Ch. 5: Defense mechanism

655 117 21
                                    

Mau cek kehadiran dulu sebelum kalian baca. Masih pada nungguin, kannnn?

*


Alih-alih pulang ke rumah seperti apa yang dia katakan pada Dahayu, Joshua justru berlabuh ke jazz bar yang ada di daerah Senayan. Sejak lima belas menit terakhir, dia membuang napas beberapa kali seraya mengaduk mocktail-nya dengan tidak berselera. Alunan musik jazz yang lembut tidak dapat menenangkan pikirannya.

"Okay, talk!" Ajeng—yang duduk di sebelahnya—dan Joshua tarik dengan sedikit paksaan ke tempat ini mulai terlihat jengkel. Pasalnya, perempuan itu sudah siap untuk tidur sebelum Joshua meneleponnya dan mengatakan sudah menunggunya di lobi. "Aku nggak mood ngapa-ngapain selain tidur setelah seharian ini kerjaanku berantakan dan aku bela-belain buat keluar demi kamu. Aku tahu pasti kamu lagi ada masalah. Now, talk!"

Itu benar. Joshua tidak akan menghubungi Ajeng lebih dulu—terlebih tiba-tiba menghampiri apartemen perempuan itu seandainya tidak ada sesuatu yang dia butuhkan.

Joshua mendesah pelan kemudian membuka mulut, bercerita tentang Dahayu serta apa yang mereka bicarakan satu jam yang lalu di taman hotel. Sejak pembicaraannya di hotel itu, pikiran Joshua dipenuhi hanya oleh satu nama. Dahayu. Dayu-nya.

Dia tidak menyangka Dahayu akan mengonfirmasi dugaan liarnya dengan cara bicaranya yang... entahlah... menurut Joshua, seharusnya Dahayu tidak terlihat sesantai itu ketika mendeklarasikan bahwa pernikahannya telah berakhir.

Ketika dugaannya terkonfirmasi, lidah Joshua kelu. Terutama ketika dia tahu pernikahan itu menghadirkan anak perempuan bernama Aruna. Dia mengkhawatirkan Dahayu—juga anaknya yang belum pernah Joshua temui itu karena perceraian pasti bukanlah hal yang mudah untuk dilalui. Apalagi jika seorang anak terlibat di dalamnya.

Namun, dia tidak bisa serta-merta melupakan bagaimana dulu Dahayu mengingkari janji dan berhasil mematahkan hatinya. Dia tidak bisa menghadapi Dahayu yang berusaha memasuki hidupnya lagi setelah dia bersusah payah melupakan perempuan itu.

Bayangan kesedihan yang muncul di wajah Dahayu ketika dia menolak untuk mengenang masa-masa kebersamaan mereka dulu membuat Joshua diliputi rasa bersalah. Sayangnya, dia benar-benar tidak siap. Kenangan manis dan bahagia yang Dahayu ucapkan itu berakhir dengan pahit dan Joshua enggan untuk mengingatnya lagi. Dulu, beberapa tahun yang lalu, Dahayu telah membuat Joshua merasa dirinya tidak berharga dan butuh waktu tidak sebentar sampai Joshua akhirnya bisa bangkit dan menemukan dirinya kembali.

"Aku ingat kamu pernah cerita tentang teman masa kecilmu itu tapi aku nggak tahu kalau orangnya itu ternyata tetangga unitku... yeah... that's really fucked up, Jo," timpal Ajeng. Dia menatap Joshua prihatin. "Are you okay?"

Joshua mengangkat bahu. "I don't know."

"Mungkin dia merasa bersalah setelah ketemu kamu makanya dia berusaha buat ajak kamu ngobrol. Di akhir pun, dia juga minta maaf kan, karena dulu pernah pergi?"

"Aku bukan cuma butuh permintaan maaf. Aku juga butuh penjelasan, Jeng." Joshua mengusap wajahnya. "I tried. I tried to talk to her. I tried to reach her through her parents. Bahkan, aku minta bantuan Mama buat hubungi Mami karena nomor Dahayu nggak aktif setelah dia pindah ke Singapura. Facebook-nya pun deactive. Aku pernah berusaha sebesar itu supaya bisa hubungi dia lagi tapi dia nggak peduli. Dia bahkan selalu nolak waktu aku minta bantuan Mami supaya bisa ngobrol sama dia lagi."

"Jo..."

"Aku harus resign."

"Gila kamu, ya! Kamu kira cari kerjaan baru gampang?" hardik Ajeng. Dia meneguk vodka-nya, kepalanya mendadak ikut pening setelah mendengar ucapan Joshua yang semakin melantur. "Aku tahu kamu nggak pernah punya ambisi dan planning ke depannya makanya kamu nggak pernah mikir ulang setiap mengambil langkah. Kamu juga bisa sangat impulsif—aku tahu semua itu—tapi, resign cuma karena baliknya perempuan yang pernah jadi cinta pertama kamu? Sinting!"

Heart of HeartsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang