan hal itu pada dirinya sendiri dan berdoa, ditinggalkan dunia ini untuk menuju dunia mimpi.
Disisi Rangga sendiri, ada perasaan kecewa. Bukannya dia tak sadar akan perubahan Arsena semenjak keesokan hari setelah sebelumnya kedatangan kedua orangtuanya. Dingin dan tak tersentuh, hanya itu yang terlihat dari anaknya.
Tak ada lagi sosok narsis didepan cermin, tak ada lagi sosok yang tiba-tiba bicara random. Tak ada Arsena yang memasuki dapur, bernyanyi atau menanyainya dengan kalimat yang tak pernah dia pahami.
"Arsena punya banyak luka, pantaskah aku memberinya luka lagi?" Nadanya bergetar.
Dia menuruti keinginan kedua orangtuanya. Memberi perlindungan Arsena, memberi perhatian, lalu menjualnya kepada seseorang. Tapi sangat berat baginya.
"Hiks, aku ayahnya. Bukankah aku ayah yang bejat?" Air matanya luruh di ruang tamu. Berharap anaknya pulang dan suka dengan kejutan kue ulang tahun didepannya.
"Boy, ini black forest kesukanmu hiks. Selamat... Ulang... Tahun...!" Ditiupnya lilin itu.
Derai air mata terlihat jelas meski disembunyikan di lipat tangannya. Bahkan kedua penghuni lain merasakan kesedihan itu. Mereka tau Arsena menjauh.
Keesokan paginya tak ada Arsena pulang. Rangga yang duduk di meja makan benar-benar merasa kesepian layaknya dua tahun sebelum Arsena datang.
"Maaf Tuan, Tuan Muda sudah berada di sekolahnya sekarang." Ucap Theo usai menelpon Arsena.
Dan tak tahukah mereka terdapat sebuah undangan yang masih tergeletak di nakas berkas rumah sakit milik Rangga?
TBC
Kita mulai drama menye-menye lagi ya? Semangat anak pertama, semangat tulang punggung keluarga, semangat anak-anak yang berusaha menunjukkan kemandirian 😁
KAMU SEDANG MEMBACA
SOLO
Short Story"Kalo masih punya otak MIKIR" bentaknya sambil menatap nyalang. "Lo masih tinggal disini cuma karena kita semua kasian, ngga usah drama!" "Pernah kepikiran hidup bebas diluar? Lakuin aja, Papa malah seneng kalau kamu inisiatif gitu. Seenggaknya Papa...