Tiga : Asrama dan Perasaan

61 9 2
                                    

Musim Dingin, Yamanashi.
22 Januari 1980.

Lima jam perjalanan yang membosankan itu telah telah berhasil ditempuh oleh Blaze, dan juga Taufan. tiga puluh menit sebelumnya, Beliung juga sudah turun ditempat yang ia tuju. Tak ada pembahasan menarik yang mereka ceritakan. Hanya saja, Beliung yang selalu berkali-kali mengingatkan agar mereka berdua tidak berkeliaran di lorong perpustakaan malam-malam, dan juga berlalu lalang di tangga pojok bangunan utara.

Dan entah apa motivasinya, tetapi yang jelas disepanjang perjalanan yang membosankan itu pria dengan netra biru muda ini menjelaskan bahwa di asrama itu selalu bergentayangan arwah dari Kuchisake-Onna, dan Hanako-san. Dan satu yang menarik, yaitu yokai penunggu bangunan utara, Akateko. Mungkin disetiap sekolah legenda urban akan berbeda, tetapi yang ini sepertinya sudah umum.

“Musim dingin tahun ini jauh lebih dingin dari pada sebelumnya. Padahal, sebentar lagi musim semi," ujar Blaze tiba-tiba membuka percakapan diantara mereka. Netra biru sapphire milik Taufan langsung melirik ke arah asal sumber suara tersebut.

“Tau apa dirimu soal musim dingin?" tanya Taufan kembali, “Omong-omong sebentar lagi kita akan sampai. Jika sudah sampai di hutan Aokigahara, kabarnya kita harus melewati medan yang cukup terjal untuk sampai kesana."

Blaze yang mendengar perkataan Taufan hanya menghela nafas. “Kau tak menaruh curiga pada asrama tersebut, Taufan? Maksudku, jika ini merupakan sekolah terbaik, setidaknya pindahkan bangunan itu ke pusat kota!"

“Kau terlalu banyak mengeluh. Tak bisakah kau diam?" ucap Taufan dengan nada yang sarkastik, “Aku tahu kalau kau juga takut dengan hantu. Tapi tidak usah mengada-ngada. Dana bantuan dari mana? Kebijakan dari pihak kekaisaran sedang hancur begini?"

Blaze hanya tersenyum hambar. Namun kemudian, senyumnya perlahan menjadi sirna selepas anak itu menyadari kalau bus yang mereka tumpangi ternyata telah berhenti. “Ah, baik. Sekarang kita harus berjalan kaki sejauh enam kilo meter. Dan aku berani taruhan, kalau kita akan bertemu yurei atau makhluk astral sejenisnya."

“Terserah padamu, Blaze. Asal kau tidak iseng memanggil mereka dengan suaramu yang terdengar seperti kokok ayam jago itu." jelas Taufan sambil berjalan ke arah pintu bus tersebut diiringi dengan langkah kaki Blaze.

“Kau kira, aku ini apa?"

***

“Kau yakin kita harus lewat sini?"

“Yakin, karena memang tidak ada jalan lain!"

“Aku lebih takut jika didatangi oleh yurei, dan dia menghisap nyawa kita hidup-hidup!"

“Solar, mulutmu bisa dijaga?"

“Aku hanya mengatakan salah satu kemungkinan!"

“Kemungkinan apa? Kemungkinan kita akan dihabisi makhluk bergaun putih itu?"

Dari arah timur kota Yamanashi, terlihat jelas tiga orang pemuda sedang berjalan menyusuri pinggiran hutan. Tiga koper berukuran besar itu mereka geret dengan susah payah lantaran jalan pinggiran hutan yang sangat terjal.

Netra coklat itu terus memandang ke arah samping kanan dan kiri, dilihatnya jelas kalau kedua temannya sudah mulai kelelahan. Pemilik netra coklat itu adalah Gempa, Gempa Yukimura. Anak dari dewan pimpinan Kota pada jaman itu. Orangnya sangat berwibawa. Lihat saja pakaiannya. Setelan jas hitam yang rapi, berpadu dengan potongan rambut yang sedang nge-trend pada era 1980-an.

Suwaritai desu ka?" [Apakah kalian ingin duduk?] tanyanya.

Ii ne, tsukareta na," [Iya, capek!] jawab kedua temannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kuchisake-Onna: 口裂け女 [ Boboiboy ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang