BAB 110: Perjalanan Terbagi Dua

9 3 0
                                    

Muntahan monyet hijau raksasa itu perlahan mulai melayang sambil mengibaskan rambutnya yang panjang dan kusut. Dengan cepat, monyet hijau raksasa itu melayangkan tinjunya ke arah muntahannya sendiri.

Muntahan itu membentuk bola besar dengan rambut hijaunya, seakan menutupi kepalanya dari pukulan. Bentar, bentar! I-itu … i-itu Kak Kila!? Buset! Kenapa sekarang dia lumutan gitu!?

“I-itu K-Kak Kila!?”

Dea cuma menatapnya dengan mata menyipit. Kak Kila kemudian menatap kami semua ketika monyet itu menarik pukulannya sambil teriak kesakitan. Di kepalan tangan kanan monyet itu, semacam ada lumut berasap putih! Dia emang berbulu hijau, sih … tapi gue yakin itu bukan bagian dari bulu di tangannya!

Dari belakang gue, Sulay tiba-tiba berlari dan melompat tinggi dengan tangan mengepal. Dia meninju langsung hidung monyet hijau raksasa itu. Benturan gelombang kejutnya membuat Kak Kila terdorong ke depan gue.

“K-kenapa Kak K-kila bisa keluar d-dari s-sana!?”

Dia berputar dan menatap gue.

“Gak ada yang sadar, ya waktu saya ditelan?”

Oh iya kambing! Waktu itu, kan dia melesat masuk menyumpal mulut Si Monyet! Bukannya dia sengaja masuk, ya? Kak Kila lalu berputar menatap Torgol sambil tersenyum. Seperti Sulay, Torgol juga segera melesat menjadi burung kecil lalu masuk ke dalam telinga monyet hijau raksasa itu.

“Do. Kayaknya mereka punya rencana, deh,”

“Kalau gitu kita ikutin rencana mereka.”

Sulay yang baru aja mendarat, memukul genteng dengan asap hitam dari kedua tangannya. Gak ada yang terjadi selain pemandangan menyeramkan! Muncul dua tangan besar dari asap hitam yang merobek dan memisahkan tubuh Si Monyet dengan kaki Si Kuda!

Mereka terpisah beberapa meter sampai gue bisa ngelihat sesuatu yang kayak rambut mencoba saling mengikat kembali dari dalam tubuh mereka! Torgol tiba-tiba muncul dari bagian perut monyet itu dan menahannya biar gak kembali menyatu.

“Potong rambutnya, Do! Cepetan!” teriak Sulay yang masih menahan kedua tubuh itu dengan asap hitamnya.

“Mizi! Tombak!” teriak Torgol.

Para Mizi yang sebelumnya hilang entah ke mana, kembali bermunculan dan segera menyerahkan tombak Torgol. Torgol dan para Mizi berusaha memotong rambut-rambut dari perut Si Monyet!

“Ayo, Dea!

Gue dan Dea berlari menuju bagian kaki Si Kuda. Separuh tubuh bagian bawah Dea melebur jadi asap merah. Dia melesat cepat dan berputar kayak gerinda! Dengan serangan itu, dia memutus banyak banget rambut dari paha Si Kuda. Torgol dan para Mizi terpana dibuatnya.

“Itu namanya Dea! Ini namanya … Rumryaku!”

Gue melepaskan gelombang kejut berasap merah dan hijau bersamaan yang memotong habis sisa-sisa rambut itu! Si Kuda telah tumbang, saudara-saudara! Haha!

“Kamu keren banget, Dea! Apa gak pusing itu tadi?”

Dea kemudian memegangi kepalanya sambil merapikan rambut poninya.

“Enggak, kok. Tapi rambut aku gimana? Berantakan, ya?”

Gue membantu Dea merapikan rambutnya. Setelah semua ini selesai, ada yang pengin gue tanya-tanya sama dia. Terutama soal perubahan warna bola matanya yang sekarang berwarna merah.

Torgol dan para Mizi baru aja memotong rambut terakhir dari perut Si Monyet. Sulay meleburkan tangan asap hitam raksasanya ketika kedua bagian tubuh makhluk itu tergeletak tak bergerak.

Kak Kila yang masih dalam wujud kepala dan organ tubuh doang itu melayang di antara gue dan Dea. Entah apa yang terjadi, sekarang rambutnya berwarna hijau persis sehijau bulu monyet yang terkapar di sana.

Gue menggunakan sihir biru untuk bisa lebih peka terhadap keadaan di sekitar. Sulay, Torgol, dan para Mizi mempunyai detak jantung yang lebih cepat daripada Dea dan Kak Kila. Di bawah kami yang merupakan wahana rumah hantu, terasa hawa kehidupan orang banyak. Itu pasti mereka yang sebelumnya jadi hantu-hantu palsu, termasuk Yuri. Syukur, deh mereka gak apa-apa.

Suasana juga terasa hening. Di sekitar Mery berada, orang-orang mulai kembali tenang namun kayaknya mereka juga pengin cepat-cepat pergi dari tempat ini.

“Makhluk ini sudah mati,” ucap Torgol yang baru aja menusuk-nusuk badan monyet dengan tombaknya.

Untungnya perkataan pria gondrong berparuh ayam itu benar. Kedua tubuh monyet dan kuda mulai menguap menjadi asap putih. Kami menyaksikan dia melayang, tapi….

“Ada yang aneh,”

“Kenapa, Do?” tanya Dea.

“Lihat, deh. Asap putih itu kenapa gak hilang-hilang, ya?”

Kami semua memperhatikan asap putih yang melayang-layang di udara. Biasanya, dengan cepat asap putih itu akan melebur kemudian hilang tak berbekas. Tapi yang ini enggak! Dia seakan masih hidup!

Dea mengarahkan tangan kanannya ke asap putih di atas sana, lalu dengan asap merahnya, Dea menembakkan banyak duri merah ke sana. Asap putih itu bisa menghindar dan dia bergerak semakin cepat menuju langit!

“Tuh, kan! Dia aneh!” kata gue.

“Gak disangka kita ditipu oleh trik sederhana,” ucap Kak Kila.

“Asap putih itu cuma perubahan wujud. Bukan partikel roh yang menguap,” sahut Dea.

Asap putih itu terus aja melayang sampai gue teringat bahwa sejak tadi, tempat ini telah dikelilingi oleh sangkar burung dari rambut kusut! Mungkin karena terlalu fokus mau ngalahin monyet hijau raksasa berkaki kuda, kami semua lupa akan hal itu!

“Kita harus potong rambut-rambut itu, Pak!” kata gue kepada Torgol.

“Baik, Mardo.”

Gue melempar Rumryaku sekuat tenaga menuju titik paling atas dari simpul rambut-rambut itu. Lalu, entah apa yang terjadi, serangan itu malah melengkung dan menyayat bagian rambut yang lainnya. Gue menggunakan sihir merah muda buat ngelihat lebih dekat.

Ternyata, serangan gue terbawa angin! Memang benar, ini kali pertama gue melempar gelombang kejut dari jarak sejauh ini. Walaupun gue gagal mengenai titik simpulnya, serangan gue tetap berhasil menyayat rambut-rambut di samping.

Rambut-rambut itu dengan sangat cepat saling mengikat kembali walaupun sudah terpotong oleh tebasan gue. Apaan lagi ini!? Belum selesai juga!? Terus kapan gue bisa makan lagi!? Kampret!

Dea memegangi bahu kanan gue dan menyelimutinya dengan asap merah. Rasa hangat itu seakan menyembuhkan tulang gue yang sempat bergeser. Bentar! Gue jadi lupa sama tombak Torgol yang baru aja melesat!

Aneh banget! Bukannya melempar lurus, Torgol malah melempar tombaknya dengan berputar! Terus juga, tombak berputar itu dilemparkan jauh ke bawah titik target! Torgol buta arah atau gak tahu yang namanya simpul, sih!?

Dan … buset! Tombak berambut itu berputar arah dan melengkung ke atas hingga menancap keras ke titik simpul! Kok bisa!? Sialnya, asap putih itu telah sampai di sana lebih dulu. Dan dia … seakan menyerap rambut-rambut itu! Jangan-jangan dia mau bikin wujud aneh lainnya!?

“Gawat, Do! Dia mau berubah lagi!” kata Sulay.

“Potong semua rambut yang mengelilingi kita!” sahut Kak Kila.

“Runsel!”

Sulay memukuli sangkar rambut di arah timur.

“Rumryaku!”

Gue menebas jauh ke arah sebaliknya. Seperti yang tadi gue bilang, regenerasi rambut-rambut itu cepat banget! Kami dapat capeknya doang anjir! Sedangkan di atas sana, asap putih itu sekarang berubah jadi asap hitam pekat yang mulai membentuk wujud kuda raksasa lainnya! Apa gak ada hewan selain kuda!? Gue, kan takut!

“BARNAM JO!”

Ada ledakan aura intimidasi misterius dari atas langit!

Mardo & KuntilanaknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang