10

2.3K 167 4
                                    

Hingga setengah sembilan sejak satu jam lalu Theo menelponnya. Tak tampak kehadiran Daddy-nya.

"Ya meski tak berharap banyak, setidaknya sudah kutaruh undangan itu disana. Tak hadir pun juga tak masalah!" Ucapnya lalu masuk ke barisan.

Hari itu adalah hari kelulusan, dimana sekolah melaksanakan sekalian menyerahkan ijazah agar siswanya tak sibuk kesana-kemari dan tertawa (maksudnya bolak-balik urus legalisir kayak kalian).

'Lulusan terbaik SMA xxx tahun xxxx yaitu Arsena Bhaskara, kepada Arsena dimohon maju kedepan bersama wali,'

Prok prok prok

Riuhnya tepuk tangan tak menjadikan kebahagiaan bagi Arsena. Dengan alasan Daddy-nya ikut operasi darurat akhirnya pihak sekolah tak mempermasalahkan. Pun dengan Arsena yang merasa ada atau tidaknya Rangga tak akan merubah hidupnya sekarang.

Hingga jam dua belas, kini Arsena pulang membawa tas berisi baju dan sepatunya kemarin dan saat ini mengenakan kemeja putih celana hitam dengan dasi dan sepatu yang selaras.

"Loh Den kok sudah pulang? Kok ngga pakai seragam sekolah?" Heran ART itu. Pangling akan Arsena yang kini terlihat lebih dewasa dan jauh berbeda dari awal mereka bertemu yang saat itu sedikit selengekan.

"Udah selesai sekolahnya Bi. Saya keatas dulu!" Jawab Arsena dingin.

Membersihkan diri, beribadah lalu tidur siang. Dia tak ambil pusing jika harus turun lalu ditanyai ini itu pada ART nya. Akan lebih menguras energi jika ditanyai ibu-ibu dibanding pertanyaan formalitas bapak-bapak pikirnya.

Hingga jam 4 sore, Arsen yang telah turun dengan beberapa kertas duduk di meja makan.

"Bi Daddy udah pulang?" Tanya Arsena.

"Sudah Den, 5 menit yang lalu. Mungkin bersih-bersih." Jawab Bi Lastri sambil memasak.

Tak lama Rangga keluar lalu datang kepada anak yang dikangeni.

"Uhh Daddy kangen banget. Kenapa ngga pulang hmm? Sekolah tadi gimana? Pakai seragam apa?" Cecar Rangga sambil memeluk erat anak semata wayangnya.

Dihirup dalam rambut bau apel itu. Merengkuh tubuh anak yang kini makin berisi. Layaknya ketakutan akan suatu hal.

Karena sebenarnya malam tadi mimpi yang terkesan buruk dia dapatkan. Arsena yang meminta pelukan baginya sangat menyakitkan

"Dan Arsen minta peluk boleh?" Tanya balita itu memandangnya.

"Apapun buat anaknya Daddy!" Jawab Rangga.

Dalam mimpi itu dia bertemu dengan Arsena yang masih balita. Sosok anak kecil dengan baju bergambar kucing hitam serta celana pendek. Mereka bertemu di suatu tempat di pinggiran sungai yang terdapat pohon tabebuya tengah bermekaran bunganya.

Hanya ada mereka berdua memandang luasnya sungai. Menghabiskan waktu hanya dengan memangku Arsena sambil sesekali menciup pucuk kepalanya.

"Dad? Dan kenapa?" Tanya Arsena dengan menggoyangkan lengan Daddy-nya.

"Eh, ngga. Ngga papa." Jawab Rangga sambil mengusap setitik air mata.

Usai dia duduk di samping Arsen, ditatapnya dengan lekat.

"Eh iya Daddy mau ngucapin sel..."

"Dad tolong tandatangan ini dong," sedikit rayuan Arsena memotong kalimat Daddy-nya.

Dia tau Rangga akan mengucapkan selamat ulang tahun. Hanya dirinya akan tak kuasa nantinya untuk meminta tandatangan di berkas itu. Meski dingin, namun terdapat rasa nyaman dengan sosok Rangga

Mungkin jika dia Arsena yang bodoh, dia tak akan peduli apapun yang terjadi pada dirinya sendiri asal bersama sosok Daddy itu. Namun dirinya bukan Arsena seperti itu. Dia harus bisa membahagiakan dirinya sendiri, bergantung pada dirinya sendiri, dan bisa balas budi dengan orang itu lalu hidup tenang.

Sementara Rangga dengan senang hati menandatangani apa yang disodorkan. Tanpa ragu dan curiga bahkan untuk sekedar membaca berkas itu karena terlena nada rayuan Arsena yang biasanya datar.

"Makasih Dad." Ucap Arsena dengan mengecup punggung tangan Daddy-nya lalu kembali ke kamarnya.

Hingga dua Minggu berlalu, tak ada perubahan. Hanya Arsena sering keluar membawa tas besar saat Daddy-nya pergi praktek. Berpamitan kursus pada ART atau satpam.

Sebenarnya, Arsena tengah membeli perabotan untuk apartemen lalu bekerja di cafe desert miliknya yang dijalankan selama setahun ini. Meski sore hari memang dia kursus di 2 tempat.

Malam pun dia pulang usai isya' lalu mandi, makan dan istirahat di kamarnya. Berencana tak terlalu membuat interaksi berlebih dengan orang-orang di rumah ini.

Flashback di dua minggu lalu

Usai makan malam bersama, Rangga membereskan berkas rumah sakit yang tergeletak di nakas ruang tengah. Memang dia menghimbau pada ART nya untuk tak memindahkan berkas apapun dari nakas itu. Karena dia yang sering lupa menaruh sesuatu, bahkan untuk membawa berkas itu kembali ke rumah sakit.

"Apa ini, undangan sekolah?" Ucap Rangga membuka undangan itu.

Tubuhnya luruh, dia ingat dua hari lalu Bi Lastri mengatakan bahwa anaknya menaruh surat yang bertuliskan dari sekolah disitu. Rangga yang juga sibuk dengan pekerjaan sampingan di kantor perusahaan warisan hanya mengangguk.

"Boy, maafkan Daddy!" Hatinya terasa diremat. Dia tau bahwa sedari dulu Arsena sekolah tanpa ada pengawasan keluarga lamanya. Bahkan jika Arsena tak sekolah pun juga tak ada yang peduli.

Awal kepindahan Arsena kemari, dia tak sempat mengantar anak itu masuk menemui kepala sekolah. Bahkan dia tak tau acara kelulusan Arsena telah lewat.

"Maaf maaf maaf." Hanya suara pilu yang kini didengar Theo yang berdiri tak jauh dari sana.

Sama halnya dengan tuan besarnya, Theo yang disibukkan urusan perusahaan. Kini lebih bisa disebut asisten atau wakil Rangga daripada tugas utamanya untuk menjadi asisten pribadi Arsena.

Cklek

Rangga bergegas menemui anaknya kini ditemui sosok itu tengah tertidur pulas. Beruntung pintu tak dikunci sehingga dia dapat masuk meski tak berkesempatan meminta maaf saat itu juga.

Memutuskan menemani tidur Arsena karena teringat mimpi beberapa hari yang lalu.

Ia menarik pelan tubuh Arsena, meluk tubuh yang menghadapnya itu. Sementara Arsena sendiri merasakan sebuah kenyamanan meski tak sadar apa yang terjadi. Hanya menelusup kepalanya di tempat nyaman tanpa tau itu adalah badan Daddy-nya.

"Tidur yang nyenyak boy, apapun yang terjadi Daddy selalu menyayangimu dan jangan pernah tinggalkan Daddy." Ucapnya lalu mengecup dahi Arsena.

Saat pagi, sekitar jam 5 Rangga merasa dingin dan kosong di bagian depan. Setelah sadar, tak ditemukan Arsena dari dekapannya. Meski pusing karena langsung berdiri dari tempat tidur, pelan-pelan dia mencari anaknya yang hilang.

"Den Arsen lagi jogging katanya pak."  Menanggapi Rangga yang terlihat khawatir.

"Gelap gini jogging Bi?" Tekan Rangga.

"Dari dulu pak, abis sholat subuh langsung pergi." Jawab Bi Lastri yang masih mengepel.

Sejak hari itu juga tiap pagi buta Rangga memaksa dirinya bangun lebih awal. Memastikan anaknya benar-benar jogging sesuai apa yang dikatakan ART.


TBC

Nih, ku kasih part bapak-bapak yang takut ditinggal anaknya. Nanggung kalo se part doang,

SOLOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang