Bab 32

8 0 0
                                    

Satu minggu kemudian, Aerol sudah menjadi bagian dari kehidupanku sehari-hari. Mark yang semakin dongkol akhirnya memilih untuk berpindah tempat dan bertukar dengan salah satu murid yang duduk di seberangku. Aku bisa melihat ketidaksenangan Mark setiap kali Aerol berusaha keras mengajakku berbicara, meski sekarang ia duduk berseberangan dari kami.

Suasana kelas saat itu sangat ramai. Sekolah tengah mempersiapkan acara pentas seni tahunan, lengkap dengan persiapan untuk prom sekolah yang melibatkan semua murid. Hiruk-pikuk dan kegembiraan tampak di mana-mana, menambah semarak suasana sekolah.

Aku duduk di pinggiran lapangan olahraga, menikmati roti lapis yang ayah siapkan untukku. Cuaca siang itu tak terlalu terik, namun juga tak berawan—sebuah keseimbangan yang sempurna. Aku mengunyah dengan santai sambil menikmati permainan murid-murid yang asyik bertanding satu sama lain di lapangan. Namun, ketenanganku tiba-tiba terganggu oleh sebuah suara yang mengejutkanku.

"Kau tahu waktumu hanya tinggal satu bulan lagi, kan?" Suara itu berasal dari Aerol, yang tiba-tiba duduk di sampingku dengan senyum liciknya.

"Astaga, kau membuatku terkejut!" ujarku, berusaha membersihkan tenggorokkanku dari sisa-sisa makanan yang hampir membuatku tersedak. "Kau mau apa, sih?"

"Tidak ada, aku cuma mau mengatakan itu," jawab Aerol santai, tatapannya tetap pada wajahku.

Aku memutar bola mata dengan malas dan membereskan kembali roti lapis yang belum kuhabiskan. Aku lalu berdiri, tetapi Aerol menyuruhku tetap duduk.

"Kenapa buru-buru sekali? Kau belum menghabiskan rotimu," katanya dengan nada yang hampir memerintah.

Akhirnya aku menyerah dan duduk kembali, mencoba menikmati sisa roti lapisku yang kini terasa kurang enak. "Aerol, apa aku benar-benar hanya punya waktu satu bulan?" tanyaku, berharap mendapatkan jawaban yang menenangkan.

Aerol mengangguk kecil. "Ya, sejak mengetahui Avael menyalahgunakan wewenangnya, Ayah kami memutuskan untuk menyerahkan kasusmu padaku yang memiliki wewenang resmi soal pertukaran jiwa. Dan benar, waktumu hanya satu bulan lagi dan kau akan kembali ke wujud asalmu."

"Apa tak ada cara lain untukku untuk tetap menjadi manusia? Maksudku, aku belum melakukan apapun pada para perundung itu," ujarku dengan nada putus asa.

Aerol terkekeh kecil. "Memang, kau ngapain aja selama memiliki tubuh manusia? Kurasa sudah lebih dari enam bulan lamanya, bukan?"

"Memang kau kira mudah untuk membalaskan semuanya? Itu tidak semudah yang kau dan aku pikirkan," jawabku dengan sedikit kecewa.

Aerol terdiam sejenak, tampak memikirkan sesuatu. "Aku punya seorang kenalan. Mungkin dia bisa membantu," ujarnya, meninggalkan pertanyaan besar di benakku. "Tapi akan kuberitahu nanti. Kau coba saja dulu apa yang kau bisa selama satu bulan ini."

Bayangan besar tiba-tiba menutupi kami berdua. Aku menatap ke atas dengan menyipitkan mata. "Mark?" kataku.

"Oh, bagus. Si raksasa datang, bersama para kroconya," gumam Aerol saat melihat Val dan David muncul di belakang Mark.

"Hei, Arshea! Kami menunggumu di kantin, tapi kau tak ada. Rupanya kau di sini bersama... Kai?" celetuk Val, sedikit terkejut melihat Aerol. "Kau... sedang apa sama dia?" tanyanya lagi.

"Ah, tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin makan di ruang terbuka seperti ini. Lagi pula, aku bawa bekal sendiri," tukasku.

"Oh, Mark juga tadi bawa bekal! Roti lapisnya dihias dengan gambar wajah, lucu sekali," kata Val sambil tertawa.

Wajah Mark memerah malu dan aku merasa bersalah. Masalahnya, roti itu aku yang menghiasnya. Mungkin gambarku tak begitu bagus.

Aku hanya mengelus tengkukku dan menoleh ke arah lain.

"Maafkan aku, Mark," bisikku dalam hati.

🕊🕊🕊

Akhir sabtu ini, para murid kelas akhir diwajibkan datang untuk menyelesaikan dekorasi di auditorium sekolah dikarenakan esoknya akan diadakan prom sekolah. Aku dan Mark sudah bersiap di hari sabtu ini.

Kami berjalan bersamaan, namun ada sesuatu yang aneh. Bukan hanya aku yang merasakannya, namun Mark juga.

"Tetap dibelakangku, jangan jauh-jauh," bisik Mark saat kami sampai di sebuah jalan dengan banyak gang.

Aku berjalan, sambil memegang lengan Mark yang kekar. Mataku bersiaga kesegala arah. Padahal, untuk sampai ke halte bus hanya sekitar 5 menit perjalanan lagi.

Lalu dari belakang, sebuah pisau dapur meluncur cepat ke arahku namun dengan cepat Mark menangkapnya tepat dengan ujung pisau didepan mataku.

Jantungku seketika terasa ingin lepas. Kulihat tetesan merah mengalir dari tangan Mark yang masih menggenggam pisau tersebut.

"Mark, kau berdarah!" ujarku panik. Mark seketika menjatuhkan pisau itu dan melihat telapak tangannya yang penuh sayatan dengan cairan merah yang melumurinya.

Mark terdiam sesaat memperhatikan sayatan ditelapaknya, dia kemudian berseringai. "Heh, ternyata kemampuan regenerasiku juga berkurang setengah," katanya dengan mendesah berat.

"Itu tidak penting sekarang, kau harus diobati! Sebentar, aku akan pergi ke apotek dekat sini!" ujarku kemudian saat hendak pergi.

"Jangan!" kata Mark menghentikanku. "Orang yang melempar pisau ini masih disekitar sini. Dia sepertinya mengincarmu. Berbahaya kalau kau pergi sendirian."

"Lalu tanganmu bagaimana? Luka itu belum sembuh, kau juga kehilangan  setengah kekuatanmu."

"Biarkan saja, sebentar lagi juga pulih."

Aku mendecak frustasi, makhluk yang satu ini benar-benar menjengkelkan.

Aku merogoh tas, mencari sesuatu untuk mengelap cairan merah yang membasahi tanganku. Tiba-tiba, aku melihat resleting yang belum pernah kubuka sebelumnya—sepertinya ada sesuatu di dalamnya. Rasa penasaran mendorongku untuk membukanya. Di dalamnya, kulihat sebuah perban gulung, cairan iodine, dan plester coklat yang masih terbungkus rapi.

"P3K?" gumamku heran, mencoba memahami penemuan ini.

Mark yang juga tertarik mendekat. "Apa? Ada apa?"

Aku mengeluarkan ketiga barang tersebut, dan Mark terdiam, terkejut dengan apa yang kulihat.

"Pemilik tubuhmu ini pasti sangat tertekan," gumam Mark dengan nada penuh rasa iba. Aku merasa terenyuh, membayangkan betapa banyak luka yang mungkin dialami Arshea hingga ia menyimpan perlengkapan P3K ini.

Dengan hati-hati, aku membuka perban, mencelupkan kapas ke cairan iodine, dan mulai mengobati luka Mark. Meskipun sederhana, setidaknya aku bisa melakukan sesuatu untuk merawat lukanya.

"Bagaimana? Apakah lebih baik?" tanyaku setelah selesai membalut luka.

"Ya, lebih baik. Tapi lain kali, cobalah belajar merawat luka dengan lebih baik. Balutanmu ini sangat tidak rapi," jawab Mark sambil meledek.

"Ya, mana aku tahu. Aku dulunya bukan manusia. Kalau terluka, aku hanya perlu menjilatinya. Tak perlu berurusan dengan peralatan medis ini," balasku sambil tersenyum.

Mark menunjukkan ekspresi jijik. "Ugh, menjijikkan. Sudahlah, ayo kita ke sekolah. Pasti sudah ramai sekarang."

"Kau yakin baik-baik saja?"

"Ya, mungkin lukaku akan sembuh selama kita sampai di sana," jawab Mark dengan keyakinan yang penuh.

Akhirnya, kami tiba di sekolah. Beberapa murid sudah berkumpul di auditorium. Val dan David sudah berada di sana. Mark membuka kembali balutan lukanya, tampak tidak puas dan sedikit kecewa.

"Kenapa? Belum sembuh?" tanyaku setelah Mark menutup kembali perbannya dan menggeleng.

"Sudahlah, tidak perlu merasa kecewa. Luka ini akan sembuh dengan sendirinya," kataku mencoba menghibur.

Mark hanya menghela napas panjang, dan bersama-sama kami berbaur dengan kerumunan, mempersiapkan diri untuk acara yang telah lama dinanti.

.
.
.
.
bersambung...

Suddenly I've Become My MasterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang