Chapter 4: The Voices

54 3 2
                                    

Setelah beberapa hal yang terjadi akhir-akhir ini, penulis merasa gagal mengumpulkan kembali keberanian untuk melanjutkan cerita yang bahkan belum setengah jalan. Mengingat masa lalu ternyata semakin menarik diriku merasakan perasaan itu lebih dalam. Not to mention that I'm hurt and going to get a revenge soon, no. My head's hurt to think back every part of the old events. Many bugs in my head, let me count them, ah, I'm going insane. Oleh sebab itu, butuh waktu yang lebih banyak untuk menyelesaikan bagian cerita ini dan aku masih merasa ini belum layak dipublikasikan tetapi bukankah lebih baik untuk dibaca hingga habis terlebih dahulu? Then, here goes the story.

***

Memasuki semester genap ini sekolah kami mengikuti lomba paduan suara SD tingkat kecamatan. Aku tertarik untuk menjadi bagian dari tim lomba paduan suara itu. Dengan mengambil langkah pasti aku menghadap pelatih yang tidak lain ialah wali kelasku sendiri. Beliau yang sangat mengerti kepribadianku yang straight-forwarded dan tidak suka dengan budaya basa-basi itupun menerima permohonanku. Yay! Ada kegiatan baru yang bisa kulakukan, I'll make some friends!

Wah saking bersemangat untuk mengikuti lomba, Aku sampai baru ingat dengan tetangga sebelah yang suka bernyanyi seenaknya itu. Tidak. Aku tidak bermaksud untuk melarang, malah senang. Hehehe. Apakah ia juga tertarik untuk mengikuti kegiatan ini? Karena seperti yang telah kukatakan, dia ternyata senang bernyanyi di sela-sela waktu senggangnya di rumah.

Saat pertama kali mengetahui suara-suara itu, Aku yakin dialah orangnya. Bukan kedua abang maupun adiknya. Jadi, apakah aku harus senang berkesempatan mendengarkan lagu-lagu band yang sedang hits itu dinyanyikan olehnya? Entah, namun aku sering tidak sadar masih tersenyum padahal suara-suara itu sudah sirna. Belakangan diketahui vokalis band tersebut merupakan paman dari teman SMA-ku di masa yang akan datang. Aku pikir ini ada hubungannya, tapi kalian boleh mengabaikannya.

Sebelumnya maafkan aku, tetapi aku tidak bisa membiarkan suaramu menjadi sia-sia untuk tidak didengarkan. Aku mohon maafkan aku karena diam-diam duduk merangkai asal kalimat-kalimat menjadi sebuah puisi ataupun lirik amatiran sambil mendengarkanmu melantunkan beberapa lagu.

Oke, lebih baik kusudahi permohonan maaf ini. Ehm, jadi dia suka bernyanyi? Tapi, apa dia tidak pernah berpikir bahwa suaranya akan terdengar sampai ke ruang keluargaku? Ya Tuhan, aku baru saja bertanya pada diri sendiri. Aku menyesal telah banyak berkaraoke akhir-akhir ini. *benturin kepala ke tembok*

Agenda latihan paduan suara itupun dimulai sepulang sekolah hingga jam lima sore, terkadang bahkan baru selesai sebelum adzan maghrib. Tak disangka kegiatan ini akan membuatku memiliki banyak waktu yang bisa dihabiskan bersamanya. Tanpa bisa mengobrol secara langsung, asal aku tahu jika kita berpijak di panggung yang sama itu sudah cukup membuatku senang menjalani hari-hari latihan yang sibuk.

Aku bersyukur hobi bernyanyi ini bisa tersalurkan dan menjadi jembatan untuk bisa lebih sering berpapasan dengannya. Iya, sekedar berpapasan. Tanpa menerapkan prinsip 'senyum, salam, sapa', dia hanya lewat begitu saja. Benar-benar paket hemat. Aku bahkan jalan dengan kepala tertunduk seakan berpikir bertatapan itu sangat dilarang seperti halnya begadang ala Rhoma Irama. Sungguh, aku masih anak kecil, ada apa dengan larangan-larangan itu?

Benar, Aku paling tidak bisa menyembunyikan perasaan. Tanpa sadar aku selalu kedapatan tersenyum ke arahnya. Sesekali aku memalingkan pandangan tetapi tetap bisa menemukan keberadaannya. Dia yang mungkin sedari tadi merasa risih akhirnya melihat aku yang sesaat tidak berkedip di sudut panggung.

Bodoh.

Mengapa tidak ada hembusan angin yang membawa debu masuk ke mataku sehingga ada alibi untuk aku mengusap mata?! Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan saat itu hanyalah menunduk menyesal dan sesekali membenturkan kepala ke dinding saking malunya. Benar-benar canggung.

Your gaze and those eyes are the things I can't let from my sight

I want to be closer and erase the gap between us

I didn't hope anything more than a good friendship after just a neighbour

I am a clumsy girl who tends to be fear in front of the boys

You may encourage me, if I could say

So, let's be friends, sharing laughs and smiling more.

***

Setelah sebulan intensif latihan paduan suara, akhirnya pagi itu kami berangkat menuju kantor kecamatan menggunakan dua mobil milik wali murid. Hatiku berdebar karena harus tampil di depan banyak anak-anak sekolah lainnya, tak terkecuali para juri yang fokus mencari kesalahan dari penampilan tim sekolah kami. Kami melantunkan sebuah lagu daerah dan satu judul lagu bebas yang justru aku lupa namanya. Hehehe

Sebelum pulang kami sempat melihat beberapa penampilan dari anak-anak sekolah yang sepertinya lebih banyak mendapat asupan gizi seimbang dibanding kami yang bahkan menggunakan rompi yang masih dirasa kebesaran. Mereka terlihat sangat bersinar dan 'terbakar' ketika menyanyikan lagu daerah Jawa Barat berjudul Manuk Dadali. Apa yang sebenarnya membuat mereka begitu 'terbakar'? Hahaha

Baiklah, kurasa ini lebih cukup untuk menghibur diri selama dalam perjalanan pulang. Kami, anak-anak sd yang baru sekali ikut lomba langsung menjadi pasrah. Jangan ditiru, ini contoh yang tidak baik.

Meskipun tidak kunjung mendapat panggilan dari panitia lomba untuk bisa lanjut ke tingkat kota, kami justru bersyukur karena bisa mempersembahkan dua lagu hits yang diciptakan Dhani Ahmad pada acara pembukaan seminar yang diadakan di wisma dekat sekolah kami. Bahkan saking dekatnya, kita hanya perlu berjalan kaki layaknya sedang mengikuti kegiatan gerak jalan di tengah hari. Alhasil kami pulang dengan muka kusam hampir tidak dikenali oleh anggota keluarga. Setidaknya kami punya jawaban bagi yang bertanya alasan mengapa kami terlihat begitu 'terbakar' meskipun tidak bersinar. Demikian.

Ohya, berkat acara seminar itu, aku mendapat waktu ekstra untuk bisa melihatnya di tempat yang sama denganku. That clumsy boy. Lucu sekali bisa melihat potret dirinya yang khas saat membenarkan seragam maupun saat merapikan ikat pinggang.

Sekarang aku mulai belajar tersenyum sedikit ketika ketahuan sedang mencuri pandangan, tetap sambil bersiap lari menjauh. Ugh, Mengapa semua yang kulakukan di hadapannya terasa begitu aneh. Sepertinya hanya aku yang membuat atmosfer itu menjadi begitu canggung. My fool.

Aku tak tahu pasti mengenai getaran yang kurasa ketika bertemu langsung dengan sepasang mata itu. Entahlah. Tetapi tiap kali bertemu dengannya aku tidak dapat mengeluarkan kata-kata yang lebih dari sekedar jawaban atau bahkan berusaha untuk mengembangkan percakapan itu sendiri. Bodohnya aku yang hanya terpaku di hadapan anak itu, kalaupun tidak pasti aku akan mengeluarkan jurus seribu langkah mundur teratur untuk menghindar. Saat itu juga aku merasa seperti ninja.

Apa pecundang yang tiba-tiba bermimpi menjadi ninja sehingga memiliki kemampuan khusus untuk bersembunyi? Padahal kalau dipikir, ada saatnya juga bagi ninja untuk berani berhadapan dengan lawannya. Aku tidak berbakat menjadi ninja. Seharusnya sejak awal sudah kukatakan hal ini kepada Tsunade.

***

Sudah kubilang, ceritaku kali ini tidak terlalu spesial. Sosok yang seharusnya menjadi pusat cerita malah terkesan sebagai cameo semata. Tapi, peran dia di kehidupanku memang begitu. Sungguh. *sobbing*

Tidak ada interaksi yang berarti di antara kami sampai saat ini. Benar-benar zero waste *eh progress. Hanya ada aku yang sering tertangkap basah melihatnya sedang sibuk bermain dengan teman-teman jauh di sana. Aku tidak terlalu berharap juga jika dia sesekali melihat ke arahku. Hal-hal seperti ini tidak boleh mengganggu pikiran anak kecil yang sama sekali tidak berpengalaman seperti aku. Hehehe.

Terakhir, semoga kalian tidak menyesal telah membaca cerita ini, atau justru kalian penasaran?Ehm, Aku lebih suka yang terakhir. Hehehe. Kenapa aku banyak tertawa kali ini?

Untold PainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang