Siang hari itu Arsena diperbolehkan pulang. Masing-masing keluarga saling berebut untuk mengantar. Terlebih tak ada dari satupun mereka yang menggunakan mobil bersama. Sementara Arsena sibuk mengomel tak mau pulang ke apartemen maupun rumah mereka.
Seluruh barang-barangnya telah dia rapikan di koper. Maka dari itu, sejak awal Arsena ingin mundur dari perusahaannya ia ingin segera pulang. Dia hanya mengakui rumahnya ya hasil yang ia beli sendiri.
"Tak ada tapi-tapian! Ke rumah kakek sekarang!" Perintah itu mutlak, hanya Rangga yang merasa beruntung. Karena Arsena terus merengek padanya.
Perjalanan selama setengah jam, hingga sampai di rumah besar milik Bernard. Dalam ingatan Arsena rumah ini masih sama, hanya berbeda bentuk pagar dan taman yang tak berisi bunga saja.
"Kenapa?" Rangga heran karena Arsena terus menelisik bahian depan rumah ini.
"Apa? Hanya ingat sejak dulu cat rumah ngga berubah. Warna coklat terang dan coklat gelap, apa Kakek itu dulu seorang polisi? Bahkan disana ada pos besar seperti pos penjagaan perumahan polisi. Atau mungkin Kakek itu dulunya calon 'Halo Dek' yang ngga lolos ya!" Ujar Arsena sbil meyakinkan kata halo dek dengan kedua tangannya.
"Hus, jangan gitu. Nanti denger kekekmu dipasung dikantor, mau?" Tak habis pikir, Arsena selalu begitu dengan pikiran liarnya. Kadang terasa dingin, kadang terasa melawak meski wajahnya datar, kadang melantur tak jelas layaknya bocah 7 tahun. Namun perlu diakui Rangga bahwa anaknya ini imut, dalam arti pemikiran yang kadang diluar nalar serta tak sejalan dengan rencananya.
"Sen duduk dulu. Yang lainnya juga." Ketika tuan rumah memberi perintah, maka rakyatnya harus patuh.
"Kesepakatan saja, Arsen mau apa?" Tak basa-basi lagi.
"Perusahaan atau hotel tetap milikmu, tak ada bantahan. Untuk tempat tinggal Kakek tak memperbolehkan tinggal disana lagi. Lebih baik dijual, cari yang disini." Ucapannya memang santai, tetapi terasa banyak penekanan. Dengan raut seperti itu, Zack maupun Harris selalu tegang. Pasalnya mereka pernah mengabaikan apa perkataan kakek dan neneknya lalu dihukum.
"Ngga lah! Itu rumahku, rumah yang dibeli dengan uangku." Arsena sangat tak terima. Dijual? Bukankah itu meremehkan apa yang telah ia usahakan sedari awal?
"Terlalu jauh Sen! Daddy juga setuju, lama-lama kamu bertanggung jawab penuh atas perusahaan yang diturunkan buat kamu. Kalau tinggal jauh bisa-bisa kamu kelelahan di jalan." Saran Rangga sambil merangkul bahu anaknya.
"Diam! Anda bukan siapa-siapa disini." Sergah Andrean tak suka kedekatan Arsena dengan orang itu.
Pertengkaran berlanjut, begitupun dengan kesepakatan. Jalan tengah berupa setengah bulan Arsena tinggal disini lalu sisanya dia tinggal di apartemennya sendiri sambil WFH. Namun tak bisa diganggu gugat bahwa mulai minggu depan ia juga bekerja di hotel.
Beberapa bulan kemudian
Arsena sudah bisa menghandle 75 persen pekerjaannya secara profesional. Tentang kemampuan, kelemahan bahkan strategi kedepannya untuk meningkatkan potensi segala lini bisnis yang diurusnya.
Jangan lupakan soal saingan. Hal seperti ini lumrah terjadi. Pun dengan saingan perusahaan yang sering mengunjunginya, bahkan terang-terangan memberikan beberapa ancaman. Namun Arsena sedikit kebal dengan hal itu.
Nyonya Sabrina Manuela, salah satu orang kejam macam Andrean. Saingan dari lini konstruksi itu gencar mendekati Arsena. Menyusupi perusahaan hingga sempat merebut tender menggunakan karyawan Arsena beberapa kali dilakukan.
"Lumayan untuk anak muda sepertimu." Selalu kalimat itu yang dia ucapkan kala Arsena menang tender.
Hingga kini, dia makin gencar mendekati perusahaan itu. Dalam sebulan, terdapat 4 hingga 5 kali wanita itu mengajak makan atau ngobrol ringan dengan dalih sesama perusahaan dengan sektor yang sama pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOLO
Short Story"Kalo masih punya otak MIKIR" bentaknya sambil menatap nyalang. "Lo masih tinggal disini cuma karena kita semua kasian, ngga usah drama!" "Pernah kepikiran hidup bebas diluar? Lakuin aja, Papa malah seneng kalau kamu inisiatif gitu. Seenggaknya Papa...