BJN 06. Mari Kita Hasut Ayah

55 10 0
                                    

BJN 06. Mari Kita Hasut Ayah

Sarang baru saja selesai sarapan dan sekarang memutuskan untuk kembali ke ruang belajarnya. Tapi ketika hendak berbelok di koridor, dia melihat Pak Tua berdiri dengan enggan di depan ruang kerja ayah. Sampai kira-kira beberapa detik berikutnya, orang tua itu menghela nafas dan memutuskan untuk mengetuk pintu.

Tumben sekali pagi-pagi begini.. Pikir Sarang. Dia memperhatikan Pak Tua membuka pintu dan masuk.

"Jika ayah memanggilnya pak Tua, aku sebagai anaknya harus memanggilnya Kakek Tua, dong?" Gumam Sarang terkekeh sendiri.

Mereka mau ngomongin apa sih pagi-pagi begini? Batin Sarang penasaran.

Sarang pun secara sengaja menguping pembicaraan mereka. Dia bersandar ke dinding sambil menyimak pembicaraan mereka yang sayup-sayup.

"Saya mengerti. Tapi pendapat saya tidak berubah, Pak Tua. Mereka belum siap."

Mereka? Sudah pasti si kembar Doo-joon dan adiknya. Pikir Sarang.

"Anda bahkan memberi pendidikan untuk anak baru itu." Ini suara Pak Tua.

"Anak baru?"

"Baekjin Na." Lanjutnya.

Hening. Sarang hanya bisa menduga-duga ekspresi ayahnya.

"Pak Tua, sebaiknya duduklah sebelum tekanan darah Anda naik lagi. Kita bicarakan sambil minum teh."

"Saya.."

Ayah sepertinya berpindah ke sofa sekarang. Sarang bersiap untuk pergi jika tiba-tiba ada gerakan mendekat ke pintu. Tapi setelah lama, hanya terdengar denting cangkir dengan tatakannya.

"Jika Anda duduk, saya akan mempertimbangkannya." Kata ayah kemudian.

Pak Tua pun menghela nafas dan sepertinya mulai bergerak untuk duduk.

"Pak Presdir. Jika memang tidak bisa di ECO grup, di perusahaan kami pun tidak apa-apa."

"Direktur Han!" Ucap ayah dengan formal dan penuh tekanan. Sepertinya dia sudah cukup bertoleransi dan Pak Tua seharusnya bisa menyadari itu. "Katakan dengan jujur, apa Anda sendiri berfikir kalau Doo-joon atau adiknya mampu memimpin sebuah perusahaan? Untuk perusahaan sekelas Pak Tua Food? Atau sekedar restoran kecil pinggir jalan?"

Hening. Sepertinya Pak Tua ragu, cenderung setuju dengan ucapan ayah.

"Melihat apa yang mereka kerjakan selama ini, saya tidak melihat adanya peluang." Lanjut ayah.

"Presdir.. saya tahu ini bukan hal yang mudah. Mereka hanya perlu diberi kesempatan."

Lama sekali hening.

Lalu terdengar denting cangkir lagi, diikuti suara ayah yang terdengar pasrah.

"Baiklah.. soal kelas penerus akan saya pikirkan kembali. Tapi saya tidak bisa menjanjikan kursi yang pasti." Kata ayah akhirnya.

"Benarkah? Saya sangat berterimakasih." Kata Pak Tua merasa lega.

Sepertinya Pak Tua mengatakan sesuatu lagi, tapi Sarang tidak bisa dengar karena sebuah suara mengejutkannya.

"Apa yang Anda lakukan disini?" Suara itu berbisik tepat di telinganya. Sarang terlonjak dan melihat nenek memandangnya dengan galak.

"Menguping." Jawab Sarang nyengir jujur.

"Kelas sudah akan dimulai." Lanjut nenek.

"Tapi aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan.."

"Menguping pembicaraan orang tua itu tidak baik, Nona." Kata nenek lagi. Sekarang dia bergerak ke tepi, memberi Sarang akses untuk berjalan sekaligus isyarat agar dia segera meninggalkan tempat itu. "Silakan."

Happy Ending Buat Bias KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang