Pada suatu pagi, saat operasi pencarian akan dilakukan. Terbesit di kepala Mara, sebuah gambaran pasukan berskala besar. Mara mencoba mengusir gambaran itu dan tidak menghiraukannya. Bukan hanya sekali ini Mara melihat gambaran itu. Saat Mara dan Popy hampir terkena jebakan yang dibuat seseorang dengan dua batang pohon yang melintang, dia sudah mengetahuinya dan berhasil untuk mengidentifikasi. Mara selalu mempertanyakan pada diri sendiri apa yang sebenarnya sering lewat di kepalanya.
Mara meminta Saka dan Popy untuk membatalkan perjalanan. Saka mempertanyakan dan bingung, Popy maklum karena mengetahui kelebihan Mara. Saka dan Popy memutuskan untuk membatalkan operasi pencarian. Popy mengajak Mara pergi ke aula camp untuk membicarakan hal ini, mengajak Saka yang penasaran.
"Jadi kamu lihat apa?" tanya Popy.
"Kamu kenapa, Nak?" Saka memegang pundak Mara.
"Mara punya kelebihan," ucap Popy, Saka penasaran.
"Ada pasukan berskala besar... Mereka berpatroli."
"Pasukan?" Saka menggaruk Dagu.
"Ciri-cirinya?" tanya Popy. Mara mengangkat kepalanya, memejamkan mata menghadap langit-langit atap.
"Mereka bukan di daratan."
"Maksudnya?" tanya Saka.
"Mereka ada di atas Kapal... Tapi bukan di laut."
"Ha?" tanya Popy kaget. Membuat Saka mendekati Mara dan duduk di depannya.
"Mereka terbang, mirip pesawat."
Popy dan Saka menghela napas, mendengar ucapan Mara. Saka mondar-mandir dengan jari-jari yang mengelus lembut dagu. Popy masih duduk di samping Mara sembari melipat tangannya di dada.
"Jadi... Pesawat tapi bentuknya kapal. Gitu?" Popy melihat Saka yang masih mondar-mandir. Saka mendatangi Mara, duduk bersebelahan, merangkulnya—seorang ayah yang menguatkan anaknya.
Sepanjang hari Mara terus memikirkan gambaran dalam kepalanya. Membuatnya tidak fokus dalam pelatihan memanah. Para prajurit saling bertanya, apa yang sedang menimpa Mara. Popy yang duduk dan melihat Mara tampak kebingungan hanya tersenyum dengan kaki yang melintang dan menindih lutut sebelah kiri. Persis cara perempuan duduk ketika menunggu sesuatu. Mara melipat tangannya di dada, terus menatap tanah, berjalan pelan—sedikit mondar-mandir.
Hari itu cuaca mendung, dinginnya menusuk hingga ke tulang—membuatnya terasa nyeri. Popy duduk di pinggir, melihat Mara yang sedang melatih para prajurit. Beberapa penduduk menggunakan mantel juga selimut, ada yang terus mendekam di dalam rumah. Angin semilir itu membuat Popy terus menggosok kedua lengannya, menghangatkan tubuh yang mulai kedinginan. Bulu kuduk Popy mulai berdiri, dia merasakan keanehan yang belum pernah ditemui dalam hidupnya. Popy melihat sosoknya yang lain berdiri tepat di samping Mara, sosok itu terlihat jelas, menggunakan pakaian yang sama, muka dan rambut yang sama. Popy melihat dirinya yang lain.
Kebingungan itu terus merajai pikiran Popy, dia bertanya dalam hati, sosok itu sesekali menatapnya. Mara melihat Popy yang tampak kebingungan lalu mendatanginya.
"Kenapa Pop?"
Popy tersentak, lepas dari lamunan.
"Kenapa?" tanya Mara.
"Oh enggak, ini... Dingin yaa," Popy menggosok kedua telapak tangannya.
"Kedinginan?" Mara melepas mantelnya, memakaikannya pada Popy.
"Thankyou," senyum Popy membenarkan letak mantel.
Mara duduk di samping Popy. Keduanya menatap para prajurit yang masih berlatih memanah. Popy masih melihat sosoknya berada diantara para prajurit. Popy mencoba menghiraukannya, mencoba memfokuskan diri pada Mara. Popy sesekali melirik Mara yang sedang bersantai dan mengatur napas—menarik dan membuangnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dhanurveda
FantasyPasca perang dunia ketiga, bumi mengalami kerusakan hebat. Serangan nuklir dari lima negara membabi buta seluruh penjuru bumi, benua dan pulau-pulau terpisah tak berbentuk. Lautan naik drastis. Membelotnya beberapa negara untuk tidak menandatangani...