12

954 154 12
                                    


by  sirhayani

part of  zhkansas

12

Cewek bernama Ria dan Safira mendorong keras Sadewa ke hadapan Sheila yang kini tak lagi memakai seragam, tapi pakaian biasa.

Untung saja Sadewa punya refleks yang bagus sehingga dia tak terjatuh di lantai yang hanya akan membuatnya seolah-olah berlutut di depan cewek tak ada akhlak itu.

Sadewa tak tahu Ria dan Safira adalah teman Sheila. Padahal sepulang sekolah Sadewa mengajak mereka berkenalan. Mereka juga terlihat menyambut dengan hangat, tetapi ternyata keduanya setan juga.

Sadewa terkekeh memandang wajah kusut Sheila. "Gimana rasa kotoran hidung Kenanga? Cuma gitu doang kok langsung pulang. Malu, ya?"

Cewek itu berdiri dan menampar keras pipi Sadewa.

"Dih, dia nyebut dirinya dengan nama," celutuk Ria.

"Lo!" Rahang Sheila mengeras. "Hilang ingatan ngebuat lo jadi berubah makin anjim, ya?"

"Hei, Sheila. Gue itu kalau mukul orang nggak lihat jenis kelamin, loh. Mau itu lo cewek cantik sekalipun, tapi kalau lo main fisik, ya ayo gue juga bakalan main fisik. Mau main mental? Sini main mental sama—"

PLAK. Satu tamparan mendarat lagi di pipi Sadewa. "Banyak omong lo. Pegang di—"

PLAK. Sadewa balas menampar Sheila bahkan Sheila belum sempat menyelesaikan ucapannya. Sadewa mengibaskan tangannya yang perih. "Duh, tangan anak ini tipis kali."

"LO!" Sheila melotot kesal. "Kalian berdua ngapain bengong aja sialan! Pegangin!" seru Sheila geregetan. Dia tak mungkin berteriak karena mereka masih berada di lingkungan sekolah, tepatnya di gudang sekolah.

"Eit, eit, nggak kena!" Sadewa berusaha menghindar. Dia malah tertawa saat Ria dan Safira tak berhasil memegangnya. Cowok itu naik ke lemari dan menongkrong di atas sana.

"Kalian kenapa, sihhh! Nangkap Kenanga aja nggak becus!" seru Sheila.

"Awas, loh, urat-urat di leher lo bisa putus." Sadewa memandang Sheila dari atas lemari. "Ngomong-ngomong, gue mau kentut di sini. Semalam habis makan jengkol yang dibeliin Keenan setelah dia susah payah nyari."

"Keenan...?" Sheila menggigit bibir.

Sadewa mendapatkan kesimpulan. Sheila menyukai Keenan.

"Dia nyari jengkol susah payah cuma demi ... ayangnya tersayang." Sadewa memanas-manasi.

"Ayang...?" Sheila mengambil sebuah kayu panjang dan mengarahkannya kepada Sadewa. Cewek itu berusaha menusuk Sadewa apa pun tubuh Sadewa yang terkena ujung kayu.

"Woi, anjng! Benar-benar anak setan!" seru Sadewa. "Lengan gue kena! Sakit, bngst! Gue nggak bisa nahan kentut, nih!"

Sheila berteriak histeris. "BANYAK OMONG LO, CEWEK ANJNG!"

BRUT BRUT BRUUUT

Bau menyebar dengan cepat di gudang yang sempit.

"Hoek!" Ria mual-mual sambil berlari keluar dari gudang. Safira juga ikut lari dan malah menutup pintu.

Sheila menutup hidungnya dan hampir mengeluarkan isi makanan dalam lambungnya. "Sial!" Dia terlihat tak tahan dan akhirnya berlari kencang keluar dari gudang. "AWAS LO! GUE BAKALAN MAMPUSIN LO DI LAIN WAKTU." Lalu dia menutup pintu gudang.

"Lah, jangan bilang mereka ngunciin gue?" Sadewa mengibaskan tangannya di depan hidung. "Bau kentut sendiri memang enak, tapi kalau di ruangan tertutup gini bisa bikin pingsan."

Saat dia baru akan turun, pintu terbuka. Keenan muncul sambil mengibaskan tangannya di depan hidungnya sambil berjalan mendekati lemari di mana Sadewa masih bertengger di sana.

"Pintu gudang terkunci di luar, untung kuncinya masih nempel. Gue lihat mereka lagi pada lari. Jadi, buru-buru ke sini." Keenan mengulurkan tangannya di bawah lemari sambil menahan napas. "Sini turun. Gue tadah."

"Kagak usah." Sadewa melompat dan mendarat dengan baik. "Buruan keluar. Bau anjay."

"Mereka jahat banget sampai nyemprotin racun di sini dan ngunciin lo dari luar."

"Ngomong-ngomong, racun yang lo maksud itu dari kentut gue."

"Apa...?"

"Lupa lo? Gue kan semalam habis makan banyak jengkol."

"Hah ... haha. Lo yang pemalu jadi nggak punya malu gini." Keenan tertawa ketika keluar dari gudang itu. "Biarin aja pintunya kebuka. Biar baunya keluar. Nanti gue titip aja ke satpam buat kunci lagi."

"Siap, Bro." Sadewa membuka lebar-lebar pintu gudang, lalu kembali melangkah. Keenan yang sempat berhenti, kembali melangkah ketika Sadewa berjalan hampir melewatinya. Mereka berjalan menuju parkiran sekolah. "Gue punya ide."

"Apa?" tanya Keenan.

"Lo pura-pura aja nggak tahu kalau Sheila dan dua temennya itu sering nge-bully gue," kata Sadewa. "Gue aslinya pengin buat dia dan temen-temennya babak belur, sih, tapi gue khawatir malah akan ngerugiin gue nanti. Kekerasan fisik itu membekas di tubuh, bisa dibuktiin dengan visum. Lah kalau kekerasan mental? Mana bisa. Gue akan pancing Sheila untuk lakuin kekerasan ke gue di depan banyak orang.

"Anjay pinter juga gue, tapi masalahnya gue orangnya nggak sabaran jadi kalau mereka bikin gue kesel, gue bisa buat mereka babak belur sekali-kali."

"Yah..., apa pun itu, setidaknya gue bisa lebih lega karena lo jadi pemberani," kata Keenan sambil menurunkan poni Sadewa yang berantakan.

Sadewa menjauhkan kepalanya dari tangan cowok itu. "Ngomong-ngomong, nggak usah bersikap manis gitu, dong, ke gue. Gue jijik sama sikap lo."

"Hah?" Keenan memandangnya terluka.

"Rangkulan aja. Bro bro an gitu." Sadewa menarik tangan Keenan, mengarahkannya ke pundak Sadewa. "Eh, Bro. Lo bisa nggak minta ke Mama atau Papa lo beliin lo motor gede? Gue yang mau pakai, tapi. Lo pakai matic lo yang sekarang."

Sadewa juga ingin punya motor sendiri, tetapi kedua orang tua Kenanga pasti tak akan membelikan Kenanga motor, apalagi motor yang Sadewa inginkan.

"Mama...." Keenan bergumam. "Memang lo bisa kendarain motor?"

"Bisa, dong."

"Lo belum bisa."

"Gue dapat keajaiaban bisa naik motor tanpa belajar."

"Halah."

"Ayolah, Bro."

"Nggak usah aneh-aneh."

"Nggak seru, ah."

***



Two TimesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang