by sirhayani
part of zhkansas
3
Para remaja itu berkumpul di sebuah ruangan, menangis dengan suara keras sembari mengelilingi Sadewa yang tertidur lelap dengan mulut menganga.
Terkadang ada yang tertawa karena tak bisa menahan diri dengan prank yang mereka lakukan pada si ketua preman sekolah.
Nathan hanya bisa geleng-geleng kepala atas ide yang dibuat oleh Vasco di rumah kontrakan Vasco ini. Mereka ingin membuat Sadewa bingung saat bangun tidur karena suara tangis semua orang, tapi si objek prank masih tertidur lelap. Sadewa bahkan sedang menggaruk ketiaknya sambil menggumamkan sesuatu yang tak terdengar jelas. Sadewa mengigau.
"Nggh, nyman, bangsat," gumam Sadewa lagi, kali ini terdengar jelas. Beberapa di antara mereka terlihat kaget karena mungkin berpikir Sadewa bangun dan sadar telah di-prank, tetapi ternyata Sadewa masih saja tak bangun-bangun.
"Kayaknya si bos nggak denger suara kalian. Dia aja bisa tidur lelap walaupun denger suara knalpot brong!" teriak Kurdianto, si kumis tipis. "Lupa kalian kalau dia ini kebo banget kalau tidur?"
"Ya udah, naikkan satu oktaf tangisan kalian." Ardi, si cowok berbadan kekar, berdiri sambil menggerakkan sebuah sumpit di tangan kanannya. "HUWAAAA!"
"HUWAAAA!" semuanya mengikuti suara tangis Ardi, kecuali Nathan.
Nathan menutup mulut sambil menggeleng-geleng, menahan tawa sambil berdiri di sudut ruangan. Tingkah kurang ajar mereka sebenarnya sudah di luar batas, tetapi Nathan tak bisa melawan ide belasan orang itu.
"HUHUHU DEWA! KENAPA LO HARUS PERGI SECEPAT INI!" Vasco menggoyangkan tubuh Sadewa, menggoncangnya dengan keras. "SADEWAAA!"
Sadewa menggaruk-garuk kepalanya sambil duduk dan mengamuk dengan mata menyipit. "AH, BANGSAT! APA, SIH, BERISIK!"
"HUWAAA DEWA!" Tangisan histeris Vasco dan yang lain membuat Sadewa mengerjapkan mata berkali-kali. Sadewa melebarkan mata saat dilihatnya ada ingus bening di bawah hidung Vasco.
Cowok itu melihat sekeliling dengan bingung. Semua orang menangis! "Hei, hei. Kalian nangisin apa, sih...?"
Semua semakin menangis.
"Dewa, hiks, hiks, gue nggak bisa lo pergi secepat ini. Kenapa lo harus ninggalin kita semua? Siapa yang bakalan bayar utang gue di Bu Kantin, siapaa, Dewa? SIAPA?"
Sadewa menggaruk-garuk pelipisnya sambil berdiri. Nathan bahkan sedang berdiri dengan lemas di sudut ruangan.
"Bangsat, Dew! Lo malah meninggal muda gini, si anjng!" Ardi terduduk lesu sambil menangis tersendat-sendat. Dia menundukkan wajahnya dalam-dalam. "SIALAN KENAPA LO PERGI SECEPAT INI!"
"Gue mati?" Sadewa yang bodoh menunjuk dirinya sendiri sambil menatap temannya satu per satu. "GUE MASIH HIDUP, ANJR! MASIH HIDUP!"
Dia mendatangi teman-temannya yang duduk di barisan depan, lalu menggoncang bahu mereka. Mereka masih menangis. "GUE MASIH HIDUUUP!" teriak Sadewa frustrasi.
Suara ponsel di sakunya berbunyi. Dia mengambil ponselnya. Tertulis nama Papi di sana. Dia berdeham. "Kalian semua tolong diam. Papi gue nelepon."
Semua langsung terdiam.
"Halo, Papi?"
"Ke mana aja kamu selama lima hari ini, anak sialan! Pulang sekarang!"
Sadewa langsung meringis sambil menjauhkan ponselnya dari telinga. "Oh, iya, gue udah beberapa hari ini nginap di rumah lo, ya." Ditatapnya Vasco yang sedang mengusap hingus sambil menatapnya. Sadewa menghampiri Vasco dan menendang dadanya sekuat tenaga. "Pasti ini ide lo!"
Sekarang, Vasco benar-benar menangis. "HUWAA SAKIT, YA DEWA!" teriak Vasco sambil berguling di lantai.
"Ah, bingsit kalian." Sadewa menatap teman-temannya yang duduk kalem. Sadewa mengangkat tangannya, lalu menggerakkan sikunya ke bawah seolah-olah menyikut mereka. "Heu! Gue terlalu pinter untuk kalian kerjain!"
"Jadi, lo mau pulang sekarang?" Dwi, si cowok berkacamata dan berambut gondrong, menghampiri Sadewa sambil membawa jaket dan kunci motor Sadewa. Sadewa menerimanya sambil mengusap liur di sudut bibirnya.
"Iya. Setor muka. Kalau nggak, kontrakan Vasco digusur entar."
Vasco berseru. "Serem amat Bokap lo!"
Sadewa memakai jaket kulitnya. "Ya udah. Gue tinggal, ya. Nath, tolong pimpin rapat untuk tawuran besok. Anak-anak Garsan bener-bener harus diberi pelajaran."
Nathan mengangkat jempolnya.
Sadewa ke teras kontrakan Vasco dan membawa motor besarnya yang berwarna putih itu keluar dari sana. Dia segera naik ke motornya, menyalakan mesin motor, dan tanpa pemanasan langsung menarik gas. Dia melajukan motornya dengan kencang melewati lorong perumahan sampai dia keluar dari portal perumahan yang hampir tertutup.
Malam itu, kendaraan semakin berkurang di jalan. Saat ini memang bukan akhir pekan. Sadewa menambah laju motornya agar cepat sampai. Toh, jalanan cukup luas untuk dia lalui. Bahkan dia bebas mengendarai motornya dengan gaya zig-zag, jika mau. Hanya saja, Sadewa tak punya banyak waktu untuk bermain-main. Dia harus segera sampai di rumah, setidaknya memperlihatkan wajahnya di depan Papi selama lima menit, lalu kabur lagi.
Selain karena bukan akhir pekan, kondisi bumi setelah hujan juga membuat orang-orang malas untuk keluar. Jalanan basah sehingga Sadewa jauh lebih hati-hati lagi saat menyadari bahwa sudah turun hujan di daerah sini.
Cowok itu memiringkan motornya saat berada di tikungan tajam dan membelalak saat dia tak bisa mengendalikan motornya, membuat lututnya yang dilindungi celana jin yang belum dicuci lima hari tergesek aspal, dan berakhir terguling di jalanan.
Kepalanya yang tak terlindungi oleh helm sejak berangkat dari rumah Vasco, menghantam sebuah pembatas pagar rumah orang.
Dia bergerak, berusaha berdiri, tetapi luka di kepalanya terus mengeluarkan darah, dan membuatnya berakhir tergeletak tak berdaya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Two Times
Teen FictionSELESAI ✔️ Kenanga yang pendiam, pemalu, lemah, selalu dirundung oleh teman sebangkunya yang bernama Sheila tiba-tiba menjadi sosok yang tak tahu malu, pembuat masalah, jago bela diri, dan tak tanggung-tanggung memukul siapa pun yang melukai dirinya...