12

2.1K 156 3
                                    

Tsuyu di bulan Juni, menggambarkan kelunturan masa kelam dan masa kekang Arsena. Sejak sebulan lalu ia menginjakkan kaki di tanah Jepang, belum pernah dia rasakan turunnya hujan.

"Lumayan panas, tapi tak terlalu beda dengan masa lalu." Senyum kecil di bibirnya.

"Semoga 5 tahun ku nanti tak sia-sia." Ucapnya dengan melangkah menuju tempat kursus bahasa.

Memantapkan untuk tinggal disini selama lima tahun. Berusaha melupakan masa lalu, salahkah dia? Bahkan selama ini dia selalu menanggung beban hati sendiri.


Tak terasa bahkan kali ini musim salju ketiga. Artinya hampir tiga tahun karakter asli Arsena sedikit luntur tersapu arus lingkungan. Beruntung di tempat kos yang ia tempati hanya diisi mahasiswa asing dari Eropa serta Amerika dan tak banyak mahasiswa Jepang. Setidaknya tak akan ada orang yang SKSD dengan bertanya tempat tinggalnya dulu dimana, dan dari SMA mana.

Maklum bagi budaya yang demikian terasa bertanya namun sebenarnya berusaha menguliti objeknya.

"Makan nasi, telur sama ikan udah cukup. Nanti sore masuk baito." Rencana Arsena untuk hari libur ini.

Kebiasaan barunya hanya tidur, makan, kuliah, baito, dan belajar. Tak ingin jika beasiswanya dicabut mengingat Monbukagakusho yang diterimanya amat berharga.

Usaha sampingan pun dia manfaatkan bagi teman sesama negaranya. Maklum jika dia sering harus keluar kota sehingga sempat berbelanja. Hunting toko-toko barang murah serta makanan khas Indonesia.

'Lidahku medok, kalo bumbunya cuma kaldu daging sama sayur mending bikin sayur bening. Cuma pakai kacang panjang, air, asam dikit sama sepotong baput beserta daun bawang dikit.' begitulah motonya agar tak sering tergiur banyaknya makanan asli Jepang yang bening.

Lumayan dengan tarif jastip yang dia lakukan. Pun sistem COD dilakukan agar tak ditipu. Maklum transaksi menggunakan mata uang fisik disana lebih lumrah dibanding e-money.

Di tahun itu pula dia mengambil magang sebagai bagian kuliah selama beberapa bulan. Memantapkan bahwa akan lebih baik nantinya ia langsung bisa berkarier disini.

Hingga tepat usai lima tahun, rencana berkarier itu terpaksa hancur. Dimana seorang lansia pria itu menghampirinya saat berpesta makanan manis di taman.

"Puas dengan kehidupan penuh mimpimu hm?" Ucap kakek itu (dalam bahasa Jepang) ikut duduk di tikar kecil.

Taman yang ramai di tengah musim semi. Rumput hijau, suhu yang tak terlalu panas, serta bunga sakura yang kini bermekaran. Membuatnya sedikit harus merasakan pahit ditengah mengunyah manju buah.

"Apa? Lagipula siapa Anda?" Jawabnya dengan sedikit logat kasar dalam bahasa Jepang.

"Berhenti berpura-pura Arsena, Kakek yang akan membawamu pulang. Tak ada bantahan!" Tegasnya lalu ikut makan menghabiskan tiga kotak kue.

"Fag kata gue mah!" Umpatnya pelan dengan menengok ke samping.

"Bahasamu Sen, ini Kakek!" Geleng-geleng dengan sifat Arsena yang sekarang. Bernard Abigail, sosok campuran Inggris-Indonesia yang condong jawa itu kakek Arsena dari bundanya.

Selama ini dia tak terlalu tertarik dengan Suryajaya. Bahkan dia amat malas bertemu orang itu. Alasan singkatnya karena tak bisa membuat putri satu-satunya bisa berhenti dengan sifat tamak.

Dan setelah mendengar kasus putrinya dulu, dia terkejut dengan keadaan. Ia menyukai sosok Rangga karena terkenal ramah, namun menantunya itu tak mau menceraikan anaknya. Jadilah dia melindungi anak yang dihasilkan itu sambil memantaunya meski tak benar-benar tau apa yang terjadi padanya.

"Besok aku akan menghadiri kelulusanmu, berikan undangannya!"  Ucap kakek itu sambil mengelap mulutnya.

"Ngga." Datar Arsen

"Tak usah malu begitu, begini-begini aku kakek yang selalu menyayangimu." Ejeknya pada Arsena yang makin tak enak dilihat.

"Tak usah repot Yang Mulia, usai bertemu denganmu pasti hamba yang hina ini akan mendapat kemalangan." Jawab Arsena dengan ekspresi dibuat-buat.

"Cih so fun kan begitu?" Godanya.

Arsena makin kesal. Ditariknya tikar lalu membereskan barang bawaan lain lalu pergi dari tempat itu.

"Sepertinya tak perlu tes DNA Tuan, sangat mirip dengan sifat Anda!" Ucap seseorang yang lebih muda di belakang Bernard.

"Kau tak tau bagaimana saat dia tak memiliki hati nanti. Mungkin aku akan membentuknya demikian."

Senyum puas melihat cucu kecilnya dulu yang tak pernah mau berdekatan dengannya. Bahkan saat dibawa menginap kerumahnya, dia sama sekali tak berbicara. Meski mendapat sogokan dari istrinya.

"Kau sudah besar, opera mu segera digelar. Terpenting adalah masa depanmu nak. Pahit, kakek akui kenyataan demikian...

Tapi kakek percaya, meski yang nanti kau jalani merupakan opera. Setidaknya kau adalah aktor terbaik." Setitik air mata itu jatuh.

Bernard baru mengetahui kenyataan akan kekejaman di rumah menantunya kala suruhannya pulang sendirian. Dimana dilaporkan para pembantu bersikap penuh kebencian pada Arsena, anak itu yang sering disiksa bahkan sedari kecil hingga saat itu hilang dari rumah sakit.

Usai pencarian ditemukan mata-mata yang mengamati Rangga bahwa cucunya berdada pada ayah kandungnya. Dan tak lama anaknya mengaku sering meminta untuk menyiksa Arsena tanpa ampun sambil memutar berbagai video penyiksaan serta rekaman suara saat kegiatan itu dilakukan oleh Andrean maupun bodyguard. Berakhir pada aksi bunuh diri putri satu-satunya karena depresi tak menemukan mainannya.

"Mari Tuan, undangan sudah berada di meja Anda. Semua telah siap untuk besok." Ujar asisten itu sopan.

Biarlah beberapa orang itu sedikit kriminal karena membobol kosan cucu tuan mereka, setidaknya tak meninggalkan jejak dan tak mengambil apapun selain undangan.

Esok hari di pagi yang cerah penuh dengan hingar bingar kebahagiaan. Setelan rapi yang dikenakan Arsena, tubuhnya diputar berkali-kali di depan cermin westafel yang kecil itu.

"Pesona Arsena emang ngga pernah luntur!" Ujarnya berkali-kali membenahi rambut yang sedari tadi memang rapi.

Sesampainya di gedung, acara kelulusan dimulai. Satu-persatu masuk dalam ruang dengan pengumuman kelulusan. Lulus dengan nilai terbaik di arsitektur, dia amat bangga dengan pencapaian itu. Namun senyumnya luntur karena melihat kakek tua yang duduk jauh di barisan belakang.

Usai mendapatkan mengembalikan kartu mahasiswa dan perlengkapan kuliah lain, dia mengambil ijazah dan transkrip. Berharap usai waktu sejam setelah bubar di gedung utama, kakek itu bosan lalu pulang.

"Mari Tuan Muda ikut saya." Ujar seseorang dengan setelan jas hitam mengagetkan Arsena.

Pasrah dia saat itu mengikuti lokasi yang dituju. Apalagi jika bukan merayakan kelulusan bersama kakek tua itu.

Dia paham bahwa kakeknya itu selalu berisik. Pasrah saat disuruh foto kelulusan didepan gedung kampus, lalu berlanjut ke restoran.

Ternyata mobil melaju ke lokasi yang agak jauh. Meski Arsena tau beberapa jalanan di Osaka. Dia tak tau mobil yang ditumpanginya menuju arah mana.

"Taraaa!" teriak kakeknya sampai di dekat street food.

Selera Arsena bukan restoran mewah seperti restoran sushi mahal atau restoran yang menyajikan daging wagyu A5. Bernard paham anak itu. Asal dengan makanan pinggir jalan yang bersih dan murah sehingga mendapat banyak dia suka.

Takoyaki, soba, taiyaki, dango, dan tentunya toko kue manju menjadi sasaran. Mereka sama-sama tak menyukai es krim, hanya minum air putih atau jus buah tanpa gula atau pemanis.

Usai jajan hingga kenyang, mereka pulang. Mengantarkan Arsena menuju kos agar segera istirahat.

"Ingat seminggu lagi akan dijemput! Pulang dan lakukan apa yang memang seharusnya dilakukan." Ucap singkat Bernard saat Arsena hendak menutup pintu.

"Hah, aku bukan perusak kebahagiaan orang!" Hela nafas berat seolah akan makin memberat tiap detik.




TBC

Sebenarnya Arsena bahagia ngga? Entahlah. Setidaknya ngga mati kan.

SOLOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang