23; Riak & Sambutan Buih Berdarah

165 21 17
                                    

“Seandainya kita yang mati, biar air yang membawa pergi."
——————————

   Burung-burung beterbangan panik hingga letusan kedua begitu memekikkan indera pendengaran. Darah yang segar pucat membasahi sekujur wajahnya, hingga kedua mata yang menajam menatap iba dengan tangan gemetar serta denyut jantung berdegup begitu kencang—seluruh tubuh terasa begitu lemas, bahkan untuk bergerak pun sulit rasanya.

  Sekarang kekacauan itu terus menjadi bumerang, tubuh Juna rubuh seketika, matanya terbuka sedikit—menatap semua hal yang kini harus ia tinggalkan, tentang sebuah perjalanan yang lama nan sulit, pahit serta kesenangan ditempuh bersama, kini Juna tahu bahwa frasa kematian sudah di ambang mata.

   Rhuto menangis, bahkan merangkak, menggesekkan tali di tangannya pada batu—hingga memaksa lepas dan berhasil, Rhuto meneriaki Juna—seiring dengan darah yang terus keluar dari hidung, mulut dan kepalanya. Peluru itu benar-benar menembus ke dalam otaknya, Rhuto memeluk tubuh Juna yang bersimbah darah, sementara orang-orang biadab sibuk mencoba menolong Pak Yeri yang sudah terluka parah dan denyut nadi yang melemah. Rhuto memeluk Juna, tak peduli begitu banyak darah yang telah melintas di tubuhnya, mata Juna menyipit seiring napasnya yang menipis memaksa untuk terus berembus, Rhuto memeluk tubuh itu—tak lagi ia peduli air  matanya bahkan menjatuhi wajah Juna yang tertutup darah. Tangan kanan Juna yang gemetar menyentuh lengan Rhuro lalu sebuah napas paling pendek mengembus perlahan.

"Ma—maaf Bujang," ucap Juna membulirkan air mata terakhirnya, hingga sebuah senyuman yang terpaksa keluar dari bibir mungil itu.

  Rhuto menggelengkan kepalanya, seolah Juna tak boleh pergi sekarang, ia berharap bahwa realita ini hanyalah sebuah ilusi lantaran rasa lapar. Rhuto memeluk Juna, kian erat hingga ia tak lagi merasakan deru napas kesusahan itu mengembus dadanya—tubuh Juna kini sudah tak berdaya setelah kian detik menghembuskan napas terakhirnya. Rhuto menangis sejadi-jadinya, ia memeluk tubuh itu seolah ia tak mau kehilangannya, tapi terlambat sudah—Rhuto kini hanya memeluk jasad Juna, ia kehilangan nyawa itu.

  Dokter Bedah itu berteriak histeris, membuat Rhuto lekas menoleh. Dokter Bedah itu terlihat frustrasi saat detik-detik Pak Yeri tewas tersembelih, ia mengambil pisau di dalam tasnya mengancungkannya ke udara. Matanya yang merah lantaran murka menatap Rhuto dengan begis seolah siap menyerang Rhuto dan membalas atas kematian Pak Yeri. Namun, saat detik-detik pisau itu mulai mengudara, Satpam Muagis tiba-tiba menendang tubuhnya hingga terhuyung, Rhuto memegang kaki Juna sebagai tumpuan bertahan tapi tendangan kedua justru kembali menghantam dada Rhuto  hingga tubuhnya terpelanting dan jatuh dari atas bendungan.

  Jasad Juna ikut menggelegar disambut air, di bawah sana—beradu dengan riak serta derasnya air keruh Rhuto hanyur terbawa arus hingga tubuhnya timbul tenggelam. Tangan kanannya masih menarik pakaian Juna, berharap bahwa ia tak akan kehilangan jasad Juna meski ia tak mungkin untuk selamat dari amukan air. Mata Rhuto sulit fokus untuk melihat, ia terus berkelahi dengan alam—hingga buih menjadi warna darah yang begitu segar saat Dokter Bedah itu melempar pisau di tangannya ke arah Rhuto, sebuah pekikan teriakan yang kesakitan dilahap oleh air, Rhuto dan jasad Juna tak terlihat lagi setelah buih berdarah.

  Pak RT melepas penutup kepala Mia dan Mbok Bunar, Dokter Bedah yang frustrasi mendatangi jasad Pak Yeri, kembali memberikan pertolongan meski terdengar lebih mustahil. Wajah Pak RT yang pucat dan sengsara membuat Mia takut bukan main—dengan tangan yang terikat di belakang tubuhnya, Mia tak bisa bergerak saat niat keji Pak RT terbaca di pikirannya. Tepat di hadapan Mia, Pak RT itu melepas pakaiannya, bertelanjang bulat—senyum sinis yang keji terpampang di wajah itu, dengan begitu gesit—Pak RT menarik kain yang menutup mulut Mia.

HELLO JUNA! | HARUKYU REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang