✂ - - - dihapus sebagian
TW: Perselingkuhan, contains sexual activities, 21+, harsh words, sad and lonely girl, please read it wisely
***
Tatap mata itu menjerat, lekat dan mengikis akal sehat. Sorotnya membuat jantung berdebar lebih cepat, berhasra...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Petugas akhirnya memanggil penumpang yang mendapatkan nomor tempat duduk di barisan depan untuk naik ke pesawat. Dilla dan Abil berjalan beriringan, memasuki barisan dan mengantri untuk menunggu giliran masuk ke burung besi yang akan membawa mereka ke Bali itu.
Setelah masuk ke dalam pesawat, Abil berjalan di depan Dilla, menyusuri lorong pesawat sambil terus mencari nomor kursi yang akan menjadi tempat duduk untuknya dan Dilla hingga hampir dua jam ke depan.
Ketika matanya telah menemukan nomor kursi mereka, langkah Abil berhenti. Ia berbalik lalu sedikit membungkuk.
"Awww!"
Abil yang berniat untuk mengangkat koper Dilla malah mengaduh bersamaan dengan wanita itu. Dahi mereka saling bertabrakan karena sama-sama membungkuk untuk mengangkat koper.
"Duh! Maaf, maaf!" Refleks, Abil meraih kepala Dilla dan mengusap dahi perempuan itu dengan wajah meringis khawatir. "Sakit banget, ya?"
Dilla tertawa kecil di sela-sela ringisannya. "Sakit banget, sumpah. Bocor nggak?"
"Bolong!" kekeh Abil sambil mengusap wajah Dilla dengan gemas hingga rambut wanita itu menutupi setengah wajahnya.
Dilla mendorong tangan Abil sambil tertawa meski matanya berair karena saking sakitnya benturan yang terjadi barusan.
"Untung jiwa kita nggak ketuker, nih, Bil. Kencang banget nubruknya." Kelakar Dilla masih sambil tergelak pelan.
"Apaan, siiih." Sahut Abil sambil mengangkat koper Dilla dan menaruhnya di kompartemen atas. Kedua sudut bibirnya masih tertarik, tak bisa menahan geli. "Duduk buruan! Orang nungguin, tuh."
Dengan masih terus cengengesan, Dilla melangkah masuk ke dalam kursi lebih dulu karena ia memang meminta Abil untuk menyerahkan window seat miliknya pada wanita itu.
Begitu Dilla duduk, Abil—yang baru saja menaruh ranselnya di kompartemen atas setelah mengambil buku dari sana—duduk di sebelah Dilla.
"Benjol nggak?"
"Hm?" Dilla yang sedang menatap pemandangan lapangan terbang di luar jendela menoleh dan seketika langsung terkesiap karena ternyata Abil sedang mendekatkan wajahnya.
Dengan cepat, ia memundurkan kepalanya sebelum hidung mereka bersentuhan.
"Sorry." Gumam Abil. Ia juga memundurkan wajahnya saat menyadari reaksi Dilla yang buru-buru menjauh.
Dilla berusaha mengulas senyuman di balik gugupnya yang semakin tak terkendali. Degupan jantungnya semakin tak beraturan, bunyinya kencang seperti mau tawuran.
"Nggak benjol, sih." Abil mendaratkan tangannya di atas kepala Dilla, lalu ibu jarinya mengusap dahi Dilla—di bagian yang tadi membentur dahinya—dengan lembut.
Dilla hanya bisa mematung, menatap Abil dengan kaku, sambil terus berusaha keras meredakan debaran yang semakin menggila di balik dadanya. Teriakan-teriakan tentara kecil di sudut kepalanya semakin ramai seolah ada huru-hara. Dilla mencoba untuk menulikan hatinya, tak mengindahkan peringatan yang datang dari akal sehatnya.