YANG BACA WAJIB VOTE & COMENT❕️
.
.
.
.╔═════ஜ۩۞۩ஜ═════╗
CAREL
╚═════ஜ۩۞۩ஜ═════╝Matematika ternyata memang seburuk itu. Sengaja men silent hp pun, tetap saja semua angka-angka rumit itu tidak bisa dengan mudah dipelajari. Sia-sia saja dia bela-belain belajar—atau lebih tepatnya mengerjakan pr.
Carel membanting bukunya ke meja dengan cukup kasar. Dia mengacak-acak rambutnya dengan wajah suram. Kekuatan Matematika memang tak bisa dipandang dengan hanya sebelah mata saja.
Carel bahkan belum ada setengah jam belajar, tapi dia sudah frustasi lebih dulu. Jika seperti ini, dia tak akan bisa sukses di masa depan nanti. Padahal, Carel ini sudah siap dengan rencana-rencana matang untuknya beberapa tahun lagi.
"Persetan ama rencana masa depan. Mending scrol sosmed aja."
Carel baru saja membuka ponsel, dan sudah ada banyak notifikasi muncul di atas layar ponselnya. Dari semua pesan yang muncul, hanya satu yang mampu membuat Carel tersenyum girang.
"Akhirnya lo chat gue juga, Bar. Rasanya sepi banget gak ada lo."
Setelah membaca pesan dari Barra, Carel berdiri dan mengambil jaket abu-abunya yang tersampir di gagang lemari. Dia sudah bersiap pergi setelah membuka pintu, tapi tidak jadi karena ada seseorang, yang tiba-tiba saja memaksa masuk. Bahkan mendorong Carel untuk kembali masuk.
"Apa-apaan sih, Bang? Gue mau keluar ini!"
Sakya menutup pintu dengan senyum mengembang. Tanpa sepengetahuan Carel, dia mengunci pintu hanya dengan meraba. Sementara tubuhnya masih menghadap Carel, dengan senyum misterius di bibirnya.
"Mau ke mana?"
Carel menarik napas pelan. Ini yang tak dia sukai dari Sakya. Sikapnya ini bahkan lebih parah dari Jenan. Bisa dikatakan, Sakya sangat-sangat posesif. Carel bahkan tak diizinkan keluar dengan mudah.
"Bukan urusan lo!"
Carel melangkahkan kakinya. Ketika ada sebuah kunci terjatuh ke lantai, dia langsung berhenti. Tepat berada di hadapan Sakya, berjarak satu langkah dari cowok itu, yang kini menatapnya dengan senyum aneh.
"Kamu gak bisa keluar."
Carel terkejut saat Sakya menendang kunci itu hingga keluar lewat celah kecil di bawah pintu. Spontan, cowok itu hendak mundur dua langkah. Tapi Sakya lebih dulu mengenggam pergelangan tangannya.
"Abang tahu, kamu mau ketemu sama si berandal itu, 'kan?"
Sakya geleng-geleng. "Gue pikir, dia, udah mati!" Seringai terbit di bibir tebal cowok itu.
Sial! Carel paling tidak suka jika ada yang mengatakan hal seburuk ini pada sahabat baiknya. Rahang cowok itu sampai mengeras. Dan bahkan, dia dengan gerakan cepat melepas diri dari genggaman Sakya, kemudian menarik kerah kemeja hitam cowok itu.
"Jaga omongan lo, bangsat! Gue paling benci kalo ada orang hina sahabat gue!"
Sakya tersenyum miring. Sahabat itu omongan ter bullshit yang pernah masuk ke telinga Sakya. Hanya orang-orang bodoh dan naif saja yang percaya jika sahabat itu memang ada. Bullshit!
Sakya memegang tangan yang mencengkeram kerah kemejanya. "Gue lebih suka kalau dia mati, Rel. Gue gak suka dia sok deket sama lo."
Carel tidak akan heran dengan gaya bahasa Sakya yang sudah berubah. Ucapan cowok itu lah yang lebih mengejutkan. Sudah seperti seorang psikopat. Dan anehnya lagi, saat mengatakan itu pun, wajah Sakya terlihat santai-santai saja.
"Lo gak tahu apa-apa tentang dia, bangsat! Kalau bukan karena dia, mungkin sekarang gue gak bakal ada di sini!"
Sakya mengeraskan rahang. "Apa dia seberharga itu di mata lo, hm? Apa yang bajingan itu lakuin, sampai lo belain dia kayak gitu?"
"Sangat berharga. Dia satu-satunya orang yang mau sama gue, mau jadi temen gue. Saat gue masih kecil dulu, gak ada yang mau temenan sama gue. Karena gue gak punya keluarga! Mereka sebut-sebut gue sebagai anak haram! Tapi Barra beda."
Carel diam. Dadanya sesak entah kenapa. Bahkan, mata cowok itu sudah berkaca-kaca, hanya tinggal menunggu waktu untuk menumpahkannya. Sementara Sakya diam sambil menggigit bibir bawah.
Sakya tidak bermaksud seperti ini. Carel kesayangannya. Dia hanya tidak suka jika adiknya dekat dengan Barra.
"Maaf."
Carel menundukkan kepala. Tangannya sudah akan melepas cengeraman kerah kemeja Sakya, tapi ada tangan besar yang lebih dulu mendekap tubuhnya. Cowok itu bahkan sampai mengangkat kepala, hingga mata Sakya beradu dengan maniknya.
"Abang cuman takut. Gimana kalau kamu lupain Abang, karena dekat sama Barra? Abang takut, kalau kamu gak sayang lagi sama Abang."
Carel diam. Tidak ada pergerakan. Bahkan setelah air mata meluncur begitu saja dari manik Sakya. Kedua tangannya hanya terkepal di sisi kanan-kiri tubuh. Sementara manik cowok itu menyorot penuh kekosongan.
"Maafin Abang, Rel. Abang salah. Abang udah buat kamu nangis. Maaf."
Sakya mengurai pelukan. Tangan cowok itu dengan lembut mengusap sisa air mata di pipi Carel. Tidak peduli dengan air matanya sendiri yang masih mengucur, membasahi pipi dan lehernya.
"Kamu marah sama Abang?"
Carel menarik napas panjang. Tangannya dengan lembut mengusap air mata Sakya. Manik cowok itu masih menyorot kosong, tapi senyum tipis mulai terbit di bibir mungilnya.
"Gue paham."
Carel sungguh tidak mengerti dengan sikap Sakya. Untuk sesaat, cowok itu seperti punya kepribadian ganda. Gaya bahasanya pun lebih kasar tadi. Tapi sekarang, dia langsung berubah menjadi lembut lagi. Sangat aneh!
"Gue gak akan pergi."
Sakya menggeleng pelan. "Maafin Abang. Kamu bisa pergi sekarang. Abang gak akan ngelarang kamu lagi."
Sakya bergeser. Tapi Carel masih tetap di posisinya. Bahkan, kini cowok itu menatap Sakya dengan sorot yang begitu rumit. Membuat Sakya langsung mengangkat sebelah alis.
"Kenapa?"
Carel geleng-geleng kepala sambil berdecak. "Gue baru tahu, ternyata kunci kamar gue ada di lo. Dan sekarang, kuncinya ada di luar. Lo ada kunci cadangan?"
Sakya menggeleng, kemudian tersenyum. "Berarti, kamu emang gak ditakdirkan pergi."
Carel menatap sinis. "Bukan takdir. Tapi lo nya aja yang nyebelin."
"Ya udah. Kita tidur aja, ya?"
"Gue belum ngantuk! Mau keluar!"
"Kan gak ada kuncinya. Nunggu besok aja sampe ada yang bukain."
"Kalo gak ada?"
Sakya tersenyum lebih lebar. "Berarti kita akan terjebak di sini. Berdua."
Carel bergidik. "Ih, najis banget! Ogah gue lama-lama sama lo. Yang ada gue kena mental!"
Sakya tersenyum. Tangan cowok itu langsung mendekap tubuh mungil Carel. Mengusap punggungnya dengan lembut dan penuh kasih sayang.
"Jangan benci sama Abang ya, Rel."
Carel tidak ingin membawa perasaan. Dia di sini bukan untuk drama murahan seperti ini. Ada hal yang lebih penting lagi. Dan Carel harus memulainya lebih cepat lagi. Agar bisa cepat selesai, dan ia bisa segera pergi dari mansion dan orang-orang posesif ini.
"Gue gak bakal benci sama lo, Bang."
Tapi tidak tahu, kalau nanti Carel sudah menemukan kebenarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAREL
Novela JuvenilCarel Buana, remaja laki-laki yang hidup dalam kesendirian dari sejak kecil. Sang Ibu sudah meninggal, dan dia tak tahu tentang siapa sang Ayah. Kehidupan Carel tidak jauh-jauh dari hal 'toxic'. Tiap kali, dia harus berurusan dengan yang namanya sal...