Garis Takdir 5

21 3 0
                                    

Flashback on

“Alba?”. Cicit orang itu yang baru saja keluar dari kampusnya melihat perempuan yang sedang memberikan makan pada seekor kucing jalanan. Sang empu mengembangkan senyum kemudian berjalan mendekat kearah perempuan tersebut.

Ia hampir sampai, namun perempuan tersebut lebih dulu berdiri dan beranjak dari sana meninggalkan kucing tersebut yang asik makan makanannya.

Namun tidak urung membuat orang itu menghentikan langkahnya. Dia kemudian berjongkok dan mengelus bulu kucing itu.

“Enak ya? Pelan-pelan aja makannya”. Tuturnya sambil melihat kucing itu. Tingkah lakumu membuatku lagi-lagi jatuh, Alba. Izinkan aku mencintaimu didalam sini.

Ketika sedang larut memandangi kucing itu, tiba-tiba...

“Bintang?”. Panggil orang itu sembari memegang bahunya membuat dirinya terjengit kaget.

“Astaghfirullah”. Latahnya. Sang empu pun menoleh, melihat siapa yang telah mengagetkannya. Dia Bintang, Bintang Alfaroq Yazri. Mahasiswa akhir semester yang hanya menunggu waktunya berwisuda.

“Hehe, peace”. Ucap orang didepannya dengan menunjukkan jarinya yang membentuk hufut ‘v’ tanda damai.
“Ada apa Dan?”. Tanya Bintang pada orang didepannya.

“Gaada, gue lihat lo jongkok kayak nyari apaan, jadi gue samperin”. Balasnya dengan tampang cukup terbilang polos itu.

“Gue cuma lihat kucing makan”.

“Lihatin kucing atau lihatin Alba?”. Goda orang itu membuat Bintang menyangkal.

“Lihatin kucing Dan”.

“Masa? gue lihat lo dari ujung sana terus kesini cuma mau samperin dia kan?”. Ujar orang itu sembari menaik-turunkan alisnya.

“Apaan, gaada ya gue kayak gitu”. Ucap Bintang menyangkal.

“Iyain deh biar cepat. Orang lagi kasmaraan selalu benar”. Ucap orang itu.

“Gue bilang ke Alba baru tahu rasa lo”. Lanjutnya sembari pergi dari sana.

Bintang yang melihat itu, buru-buru menyamakan langkahnya dengan temannya itu.

Aldan Zimraan, teman satu-satunya yang selalu ada. Bintang telah menganggap Aldan seperti saudaranya sendiri. Baginya Aldan itu alarm pengingatnya. Ketika ia di lajur yang salah maka Aldan akan menasehatinya. Jika ia dalam masalah, maka Aldan akan memberikan solusinya. Bahkan Aldan mengetahui jika dirinya menyukai Alba tanpa ia memberitahunya.

“Tang, kalau lo punya keberanian datangin orangtuanya Tang, bukan jadi mata-mata gitu. Ali bin Abi Thalib berkata, Cinta itu tak dapat dinanti, ambil dia dengan penuh keberanian atau lepaskan dia dengan penuh keridhoan”. Ucap Aldan dengan tiba-tiba membuat ia berfikir dalam diam.

Ia juga memikirkan itu, namun dirinya tidak cukup matang untuk menikah. Ilmu agamanya tidak begitu banyak, ia masih labil untuk membangun rumah tangga, bahkan ia juga belum memiliki penghasilan. Ia menunggu waktu yang tepat untuk menyunting Alba, namun bukan sekarang.

“Gue nunggu waktu yang tepat Dan”. Ucap Bintang membuat Aldan berhenti dan menghadap kearahnya.

“Gaada waktu yang tepat buat cinta, kalau iya ambil dia. Kalau sewaktu lo sudah siap tapi dia lebih dulu pergi gimana? Lo bakal ikhlas?”. Papar Aldan yang lagi-lagi membuat ia berfikir.

“Jika itu bagian dari takdir, gue bakal menerima dengan ikhlas”. Tutur Bintang dengan mantap. Aldan yang mendengar itu menepuk-nepuk bahu Bintang pelan.

“Gue doain yang terbaik biat lo Tang”. Tuntas Aldan kemudian kembali melangkahkan kakinnya meninggalkan Bintang sendirian di lobi kampus.

...

Hingga...

Hari yang dinanti-nanti tiba. Mahasiswa semester akhir kini telah menjumpai hari dimana mereka memakai toga dikepalanya. Termasuk Bintang dan Aldan yang telah rapi dengan baju wisuda serta toga yang berada dikepala mereka.

“Baik, untuk hadirin dimohon berdiri”. Ucap moderator membuat penghuni aula berdiri ketika lagu indonesia ditampilkan.

“Hadirin dimohon duduk kembali”. Ucap moderator yang dipatuhi oleh semuanya. Acara demi acara terlewatkan hingga sesi terakhir.

Semua mahasiswa pergi ketempat oranvtua mereka duduk, Aldan dan Bintang juga melakukan hal yang sama. Mereka menjumpai orangtua mereka masing-masing.

“Selamat ya Nak, semoga ilmunya bisa bermanfaat. Dan bisa menjadi makhluk yang bertanggung-jawab”. Ucap pria paruh baya didepan Bintang, Yazeed adha wanita yang notebane Uminya.

“Aamiin aamiin”. Balas Bintang.

“Umi bangga sama kamu nak, semoga menjadi pribadi yang tidak mengecewakan”. Ucap Delina ananvita sembari memeluk putra tersebut.

Ketiganya pun keluar menuju parkiran untuk pulang, tidak lupa berpamitan juga dengan Aldan dan kedua orangtuanya.

Namun ketika hendak masuk mobil, Bintang melihat seseorang yang ia kenali. Alba?, batinnya.

“Umi, Abi, sebentar ya. Bintang mau ketemu seseorang dulu”. Pintanya yang diangguki oleh mereka.

Bintang pun menghampiri orang tersebut, namun ketika langkahnya semakin dekat, namun langkahnya terhenti.

“Rindu mas ngga?”.

“Alba rindu banget malah”.

Mas? Rindu? Apa ini?. Bintang pun membalikkan badannya tanpa ingin melihat lebih banyak lagi. Ia berjalan menuju mobilnya dan memasukinya.

Apakah dia telah kalah? Siapa laki-laki itu? Kenapa Alba memanggilnya mas? Kenapa Alba rindu kepadanya?. Segala macam pertanyaan memenuhi isi kepala Bintang sekarang.

“Tang, kalau lo punya keberanian datangin orangtuanya Tang, bukan jadi mata-mata gitu. Ali bin Abi Thalib berkata, Cinta itu tak dapat dinanti, ambil dia dengan penuh keberanian atau lepaskan dia dengan penuh keridhoan”. Ucap Aldan tempo hari yang lalu terngiang di kepalanya.

Apakah ia harus menghentikan perjuangannya? Apakah ia harus melepaskannya?.

“Gaada waktu yang tepat buat cinta, kalau iya ambil dia. Kalau sewaktu lo sudah siap tapi dia lebih dulu pergi gimana? Lo bakal ikhlas?”.

Mengikhlaskan? Apakah ia harus mengikhlaskannya?.

“Aku mencintaimu, Alba. Namun, aku lebih memilih memendamnya. Dan itu menjadi suatu penyesalan pada akhirnya”.

Flashback off
...

Flashback off

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Garis Takdir (On-going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang