2

3 0 0
                                    

Asep dan Rizki hampir tersedak dengan minuman mereka karena terkejut mendengar pertanyaan Nara. "Papa lu bikin villa?" tanya mereka berdua secara bersamaan.

Nara menganggukkan kepalanya dengan semangat. "Mau, ya?"

Mereka tampak berpikir sejenak. Asep menutup matanya dengan kening yang mengkerut, ia simpan jari telunjuknya di dagu, seakan sedang berpikir keras. Hal sama juga dilakukan oleh Nadia dan Rizki. Nara menatap mereka satu persatu, menanti jawaban dari ajakannya.

"Ayo. Bentar lagi kita lulus, bakal susah buat kita bisa kumpul-kumpul lagi," ujar Rayyan.

Asep, Rizki, dan Nadia mengangguk-anggukkan kepala mereka. Karena ucapan Rayyan tadi, membuat mereka teringat kalau masa sekolah mereka sudah tidak lama lagi.

Asep memukul meja dengan kedua tangannya hingga menciptakan suara yang keras, membuat beberapa orang di kantin terkejut dan mengeluarkan kata-kata mutiara mereka. "Ayo, Nar." Dia menoleh pada Nara dan mengangguk yakin.

"Gak usah ngegebrak meja begitu, dong! Bikin kaget aja, nanti mejanya rusak!" teriak salah satu penjual yang ada di kantin.

Asep terkekeh dan meminta maaf sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

...

Kelas yang tadinya bising oleh suara para siswa, kini mulai mereda karena sebagian dari mereka sudah pulang. Matahari terlihat mulai tenggelam di balik senja. Langit kini tampak sangat indah dengan dihiasi warna oranye. Di kelas saat ini hanya tersisa dua orang, Nadia dan Asep.

"Lu gak pulang?" tanya Nadia.

Asep mendorong tiga meja hingga menjadi sejajar. "Enggak. Gua mau tidur di sekolah," jawab Asep.

Nadia mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia meraih tasnya dan berjalan keluar kelas, diikuti Asep yang hendak ke kamar mandi. Asep berjalan di belakang tubuh Nadia, mereka berjalan bersama menuruni tangga. Dia memasukan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana.

Nadia terus berjalan, ia menyadari kalau Asep berjalan di belakangnya. Dia tahu Asep akan pergi ke kemar mandi yang berada di kolam renang sekolah. Mereka berdua pun berpisan setelah keluar dari pintu sekolah. Asep berbelok ke arak kanan untuk sampai ke kolam renang, sedangkan Nadia berjalan lurus untuk ke gerbang.

Setibanya di gerbang, Nadia melihat satpam sekolah yang sedang bertugas. Dia akan memastikan semua siswa dan guru sudah keluar, dan akan mengkunci gerbangnya. Setelah itu, tugasnya selesai.

Nadia tersenyum ke arah satpan itu. "Udah gak ada siswa lagi, Pak."

"Siap, neng Nadia." Satpan itu bergegas mengambil kunci dan berjalan ke arah gerbang.

Dia menarik gerbang itu sebelum menguncinya. Nadia berjalan menyusuri trotoar yang lumayan sepi, tak banyak kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya saat itu. Nadia sengaja tidak membawa kendaraan apapun ke sekolah, karena ia lebih suka berjalan kaki.

Nadia mendongakkan kepalanya, langit terlihat semakin gelap sekarang. Dia kembali meneruskan perjalanannya menuju rumah. Sesekali Nadia menghela nafas. Dia merasa sangat hampa saat sudah keluar dari area sekolah.

Rumahnya memang agak jauh, tapi Nadia merasa lebih baik jika ia berjalan kaki. Angin malam berhembus dan menabrak kulit-kulitnya, membuat Nadia sedikit menggil dan menggenggam tangannya sendiri dengan erat.

Nadia menghentikan langkahnya. Dia memfokuskan pandangannya pada satu titik. Terlihat ada seseorang yang mencurigakan di sana, orang itu seperti sedang bersembunyi di balik tiang listrik. Nadia memperhatikan tubuh orang itu, hingga ia tersadar dan menghampirinya.

Setelah Nadia berada di belakang orang yang mencurigakan itu, ia menepuk pundaknya. Membuat orang itu terkejut setengah mati, ia langsung berbalik untuk melihat siapa yang sudah mengagetkannya.

"Lu! ... lu ngapain disini?" tanya Juan dengan suara yang lebih pelan.

Nadia menatap Juan, ia pun menurunkan pandangannya pada sebuah tas yang dipegang laki-laki dengan lesung pipi itu. Nadia kembali menatap mata Juan sambil menaikkan satu alisnya seolah bertanya-tanya.

"Lu habis nyuri tas, ya?" tanya Nadia.

Juan gelagapan, perbuatan buruknya kini ketahuan. Keringat dingin bercucuran dari ujung kepalanya. Juan mencengkram erat pergelangan tangan perempuan di depannya, ia simpan jari telunjuknya di depan mulut Nadia.

"Jangan bilang ke siapapun. Gua terpaksa ngelakuin hal ini," ucap Juan.

Nadia hanya diam dan menatap Juan. Tatapan mata yang tajam dan mengintimidasi, seolah siap akan memangsa manusia di depannya saat itu juga. Juan menelan ludahnya dengan susah payah, ia kembali berbalik dan melihat apakah keadaan sudah aman atau belum.

Nadia menyingkirkan jari telunjuk Juan dari wajahnya, dengan perlahan ia juga menarik tangan laki-laki itu hingga melepaskan pergelangan tangannya. Juan kembali membalikkan tubuhnya, menghadap pada Nadia.

"Terpaksa, ya. Tapi yang lu lakuin ini salah, Ju." Nadia mengambil tas yang dipegang Juan.

"Tapi, Nad-"

Belum selesai Juan berbicara, tiba-tiba ada seorang wanita yang meneriaki mereka. Juan panik seketika langsung berlari dan menjauh dari mereka. Nadia dengan tenang menghampiri wanita itu yang tampak sangat marah dengan alisnya yang ditekuk.

Nadia menyerahkan tas itu pada wanita di depannya. "Ini, tasnya, Bu."

Wanita itu mengambil tasnya dengan kasar. Nadia hanya diam tak berkata apapun setelah itu.

"Saya akan laporin kamu ke polisi," ucap wanita itu.

Nadia panik saat itu juga. Dia bingung harus menjelaskan bagaimana apalagi wanita itu sudah menekan nomor untuk menelepon polisi.

"Ta- tapi bukan saya yang nyuri tasnya, Bu."

...

Asep menutup matanya saat air dari shower mulai membasahi tubuhnya. Walaupun kamar mandi itu sudah gelap karena tak ada cahaya yang masuk dari luar, Asep tidak peduli. Dia tetap mandi dengan santai. Hening, hanya ada suara air yang menenangkan untuk Asep.

Laki-laki itu berjalan ke luar kamar mandi setelah menyelesaikan mandinya, ia kenakan pakaiannya di luar kamar mandi. Tidak akan ada yang melihatnya, kecuali mahluk halus, mungkin.

Asep mengenakan kaus dan celana pendek di atas lutut. Dia melipat seragam sekolahnya yang akan ia pakai besok sebelum berjalan kembali ke kelas. Asep sudah biasa tidur di sekolah saat ia tidak bekerja paruh waktu.

Selama tinggal jauh dari tempatnya berasal, Asep memang selalu bekerja paruh waktu. Nenek dan kakeknya memang sesekali memberi uang untuk Asep, tapi terkadang itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya.

Asep berjalan menyusuri lorong kelas yang gelap. Sekolah yang biasanya bising oleh suara-suara para siswanya, kini hening tanpa terdengar suara serangga malam pun. Angin berhembus, menabrak kulit Asep hingga membuatnya merinding.

Asep masuk ke kelasnya. Dia berbaring di atas meja yang sudah ia buat sejajar itu. Tidak lupa, Asep selalu tidur dengan bantal semangkanya. Karena malam ini terasa begitu dingin, Asep menggunakan almamaternya untuk menutupi sebagian tubuhnya agar tidak terlalu dingin.

...

"Gak ibu gak anak sama aja! Nyusahin terus kerjaannya," bentak seorang wanita.

Wanita dengan pakaian formal itu berjalan keluar dari kantor polisi, ia terus mengoceh karena kesal. Nadia hanya menghela nafas sambil berjalan mengikutinya dari belakang.

Wanita yang tasnya dicuri tadi melaporkan Nadia pada polisi. Tiara, sekertaris sang ayah harus turun tangan untuk mengeluarkan Nadia. Walaupun akhirnya Nadia terbebas dengan mudah karena ini bukan salahnya, Tiara tetap kesal.

Tiara tiba di samping mobilnya, ia pun membuka pintu mobil. "Cepat masuk! Saya anter kamu untuk pulang."

Nadia diam dan menatap tajam ke arah wanita di depannya. Tatapan yang mengintimidasi itu membuat Tiara muak. Dia pun masuk dan duduk di kursi supir, melajukan mobilnya, meninggalkan Nadia di sana.

Nadia pun berjalan menyusuri trotoar. Dia sudah tidak kuat, ingin membunuh wanita gila tadi. Jika bukan karena ayahnya yang berada jauh di luar negri, Tiara tidak akan berbuat sesuka hatinya di sini.

Dengan kesal, Nadia menendang botol yang berada di depannya. "Ah, sial."

SARASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang