Chapter 06

544 68 1
                                    

Jeno membungkuk hormat kepada dokter shift malam. Setelah seharian bekerja akhirnya Jeno bisa pulang. Jeno berjalan sendirian melewati setiap rumah penduduk desa. Jam menunjukkan pukul tujuh malam, beruntung masih cukup ramai jalanan setempat. Jeno berhenti guna membeli Bulgogi yang lumayan ramai para pembelinya.

"Dua Bulgogi," pinta Jeno kepada penjual tersebut. Sosok wanita tua itu mengangguk ramah kemudian membuatkan pesanan Jeno.

Selagi menunggu Jeno duduk memandang arah jalanan, seseorang menepuk bahunya lembut dan ternyata penjual itu sudah selesai menyiapkan pesanannya.

"Cepat sekali."

Jeno bersenandung kecil di perjalanan pulang. Ia menghentikan langkahnya saat merasa ada seseorang mengikutinya dari belakang. Jeno menoleh ke belakang, tapi tak menemukan seorang pun.

"Hanya perasaanku saja mungkin."

Jeno melanjutkan jalannya. Ia mencoba berpikir positif tentang apa yang Ia rasakan saat ini. Tiba-tiba angin berembus kencang membuat bulu kuduk Jeno seketika berdiri. Dirasa semakin mencekam Jeno mempercepat langkahnya.

Ia menyempatkan menoleh ke belakang untuk memastikan jika dugaannya salah.

Jeno menabrak seseorang di depannya sehingga Ia hampir terjungkal ke belakang. Beruntung Jeno bisa menyeimbangkan tubuhnya jika tidak pasti Ia sudah terjatuh. Jeno mendongak menatap sesosok lelaki tak asing memandangnya tenang. Tangan lelaki itu terulur. Jeno agak ragu, tetapi detik berikutnya Ia menerima uluran tangan lelaki itu.

Tangannya begitu dingin.

"Terima kasih, Jaemin," ucap Jeno, lelaki bernama Jaemin itu tak menjawab.

"Em ... kalau begitu aku pamit, ya." Jeno berjalan meninggalkan Jaemin. Sebelum melangkah pergi, telapak tangan Jaemin yang dingin itu mencengkal pergelangan tangan Jeno dengan sigap. Jeno menyampingkan posisi guna menatap Jaemin.

"Ada apa?" tanya Jeno.

Jaemin menoleh. "Tolong bantu aku," kata Jaemin dengan suara beratnya. Jeno mengerutkan dahi.

"Katakan, mungkin aku bisa membantumu."

Sudut bibir Jaemin pun tertarik membentuk seringaian. "Beri aku setetes darahmu."

"Apa?!"

"Kenapa? Apa kau tidak mau membantuku? Aku sudah menolongmu menggantikan ban mobil yang bocor," ujar Jaemin mengungkit kejadian beberapa hari lalu. Jeno tersenyum masam. Ayolah Jeno tahu itu, tapi mengapa Jaemin memintanya memberikan setetes darah untuknya?

"Baiklah, tapi aku tidak punya benda tajam, bagaimana aku bisa memberikan setetes darah untukmu?"

Jaemin memeluk Jeno. Lelaki itu sempat terkejut, tapi Jaemin langsung berkata, "Apapun yang kau rasakan ini semua tidak akan berlangsung lama." Dan Jeno mempercayai ucapan Jaemin.

Tanpa Jeno ketahui Jaemin mengeluarkan gigi taringnya. Manik gelap Jaemin berubah semerah darah. Jeno menjerit tertahan merasakan gelanyer nyeri saat Jaemin menancapkan gigi taringnya agar darah keluar dari leher Jeno. Jaemin tidak menghisap darah itu melainkan mengusapnya dengan tisu. Jaemin sempat tergoda ingin mencicipi darah Jeno, tetapi Ia segera menahannya.

"Terima kasih. Ayo kuantar sampai rumahmu."

Jaemin berjalan mendahului, sementara Jeno kebingungan di tempatnya.  Apa dia tidak jadi mengambil setetes darahku? Batin Jeno penasaran. Ia menyentuh lehernya yang sempat nyeri, tapi tak ada yang aneh. Lehernya baik-baik saja.

•••

"Kau mau mampir?" tawar Jeno begitu sampai di pelataran rumah neneknya.

"Tidak. Masuklah terlebih dahulu. Jangan lupa sebelum tidur cuci tangan dan kakimu. Jangan begadang hanya untuk membaca buku. Mimpi indah, Lee Jeno."

Jeno tercengang. Bagaimana Jaemin bisa tahu jika Ia sering begadang untuk membaca novel fiksi fantasi kesukaannya? Jeno pun mengangguk pelan. "Kau juga. Aku masuk ya, sampai jumpa." Jeno membuka pagar rumah neneknya. Ia tersenyum kepada Jaemin, hanya saja lelaki itu hanya diam menatapnya.

Saat Jeno hendak membalikkan badan, tiba-tiba Jaemin sudah menghilang dari pandangan. Jeno melongok, mencari keberadaan Jaemin. Namun, bukannya ketemu justru yang Ia rasakan hanya angin bertiup seolah menyuruhnya segera masuk. Jeno cukup penasaran dengan Jaemin, lelaki itu sangat misterius.

Dan lagi, dia juga seperti seorang peramal.

"Sangat aneh," gumam Jeno yang kemudian menutup pintu rumah neneknya.

•••

Hari sudah berganti pagi lagi dan Jeno bersiap pergi ke klinik. Sebelum pergi Ia menyempatkan membuat sarapan mengingat neneknya masih marah ketika Jeno memintanya menjelaskan tentang tembok itu. Jeno sempat meminta maaf dan berjanji tidak akan membahas itu lagi, tetapi respon neneknya begitu dingin.

Neneknya pergi ke rumah sang bibi. Entah apa yang wanita tua itu lakukan, tetapi Jeno merasa bersalah telah membuat neneknya marah kepadanya. Sebagai permintaan maaf, Jeno akan membuatkan makanan kesukaan neneknya yaitu Bibimbap.

Jeno mencari buku resep masakan di kamar sang nenek. Ia mencarinya di dalam lemari pakaian karena bisa saja ada di sana. Namun, yang membuat Jeno senang adalah sebuah kunci besi tergeletak di bawah tumpukan baju neneknya. Jeno bukan bermaksud lancang menggeledah isi lemari neneknya. Jeno cuma pengen memastikan kalau kunci itu pasti kunci pintu besi yang ada di belakang rumah sang nenek.

Jeno mengambilnya, tetapi Ia teringat neneknya yang melarang keras agar dirinya tidak sembrono mendekati area itu. Jeno termenung berdebat dengan batin dan pikiran selama beberapa menit sampai akhirnya Ia memutuskan untuk meletakkan kembali kunci tersebut di tempatnya.

Ia tidak ingin membuat neneknya semakin marah kepadanya.

Buku yang Jeno cari akhirnya ketemu, di mana terselip diantara buku-buku neneknya. Jeno keluar bersiap membuatkan makanan kesukaan neneknya agar wanita tua itu mau memaafkannya.

Yuex BluesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang