Rose (a)

2 0 0
                                    

Kiala menghela napas malas manakala menemukan kotak putih di mejanya. Masih pagi baginya bergelut dengan emosi, perutnya masih kosong belum terisi makanan selain sepotong kentang goreng yang ia comot dari piring adiknya. Ini hari ke enam kotak putih berisi benda harum itu nangkring di mejanya. Takada yang tahu siapa pengirimnya, sebab ketika Kiala bertanya pada teman sekelasnya, mereka kompak menggeleng.

Jemarinya meraih kotak itu, membukanya dan ia mendengus kesal. Lagi dan lagi, sialan sekali. Umpatnya di dalam hati. Kiala memilih memasukkan ke dalam tasnya lantas duduk merenung mengamati sekitar. Sangat membosankan melihat pemandangan papan tulis dengan segala deretan kalimatnya, membuatnya pening dan ingin segera angkat kaki dari kampus ini.

Perutnya keroncongan, cacing-cacing sedang berdemo ingin diberi asupan makanan. Ia lantas beranjak dari duduknya, mengisi perut dulu takada salahnya. Toh, pelajaran masih setengah jam lagi. Sebab dosen hari ini mengabarkan datang terlambat karena urusan suatu hal. Kiala mendengus sepanjang jalan menuju kafetaria kampus.

Dosen tak tahu diri. Kiala kembali mengumpat di dalam hati.

Kantin selalu ramai, entah kenapa kali ini lumayan sepi. Hanya beberapa mahasiswa saja yang duduk di sana. Kiala menuju stand penjual roti bakar, memesan rasa kesukaannya, cokelat. Setelah itu ia duduk dengan sebotol air mineral yang ia beli juga.

"Kenapa kau tak mencoba belajar padanya saja," ujar seseorang. Kiala hapal sekali dengan suara itu. Maher, adiknya. Kebetulan mereka satu kampus, hanya saja beda fakultas. Ya, Maher Arrayyan, adik kembarnya. Kiala melirik melalui ekor matanya. Tampaknya Maher sedang mengamatinya dengan tersenyum miring. Pun perempuan di sebelahnya itu, Rora.

"Tidak mau," jawab Rora.

"Kenapa?"

"Aku takut padanya."

Maher tertawa nyaring membuat Kiala mendengus sebal. Sialan sekali kedua makhluk bumi itu. Maher lantas menambahkan, "Harusnya kau biasa saja padanya. Dia pandai sekali bermain piano. Tenang saja, tak akan ada biaya. Pasti gratis. Bukannya kau adiknya Davi? Dia akan dengan sukarela mengajarimu."

Rora menggeleng lagi, tampak jelas matanya memancarkan rasa sungkan. Sialan sekali Maher ini, laki-laki bermulut pedas ini tidak akan berhenti sebelum membuatnya mati kutu. Pun dengan Kiala, perempuan itu mencoba acuh tak acuh. Namun dalam hati gemuruh kesalnya kembali membumbung, rasa ingin mendorong adiknya sedang meronta-ronta. Lebih-lebih nama keramat itu disebut.

Tak ingin mempedulikan dua makhluk itu, Kiala memilih roti bakarnya yang sudah datang untuk dinikmati. Juga mengabaikan pesan baru di ponselnya.

"Lama tak melihat wajah cantikmu, Kiala."

Lihat saja, Kiala akan mengamuk sebentar lagi.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KIAS SENDUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang