2.Perahu

16 3 1
                                    

Mereka terus seperti itu, sampai mereka berdua lelah dan memutuskan untuk duduk berdua di atas rerumputan.

“Bulan nya cantik!” ujar Isam sambil menunjuk ke arah bulan.

“Seperti siapa?” tanya Asha, walaupun dia sudah bisa menebak jawaban sahabatnya itu.

“Ya ... seperti bulan.”

Asha pun mengerutkan dahinya karena heran dengan jawaban Isam yang tidak sesuai tebakannya,
“Kok?” ucap Asha spontan.

Isam pun tersenyum kecil sambil melirik ke arah Asha, karena dia tahu bahwa jawabannya tak sesuai tebakkan Asha.

“Kamu pasti mau jawabanku itu, ‘seperti kamu,’ ya?” tanya Isam dengan sedikit menahan tawa.

“Iya.” Asha menundukkan kepalanya sambil duduk bertopang dagu dan memiringkan bibirnya seperti bulan sabit.

“Kamu indahnya lebih dari bulan. Aku ga enak kalo ngomong gitu dekat bulan, takut dia cemburu,” jelas Isam yang berhasil membuahi senyuman di bibir Asha.

Setelah itu, Isam langsung merogoh kantung
bajunya. Di dapatkan sepucuk kertas yang di lipat rapih. Dia pun langsung memberikan itu kepada Asha, tanpa berkata sedikit pun.

“Apa ini?” tanya Asha sambil menatap penuh penasaran ke arah kertas itu.

“Surat untukmu.”

“Aku baca sekarang?” Asha bertanya kembali sambil memegang surat itu.
                                                        
“Nanti saja, bacanya pas kamu lagi sedih,” jawab Isam tanpa memalingkan wajahnya dari bulan.

“Oh, Iya. Nanti kubaca pas aku sedih.”

“Tapi bacanya sambil pakai mukena, ya!” tegas Isam kembali menatap wajah Asha.

“Kenapa harus gitu?” Asha lagi dan lagi, di buat heran oleh perkataan sahabatnya itu.

“Nanti kamu juga tahu."


----


S

etelah percakapan yang menyenangkan dan cukup panjang, mereka berdua segera berjalan menuju rumah mereka masing-masing. Seperti biasa, Isam mengantar Asha ke rumahnya terlebih dahulu, agar tidak kesasar.

“Langsung tidur, ya,” ucap Isam sambil berhenti melangkahkan kakinya, karena sudah sampai di depan rumah Asha.

“Iya, tapi kamu bukan pacarku! Apalagi orang tuaku, jadi jangan ngatur-ngatur aku.” Asha tersenyum jahil sambil membalikkan badannya.

“Tapi aku ini perahu buat kamu.”

“Kalau kamu perahu buat aku, aku juga bakal jadi penumpang setia bagi perahuku!” tegas Asha sambil menoleh ke belakang dan menatap wajah Isam.

Isam bahagia mendengarnya dan mereka pun akhirnya berpisah, karena waktu sudah semakin larut. Isam berjalan kaki lagi, sendiri tanpa seorang pun yang berjalan menemani. Dia sudah terbiasa, berjalan kaki di malam hari sendirian. Di saat ada masalah yang melanda hidupnya, maka obat terbaik bagi dirinya yaitu, berjalan kaki sendiri di malam hari. Tanpa tujuan dan hanya menuruti kaki yang berjalan.
Di tengah perjalanannya, ia bertemu dengan temannya yang sedang lewat dengan motornya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Perahu yang TerlupakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang