HAPPY READING
Adara dan Gibran telah memasuki ruang kelas XI MIPA 2. Saat Adara ingin duduk di kursi tempat biasanya, Gibran tiba-tiba menahan tangannya. Adara menoleh, menatap Gibran dengan alis terangkat.
"Mau ke mana lo? Duduk di sini aja sama gue," ujar Gibran sambil menunjuk kursi kosong di sampingnya. Matanya menatap Adara dengan serius, seolah-olah ia tak ingin mendengar penolakan.
"Memang nggak apa-apa?" tanya Adara ragu, sedikit terkejut dengan tawaran itu. Biasanya, mereka duduk agak berjauhan saat di kelas, meskipun hubungannya sudah membaik setelah insiden kemarin.
"Gapapa kok. Malah gue seneng kalau lo mau duduk bareng," jawab Gibran santai, senyumnya lebar dan menenangkan.
Adara akhirnya mengalah. Ia berjalan mendekat, duduk di samping Gibran. Detik itu juga, suasana kelas yang tadinya ramai mendadak hening. Semua teman-teman mereka sontak memandang ke arah mereka berdua, menatap dengan ekspresi terkejut.
"Cie, duduk berduaan, nih," goda Rahsya sambil bersiul pelan.
"Uhuy, enggak berantem lagi ya sekarang," sambut Irsyad dengan senyum penuh arti.
Gibran langsung menghela napas panjang dan menatap kedua temannya dengan wajah kesal. "Shut up, bisa diem nggak sih lo berdua. Bikin ribut aja!" gertak Gibran dengan suara rendah.
"Aduh, orangnya marah. Takut, deh," balas Irsyad sambil berpura-pura mundur, bahunya disenggol oleh Rahsya yang cekikikan.
"Udah, sana lo berdua. Bikin suasana tambah nggak enak aja," ujar Gibran dengan ekspresi pura-pura kesal, meski sebenarnya ada senyum tipis di bibirnya.
Adara hanya bisa menahan tawa melihat interaksi mereka. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Kok Rahsya sama Irsyad tahu soal masalah kemarin? batinnya. Apa jangan-jangan Gibran yang cerita?
Ia menggeleng pelan, mencoba mengabaikan pikiran itu. Udahlah, toh kejadiannya juga udah selesai, pikirnya sambil tersenyum kecil.
Akhirnya, Rahsya dan Irsyad kembali ke kursi mereka masing-masing. "Yaudah deh, kita balik ke tempat. Ayok, Syad!" seru Rahsya sembari menyeret Irsyad pergi.
Tak lama setelah itu, bel sekolah berbunyi, menandakan dimulainya jam pertama. Hari ini, jadwal kelas XI MIPA 2 adalah mata pelajaran Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK). Semua siswa bergegas keluar menuju lapangan olahraga.
Mereka memulai aktivitas dengan pemanasan. "Semua, kita awali kegiatan olahraga dengan pemanasan dulu ya!" seru Pak Galang, guru PJOK mereka.
"Siap, Pak!" jawab seluruh siswa dengan semangat.
Setelah melakukan pemanasan, Pak Galang mulai menjelaskan agenda utama mereka hari ini. "Hari ini, kita akan melakukan pengambilan nilai lari. Jadi, perhatikan baik-baik instruksi bapak, ya. Satu persatu akan maju sesuai nama yang bapak panggil."
"Siap, Pak!" seru mereka serempak.
Beberapa siswa maju lebih dulu, satu per satu mulai mengambil posisi di lintasan lari. Setelah beberapa giliran berlalu, kini giliran Adara dipanggil.
"Adara Bianca!" seru Pak Galang.
"Iya, Pak!" sahut Adara, bergegas mengambil posisi di lintasan.
Adara menghela napas dalam-dalam, berusaha fokus. Namun, ketika ia hendak mulai berlari, sesuatu terjadi. Kakinya tersandung tali sepatunya yang longgar, membuat tubuhnya oleng. Semua terasa melambat saat ia mulai kehilangan keseimbangan.
"Awas, Adara!" teriak seseorang dari kejauhan.
Sebelum tubuhnya benar-benar jatuh, sebuah tangan yang kuat menahan bahunya. Gibran muncul di hadapannya dengan napas terengah-engah, jelas-jelas berlari cepat untuk menghampirinya.
"Lo nggak apa-apa kan? Ada yang sakit?" tanya Gibran panik, matanya menyapu tubuh Adara, memastikan tak ada luka atau cedera.
Adara menelan ludah, hatinya berdebar kencang melihat Gibran yang begitu cemas. "Gue nggak apa-apa kok, Gib. Cuma... hampir jatuh aja," jawabnya pelan.
Gibran menghela napas lega. "Syukurlah kalau gitu," gumamnya, lalu berjongkok di depan Adara. "Lain kali jangan ceroboh, dong. Sini, gue pasangin tali sepatunya," tawarnya tanpa menunggu persetujuan.
"Enggak usah, gue bisa sendiri," tolak Adara, wajahnya memerah malu.
"Udah, nggak usah ngelawan. Gue yang pasang," kata Gibran dengan nada tegas. Tanpa menunggu lagi, ia mulai merapikan tali sepatu Adara dengan cekatan. Adara hanya bisa terdiam, menatap punggung Gibran yang ada di hadapannya.
"Adara, kamu istirahat aja di kelas, ya," ujar Pak Galang dari belakang mereka. "Gibran, kamu temenin Adara."
"Siap, Pak," jawab Gibran dan Adara bersamaan.
⚝⚝⚝
Di ruang kelas XI MIPA 2, Adara duduk di bangkunya dengan wajah sedikit merah. Ia masih belum bisa melupakan kejadian tadi di lapangan. Saat Gibran sudah duduk di sebelahnya, Adara mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya.
"Gib," panggilnya lembut.
Gibran menoleh. "Kenapa?"
"Ini buat lo," ujar Adara sambil menyodorkan kotak bekal berukuran sedang. Kotak itu dihiasi dengan pita kecil berwarna biru di bagian tutupnya. Gibran memandangnya dengan ekspresi terkejut.
"Thank you, girl," ucapnya, senyum lebarnya langsung menghiasi wajahnya.
"You're welcome," balas Adara, ikut tersenyum.
Gibran segera membuka kotak bekal tersebut, matanya membulat saat melihat dua potong roti yang rapi di dalamnya. Masing-masing roti diisi dengan selai strawberry dan blueberry, sesuai dengan kesukaannya. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil sepotong dan menggigitnya.
"Ini buatan lo sendiri?" tanya Gibran sambil mengunyah.
"Iya, ini spesial buat lo," jawab Adara malu-malu.
Gibran terdiam sejenak, lalu tersenyum lagi. "Roti buatan lo enak juga ya," pujinya.
Mendengar itu, wajah Adara langsung memerah. Hatinya melonjak senang. Syukurlah, dia suka...
"Thanks, ya," ucap Gibran pelan.
"Sama-sama," balas Adara, senyum manisnya tak bisa ia sembunyikan. Hatinya menghangat melihat Gibran menikmati roti buatannya. Rasanya, kerja kerasnya terbayar lunas dengan hanya satu pujian dari Gibran.
Dan untuk sesaat, keduanya larut dalam momen kecil yang manis itu, seolah-olah dunia luar tak lagi ada. Hanya ada mereka berdua di ruangan itu, dengan rasa syukur dan senyum yang tak pernah mereka duga sebelumnya.
Bersambung...
-JANGAN LUPA DIVOTE YA GUYS-
KAMU SEDANG MEMBACA
Perantara Gidara
Fiksi RemajaAdara Bianca & Gibran Narendra adalah kisah tentang pertemuan dua jiwa yang terjalin dalam konflik. Adara, sosok gadis yang sulit percaya dengan orang yang sudah mengecewainya dan Gibran, sosok pemuda yang berjuang untuk mendapatkan hati Adara meski...