Happy reading!
Bab ini masih banyak turunan emosi yaaa
====
Udara Jakarta yang hangat dan lembab kembali menyambut kedatangan Arzan dan Farah di bandara pada pukul setengah delapan malam. Mereka berjalan dalam jarak di sepanjang lorong bandara. Sudah tak ada lagi tubuh saling menempel atau tangan yang terjalin satu sama lain, apalagi saling melingkarkan tangan di pinggang. Mereka sudah tidak berada lagi di pulau Bali yang eksotis, melainkan kembali terlempar ke dunia nyata. Semua harus kembali tampak normal, serta profesional layaknya atasan dan bawahan. Dan, itu sungguh menyebalkan bagi Arzan.
Mereka berdiri menunggu di baggage claim area, ketika Arzan memeriksa ponselnya. Dia menemukan beberapa pesan dan puluhan panggilan tak terjawab yang dilakukan Naora sejak tadi pagi di ponselnya. Naora jarang menghubungi Arzan begitu intens, apalagi Naora tahu persis kalau Arzan tengah melakukan perjalanan bisnis seperti sekarang. Arzan yakin, Naora pasti hanya ingin menanyakan jam berapa Arzan akan tiba di rumah.
Arzan menyadari, sebenarnya kerenggangan komunikasi antara dirinya dan Naora sudah berlangsung sejak lama—walaupun Arzan tak tahu persis kapan tepatnya. Ketika Arzan berada di Bali, praktis sama sekali tak ada komunikasi yang terjadi di antara mereka berdua. Selama di Bali, waktu yang dimiliki Arzan sejak pagi hingga petang sudah tersita untuk mengikuti pertemuan dengan Beton Karya, sementara malam harinya habis untuk beraktivitas seks dengan Farah.
Arzan memasukkan kembali ponsel ke dalam tas dan mendesah kesal. Arzan berpikir, Naora tak harus merengek seperti ini padanya, toh bukan hal baru dia melakukan perjalanan bisnis bahkan hingga ke luar negeri.
"Siapa? Istrimu?" tanya Farah dari sebelah Arzan. Mereka dalam perjalanan pulang ke apartemen Farah di dalam sebuah taksi. Wanita itu bersandar di lengan Arzan dengan melingkarkan tangan kirinya di sana. Arzan mengangguk.
"Naora memintamu segera pulang?" dengus Farah bernada tak suka.
"Entahlah. Aku belum membuka pesannya." Arzan menjawab takacuh. Farah berdecak samar.
"Tinggalah sebentar bersamaku, Arzan. Aku mau kita makan malam untuk merayakan ini. Hubungan kita." Farah memperlihatkan cincin pemberian Arzan yang tersemat di jari manis tangan kirinya. "Please."
Farah meletakkan telapak tangannya di atas paha Arzan dan membelainya. Mengundang gelenyar kenikmatan menjalar pelan di sekujur tubuh Arzan, membuat pria itu mengerang samar. Arzan menangkap tangan Farah dan meremasnya.
"Tentu," jawab Arzan. Serak.
"Terima kasih." Farah tersenyum dalam kemenangan, sedikit usaha lagi dan seluruh mimpinya akan segera terwujud.
~oOo~
Farah memesan makan malam beef tenderloin dengan salad yang sangat lezat dari restoran yang ada di seputaran apartemennya. Tak mau kalah dengan restoran, Farah menyalakan dua buah lilin di atas meja selama mereka makan. Wanita itu ingin menciptakan nuansa romantis bisa mengalir di tengah mereka.
Farah mengenakan baju terusan seperti kemeja putih dengan garis-garis horisontal biru hingga di atas lutut. Arzan tak tahu pakaian apa yang Farah kenakan, tapi membuat wanita itu terlihat sangat menggiurkan. Keindahan lekukan tubuh Farah membayang samar dari balik bahan halus, membuat Arzan gatal untuk menyelipkan tangan dan merasakan kelembutan kulit Farah di mana-mana.
Selesai makan, mereka duduk di atas sofa sembari menikmati kelamnya langit malam Jakarta yang mengintip dari balik jendela apartemen. Lengan kanan Arzan mengelilingi bahu Farah, sementara kepala wanita itu bersandar di dada Arzan. Sesekali Farah memandang cincin di tangannya dan tersenyum sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Dangerous Affair
Ficción GeneralWarning : 21+ Kesuksesan Naora Delmar sebagai seorang pengusaha wanita, ternyata tidak dibarengi dengan kesuksesannya dalam berumah tangga. Ia harus menerima kenyataan bahwa suaminya, Arzan Zahair, sudah berselingkuh dengan asisten pribadi Arzan yan...