Satu bulan kemudian.Hidup Joanna berbalik 180° saat Jeffrey tiada. Dia mulai bekerja lebih ekstra dari sebelumnya. Karena harus memikirkan kelangsungan bisnisnya.
"Produk baru kita akan tetap launching bulan ini! Sampel sudah diuji berkali-kali, bahkan aku sendiri juga memakai produk ini. Aku yakin kali ini akan berhasil!"
Seru Joanna di akhir rapat hari ini. Sedangkan para karyawan hanya tersenyum getir. Sebab mereka juga merasakan bagaimana beratnya pekerjaan setelah tidak ada Jeffrey.
Jelas saja, ini karena Joanna belum pernah menjalankan bisnis sendiri. Sebab selalu ada Jeffrey yang membayangi. Entah secara langsung maupun tersembunyi.
"Pak Jeffrey datang ke sini kapan, Bu?"
Tanya Hani, salah satu karyawan di sini. Wajahnya tampak lesu sekali. Sama seperti yang lain. Sebab mereka telah kurang tidur selama satu bulan ini.
"Ada apa? Ada masalah apa?"
"Ada satu properti launching yang sulit kita dapatkan."
"Properti yang mana? Kenapa baru bilang?"
Joanna mulai berkacak pinggang. Sebab launching produk baru akan berlangsung satu minggu lagi. Namun properti acara justru baru dicari.
"Maaf, Bu. Kami lengah, tidak sadar kalau ketinggalan satu properti yang belum ditemukan. Saya dan tim baru tahu semalam. Kami sudah mencari tahu di mana barang ini bisa didapatkan, tapi ternyata tidak ada. Sepertinya Pak Jeffrey sendiri yang berencana membuat. Karena beliau yang merancang tema hingga perintilannya."
Joanna menatap layar iPad yang baru saja Hani tunjukkan. Ada lukisan berbentuk logo brand cukup besar yang terletak di paling atas gambar. Memang terlihat biasa saja, namun jika orang jeli melihat, mereka akan menemukan pathway yang berisi time line saat brand ini diciptakan. Dimulai dari awal pembuatan, hingga seperti sekarang.
"Bagaimana, Bu?"
Joanna berkaca-kaca. Sama seperti yang lain juga. Sebab mereka jelas ikut merasa patah hati sekarang. Merasa jika orang tua mereka sedang berpisah. Karena selama ini Jeffrey dan Joanna yang telah bersama-sama membangun brand. Sehingga jika salah satunya menghilang, mereka akan goyah.
"Apa tidak ada orang lain yang bisa membuat ini? Mau berapapun yang diminta akan aku penuhi dengan uang pribadi!"
"Ada, Bu. Pak Jeffrey, dia yang mendesain semua ini. Dia pasti sudah---"
"Hani! Kamu saya gaji tinggi! Saya tidak mau hanya masalah ini launching produk kita tidak jadi! Kalau tidak bisa, ganti! Jangan memperumit masalah sepele seperti ini!"
Setelah berkata seperti itu Joanna pergi. Sedangkan Hani mulai menahan tangis. Lalu ditenangkan karyawan yang lain. Sebab mereka tahu jika Joanna sedang pusing. Dia belum bisa meregulasi emosi hingga melampiaskan pada orang lain.
Prang...
Joanna membanting gelas kaca pada tembok ruangan. Dia marah, pada dirinya sendiri yang masih saja terbayang akan si mantan pacar. Padahal dia sudah berusaha memutus hubungan. Sudah memutus kerjasama dengan orang-orang yang terafiliasi dengan si mantan pacar.
Namun ternyata, segala usaha keras yang dilakukan sia-sia saja. Sebab brand ini ada campur tangan Jeffrey juga. Pria itu banyak berkontribusi di dalamnya. Tidak heran jika jejaknya masih ada meski Joanna sudah berusaha begitu keras menghapusnya.
"Apa aku tutup saja brand ini? Lalu mengeluarkan brand baru lagi? Tapi, apa tidak sia-sia segala bentuk promosi yang telah kulakukan selama ini?"
Joanna menangis. Dia benar-benar takut kali ini. Takut dia gagal dalam berkarir dan berakhir jatuh lagi. Lalu membutuhkan orang lain untuk bangkit.
"Aku bisa sendiri! Aku bisa sendiri!"
Joanna mulai meraih ponsel di saku celana. Dia mendial nomor seseorang yang dikenal. Guna meminta bantuan.
"Halo, Rin. Kenalan Mas Danu yang kata lo pinter gambar masih free, nggak? Gue lagi butuh jasa dia."
Urgent banget? Dia udah nggak free sekarang. Lagi ada banyak project soalnya. Lo ada butuh apa emang?
Joanna mulai menceritakan masalahnya. Berharap Irin punya solusi lain untuknya. Sebab dia benar-benar sudah buntu sekarang.
Deadline seminggu lagi, ya? Coba gue tanya Mas Danu. Siapa tahu Mika mau bantu. Kayaknya gambar kayak gitu bisa pake AI deh. Tapi kalo dilukis sendiri, gue yakin Mika bisa, sih. Dia ahli soal yang begini.
"Thank, you! Tolong banget bujuk si Mika Mika itu. Gue udah hopeless banget sekarang. Nggak mungkin juga gue balikan sama Jeffrey cuman gara-gara ini doang."
Sans, Jo. Dua jam lagi Mas Danu istirahat, nanti langsung gue tanyain ke orangnya.
Joanna bisa bernafas lega. Dia juga mulai membersihkan pecahan gelas yang baru saja dilempar. Lalu memesan makan siang untuk para karyawan. Sekaligus meminta Maaf pada Hani karena sudah dibentak.
Satu minggu berlalu. Joanna berhasil meluncurkan produk baru. Bahkan produk ini terjual sebanyak 100.000 pcs dalam waktu dua menit jika dihitung. Membuat wanita itu menangis haru.
See? Jeffrey, tanpa kamu aku bisa sendiri.
Joanna mulai menyeka air mata. Lalu menyambut orang-orang yang datang di acaranya. Tidak lupa juga membalas ucapan teman-teman dalam chat. Sebab acara ini disiarkan secara langsung di instagram. Sehingga banyak orang yang menyaksikan.
Tidak terkecuali Jeffrey yang saat ini berada di pinggir jalan. Dia baru saja pulang kerja. Namun dia menyempatkan diri untuk menonton siaran langsung di akun instagram.
Pria itu senang, namun sedih juga. Karena tidak bisa hadir di sana. Sehingga dia memutuskan untuk menunggu di kantor saja. Sembari membawa makanan untuk para karyawan yang sudah berusaha keras mewujudkan acara.
"Siapa dia?"
Tanya Jeffrey saat melihat pria tinggi berkulit tan yang datang ke acara. Dia menyapa Joanna dengan menjabat tangan, namun wanita itu justru menolak dan langsung memeluknya. Begitu erat dan sangat lama. Bahkan sembari memejamkan mata. Seolah pria itu sangat berharga.
Setelah berpelukan, mereka berbincang di pojokan. Hampir tidak tertangkap kamera. Namun Jeffrey masih dapat melihat. Karena dia sedang memakai kacamata baca.
"BAJINGAN!"
Jeffrey melanjutkan perjalanan. Dia langsung menuju kantor Joanna. Karena di sana pasti ada beberapa karyawan yang ditinggal. Untuk memantau berjalannya acara dari balik layar.
"Pak Jeffrey?"
Panggil Hani dan yang lain. Mereka tampak senang sekali. Karena sudah lama merindukan pria ini.
"Siapa laki-laki yang pakai jaket merah, Han?"
Tanya Jeffrey sembari menunjuk layar iPad di atas meja. Karena tidak mungkin wanita itu lupa siapa pria berjaket merah yang sebelumnya tertangkap memeluk Joanna agak lama. Sebelum akhirnya melipir ke pojokan bersama.
"Eh, itu, Pak. Artist yang membuat lukisan pathway."
"Kalian tidak buat dari AI? Aku sudah buat sampelnya. Kenapa tidak tanya kalau memang tidak bisa?"
Mampus.
Batin Hani yang lagi-lagi kena marah. Karena dia memang team leader di sana. Tidak heran jika dia sering menjadi sasaran.
"Maaf, Pak. Tapi Ibu sendiri yang ingin ini dilukis. Saya dan tim sudah memberikan opsi memakai AI."
Jeffrey yang mendengar itu semakin emosi. Dia masuk ruangan Joanna yang memang tidak pernah dikunci. Karena tidak ada barang berharga juga di sini. Selain PC yang bisa mengakses semua CCTV.
Jeffrey duduk di sana cukup lama. Memeriksa segala kegiatan Joanna di kantor selama dia tidak ada. Membuat emosi pria ini mulai memuncak. Karena Joanna kerap membawa masuk si artist ke ruangan cukup lama.
Memang mereka hanya berbincang. Namun yang membuat Jeffrey kesal adalah raut wajah Joanna yang tampak begitu bahagia. Sama seperti saat mereka awal pacaran. Tidak seperti belakangan yang sering memaki dan mengumpat saat ada masalah.
10 comments for next chapter.
Tbc...