Rutinitas

167 10 5
                                    

Hai, apa kabar? Semoga semua baik-baik aja. Selamat idul adha bagi yang merayakan.


***

Hari-hariku bersama Mas Je sebenarnya berjalan lurus-lurus saja. Setiap harinya kita akan memulai beraktivitas di jam tujuh pagi. Biasanya kegiatanku dimulai dengan menyiapkan sarapan untuk kami berdua, kemudian membersihkan dapur setelah selesai sarapan dan dilanjut dengan membersihkan ruang santai, ruang tamu, teras, dan terakhir kamar kami. Sementara Mas Je akan menghabiskan waktunya bersama sang kekasih setelah membantu mencuci piring.

Kami akan kembali bertemu di siang hari ketika aku memanggilnya untuk makan siang. Setelah itu kami kembali berpisah, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Karena sudah suntuk membaca buku, akhir-akhir ini aku sedang senang mencoba resep baru yang aku temukan di internet. Seringnya sih membuat cemilan untuk menemani aku menonton series dan menemani Mas Je yang tidak ada bosannya bermain game.

Seperti siang menjelang sore hari ini, aku sudah selesai membuat dua piring pisang-cokelat-keju-susu untuk menjadi teman menonton sebuah series. Kali ini pilihanku jatuh pada series A Killer Paradox. Karena di sana ada Woo-shik dan Son Sukku yang tak pernah terpikirkan olehku jika mereka akan berada dalam satu proyek. Aku sangat semangat untuk menontonnya.

Namun sebelum itu, aku perlu mengantarkan sepiring pisang-cokelat-susu ke ruangan Mas Je, punyanya memang sengaja tidak pakai keju karena katanya dia tidak terlalu suka. Meskipun sudah menjadi istrinya, kadang aku masih ragu untuk masuk ke dalam ruang pribadi Mas Je. Maka biasanya setelah mengetuk pintu, Mas Je akan membukakannya dan menerima makanan ataupun minuman yang aku bawa. Tanpa aku menginjakkan kaki di dalam sana.

Kali ini berbeda, Mas Je malah berseru menyuruhku untuk masuk ke dalam ruangannya setelah aku mengetuk pintu. Entah mengapa. Tapi aku tetap menurut. 

"Habis bikin apa, Shay?" Tanya Mas Je sebagai sambutan saat aku mulai berjalan masuk.

"Pisang yang kemarin dibeli, aku jadiin pisang cokelat, Mas."

Mas Je melirik sekilas ke arah piring yang baru saja aku simpan tak jauh dari tangan kanannya. "Ih, asik. Kayaknya enak. Makasih, ya, Shay."

"Iya, Mas. Sama-sama. Aku keluar, ya."

"Mau nonton drakor?"

"Iya."

"Oke, have fun. Nanti ceritain ke aku tentang drakornya, ya?"

"Iya, Mas."

Begitulah, jika aku sudah menonton sebuah film, series, atau drama, Mas Je selalu meminta resume-nya sebelum kami berdua terlelap di malam hari. Dia benar-benar mendengarkan semua yang aku katakan tanpa pernah memotong perkataanku. Namun di akhir selalu memberi tanggapan dan menyampaikan banyak 'seharusnya' yang Mas Je tujukan untuk semua tokoh yang ada. Setelah itu, Mas Je akan bercerita juga tentang game yang dia mainkan seharian itu sambil memeluk dan memberikan elusan pada punggungku hingga seringnya aku ketiduran sebelum Mas Je menyelesaikan ceritanya. Dan paginya aku akan meminta maaf tapi Mas Je tak pernah mempermasalahkan hal itu.

Aku tidak tahu kapan tepatnya kita memulai rutinitas ini, tapi aku ingat bagaimana pertama kali Mas Je membantu aku yang kesulitan untuk tidur ini bisa terlelap pulas dengan cepat. 

"Lagi mikirin apa, Shay?" Tanya Mas Je waktu itu yang baru masuk ke dalam kamar di jam setengah tiga dini hari.

"Gak mikirin apa-apa, Mas. Cuma pengen bengong aja." Tentu ini jawaban bohong, karena sebenarnya banyak yang aku pikirkan. Termasuk Mas Je.

"Kenapa gak tidur?"

"Belum bisa."

"Tadi sore minum kopi, kah?" Dia tahu sekali jika efek minum kopi bagi aku seperti apa.

"Iya, Mas Je kan yang bikinin."

"Oh iya, bener. Aku lupa." Setelah bergabung di bawah selimut tebal bersamaku, Mas Je berbaring menghadap kanan. Alias memosisikan tubuhnya ke arahku. "Mau denger satu kisah gak?"

"Kisah apa?"

"Ada, seru pokoknya. Tapi kalau mau dengerin harus peluk aku dulu."

Saat itu aku pikir Mas Je hanya bercanda, tahunya serius. Setelah aku mendekatkan diri padanya, Mas Je langsung membalas pelukan dan menyimpan kepalaku di lengan atas kanannya.

"Jadi, tentang kisah apa?"

"Si Kelinci Sombong dan Kura-kura."

Iya, malam menjelang subuh itu Mas Je mendongeng kisah si Kura-kura dan Kelinci sebagai pengantar tidurku. Anehnya itu ampuh. Lalu pagi harinya aku bertanya kenapa Mas Je bercerita tentang itu, katanya hanya dongeng tersebut yang dia hapal. Namun malam berikutnya Mas Je mulai menyuruhku untuk bercerita tentang kegiatan yang aku lakukan seharian itu, yang padahal aku habiskan juga bersamanya di dalam rumah ini, lalu dia juga ikut bercerita tentang kegiatannya. Entah mengapa itu menjadi kebiasaan kita berdua hingga sekarang.

***

Sore hari ini aku melihat sesuatu yang berbeda dari hari biasanya, yaitu Mas Je mencuci motornya sendiri. Padahal sebelumnya selalu dia bawa ke tempat cuci motor. Namun setelah tadi menerima sebuah paket yang ternyata sabun cuci motor, Mas Je dengan semangat membawa ember dan gayung yang ia dapatkan dari kamar mandi. 

"Mau nyuci motor di mana, Mas?"

"Depan, dong."

Karena penasaran, aku berjalan di belakangnya yang akan menuju depan rumah. "Kok gak dibawa ke tukang cuci motor, Mas? Kan biasanya suka sambil jajan."

"Kita harus hemat uang, Shay."

"Mas Je udah gak punya uang? Di aku masih ada kok, Mas."

Mas Je membalikkan tubuhnya, kemudian mencubit kedua pipiku hanya dengan satu tangannya saja, empat jari di pipi kiri dan jempolnya berada di pipi kanan. "Masih punya dong. Banyak. Tapi aku pengen aja cuci motor sendiri biar hemat."

"Mas Je emang bisa?" Bukan apa-apa, dia ini tak pernah sekalipun terlihat olehku mencuci mobilnya sendiri selama aku hidup bersamanya. Apalagi ini, sebuah motor yang baru dibelinya.

"Eh, jangan meragukan gitu dong, Shay. Biarpun kurus gini, aku serba bisa ngerjain apapun," jawabnya sembari melanjutkan pergi ke depan rumah.

"Bukan ragu, Mas. Aku cuma nanya."

"Nanti pertanyaan kamu terjawab waktu si Ganteng beres mandi."

"Jadi motornya udah punya nama?" Dua hari lalu dia masih bingung ingin memberi nama motornya apa.

"Udah. Kenalin, Shay, dia Ganteng karena kegantengannya nurun dari yang punya." Mas Je berkata sambil memegang jok motornya kemudian di akhir kalimat, dia menaikturunkan kedua alisnya.

"Mas tau dari mana dia cowok? Bisa aja cewek."

"Kemarin dia ngomong sendiri sama aku di mimpi kalau dia cowok dan mau dikasih nama Ganteng."

"Oke." Kalau dilanjutkan nanti semakin ngawur saja. Aku memilih berbalik untuk meninggalkan Mas Je di luar yang sudah siap tempur melawan noda-noda di seluruh badan si Gantengnya. 

Nanti, deh, setelah aku menyelesaikan episode 3 dari series yang sedang kutonton, aku akan kembali ke sana.

***















Hehe gak tau ini apa soalnya udah lama gak nulis jadi harus pemanasan dulu. Semoga abis ini update-nya gak sebulan sekali ya:((

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 6 minutes ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Here With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang