27. Kehilangan yang Disalahkan

3K 209 7
                                    

Bagaimana orang bisa membenci suatu hal yang tak sama sekali mendasar? Bagaimana orang begitu mudah menghakimi seseorang hanya satu kejadian yang mereka sendiri tak tahu apa yang sebenarnya terjadi? Lantas, gadis itu harus bagaimana?

Lirikan tajam tak suka, bisikan kecil yang sangat jelas mendiskriminasi dirinya, dan tengokan penasaran yang Lara dapat setelah peristiwa tadi.

"Dia yang tadi ngamuk di kantin?"

"Pede banget masih nampakin muka, dah bikin orang hampir mati."

Mati? Apa dia juga terlihat seperti pembunuh sekarang?

Lara menenggelamkan wajahnya dibalik hoodie kuning yang tadi pagi ia sembunyikan. Persetanan dengan rumor dirinya dengan Karang. Bahkan omongan itu sudah tertimbun karena kejadian panas kantin tadi. Gadis itu memilin ujung seragamnya, gugup dan tak nyaman saat beberapa orang dengan terang menyinggung dirinya. Kakinya terus bergetar tak terkendali.

Tangisannya sudah mereda, ia harap segera pulang sekarang. Tapi dirinya harus menunggu Karang mengambil tas dan kunci mobilnya di dalam kelasnya.

"Lara kamu ngga papa?"

"Katanya kamu luka mukanya? Mana? Sakit ngga?"

"HUHUHUHUUU PELANGGAN SETIA RISOL GUEE!"

Aryan, Alvin, dan Abim berlari kearah Lara dengan panik. Aryan sudah lebih dulu berjongkok depan gadis itu, tangannya bergerak memeriksa luka di wajah gadis itu. Alvin juga duduk disebelah Lara sementara Abim heboh sendiri berdiri di dekatnya.

"Maaf, tadi kak Ian masih kelas, ngga tau. Lara mana yang sakit?" kata Aryan dengan wajah cemas.

Lara hanya membalas tatapan itu kosong. "Avi mana?" tanya Lara lirih.

Ketiganya seketika terdiam, merapatkan bibir. Detik selanjutnya Alvin yang berani membuka suara. "Avi di rumah sakit, Leni emang deket kok sama Avi. Mungkin makannya itu Avi khawatir sama dia," ucap Alvin berusaha menenangkan.

"Trus? Aku engga?" tanyaLara cepat. Nadanya kembali bergetar, hendak menangis lagi. Setiap mengingat itu dadanya terasa sesak. 

Abim seketika itu langsung menonyor kepala Alvin yang berada di dekatnya, mengumpat samar meruntuki kegoblokan sahabatnya.

"B-bukan--"

Gadis itu mengalihkan wajah, mencegah dirinya agar tak menangis lagi. Ia lelah menangis. Tapi saat itu matanya malah mendapatkan tatapan dari orang disana dengan pandangan tak suka. Ah, bahkan ia lupa kalau ketiga orang ini adalah termasuk orang hits yang biasa menjadi perbincangan murid banyak. Bagaimana semua ini bisa terjadi secara bersamaan?

Tak selang beberapa lama, Karang keluar dari kelas menenteng tas punggungnya. "Ayo pulang," ajak Karang siap meraih lengan Lara untuk berdiri. Tapi sebelum itu Aryan segera menepisnya. 

Menarik tubuh Lara untuk berdiri di sampingnya. "Ngga usah biar gua aja," kata Aryan tanpa menatap sang empu.

Karang seketika menyatukan alisnya, darahnya meninggi. "Lara mau pulang bareng gua," kata Karang hendak meraih tangan Lara kembali tapi lagi-lagi disergah oleh Aryan yang menatap baik tajam. "Lo ngga denger? Jangan sok bisa jagain dia, elo bukan siapa-siapa," ucap Aryan menekan katanya.

Karang menggertakkan giginya, tangannya mengepal kuat. Berusaha menahan untuk tak menonjok pemuda di depannya. Sementara Lara, dia semakin merunduk dalam. Tak kuasa mendengarkan ocehan heboh yang ada disekitar sana. Ayolah, ini koridor. Bagaimana mereka bisa debat di tempat seramai ini.

"Trus elo? Lo ngerasa deket sama dia karna kenal dari kecil? Kakaknya yang brengsek itu aja bisa nyakitin dia, ngga kemungkinan lo juga."

"JAGA OMONGAN LO BANGSAT!!" Aryan dengan cepat melayangkan tonjokan pada pipi lelaki itu, yang seketika membuat Karang terpancing untung membalasnya kembali.

Sea For Blue WhalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang