Move on—apa yang pertama kali terlintas saat mendengar kata familiar itu? Menghapus semua foto mantan, memblokir akses komunikasi dengan sang mantan, atau play lagu-lagu galau serta tulis caption dari paling sedih sampai bijak sedunia?
Avella tidak begitu. Dia tetap menyimpan foto-foto Albi pada file khusus di laptopnya. Jika hari ini kenangan itu terasa menyakitkan, mungkin suatu saat nanti dia akan tersenyum bahagia sambil berucap, "Terima kasih, kamu telah menjadi bagian dari proses pendewasaanku. Menjadikan aku manusia yang lebih tangguh dan ikhlas."
Oh—nomor telponnya pun masih tersimpan aman. Hanya namanya yang sengaja diubah dari 'Mas Pacar Ganteng' menjadi 'Albi'. Tak ada lagu sedih atau quotes menginspirasi yang membanjiri akun sosmednya. Postingan terakhir instagramnya adalah foto dirinya dengan anggota Russian Roulette, yang sedang mengunjungi Event Cosplay di kawasan Blok M. Itupun beberapa bulan yang lalu. Avella bukan bagian dari kaum millennial yang aktif di sosmed. Twitternya bahkan lebih parah. Terakhir cuitannya adalah dua tahun lalu kala dia lulus SMA dengan nilai tertinggi. Tak punya facebook apalagi Tiktok.
Kesimpulannya, Avella bersih dari rutinitas move on pada umumnya. Dia hanya kembali pada rutinitas sebelumnya, di mana dia belum bertemu Albi. Bagi Avella move on adalah tentang mencari jati dirinya kembali, bukan mencari tambatan hati lain ataupun mencari kesibukan sampai tipes—oh, shit! Omong-omong soal tipes, harga dirinya merasa terlukai.
Hujan sialan!
"Holly shit!" spontan saja Avella mengumpat—Hm, mari lupakan sejenak soal tipes dan hujan. Ada yang lebih membutuhkan atensinya sekarang.
"Kenapa bisa kalian belum dapet guest star-nya?" Avella berkacak pinggang dengan perasaan marah. Matanya menatap nyalang pada dua anggota Divisi Marketing. Ya, Avella telah kembali ke rutinitasnya sebagai anggota UKM Radio.
"Daniel cancel gitu aja, Ve, kita udah coba bujuk, tapi—"
"Emang cowok berprestasi di kampus cuma Daniel doang?"
Bianca menyingkirkan Bima untuk mundur selangkah. Membiarkan dirinya yang angkat bicara. "Masalahnya cowok crush di kampus kita cuma seuprit. Dulu ada Albi...," dia tak mengindahkan ekspresi kecut Avella saat nama itu terucap, "Tapi lo tahu, semester lalu dia pindah kampus. Ada Pras, tapi dia mana mau ikutan acara begini."
"Anak produksi udah susah payah buat siapin program ini atas orderan kalian. Masa tinggal action, anak Marketing nge-cut gitu aja? Di mana tanggungjawab kalian?!"
Bianca menggertakan gigi saat Avella dengan seenak hati mengomentari kinerja Divisi Marketing. Egonya tersentil, tak terima begitu saja. "Kita bukan ngga usaha ya, Ve, gue tahu lo abis putus, tapi jangan lampiasin ke kita dong."
"Kok lo bawa-bawa masalah pribadi gue?!"
Suasana di studio Smupie—nama UKM Radio kampus mereka—semakin chaos. Sebenarnya, perdebatan antara Divisi Marketing dan Divisi Produksi sudah menjadi rahasia umum. Sebagian pekerjaan Produksi atas order anak Marketing. Misalnya, seperti pasang poster di sosial media, membuat audio pesanan client, serta liputan—yang datangnya bisa mendadak atau deadline-nya mepet. That's why, dua divisi itu sering adu urat. Namun, baru kali ini masalahnya merembet ke ranah pribadi.
Mari kita kembali pada aktivitas seminggu yang lalu—sebelum status Avella berubah jadi jomblo dan absen dari kegiatan kampus.
Divisi Marketing sepakat akan mengundang Daniel sebagai bintang tamu di acara podcast Smupie FM—yang dilaksanakan setiap malam minggu pukul tujuh hingga sembilan malam. Eksistensi si kapten basket itu tidak perlu diragukan lagi. Tampan, berprestasi, dan humble. Sebagai radio komersil, harapannya eksistensi Daniel dapat menaikkan ratting Smupie FM.
Ketika Divisi Produksi sudah berkoar-koar di semua sosmed Smupie tentang kehadiran Daniel sebagai bintang tamu, badai datang menyapu bersih semua yang telah dipersiapkan. Hanya tersisa tiga hari untuk mereka mencari pengganti—yang harus bin wajib eksistensinya sama rata dengan si kapten basket. Syukur-syukur di atasnya.
"Udah-udah, jangan berantem dong," Bima maju untuk melerai. Malu dilihat oleh anggota baru yang notabennya para maba, yang baru menyelami dunia broadcasting. Belum genap setahun, bisa-bisa mereka pada kabur.
"Cap cip cup aja deh, anggota basket kan banyak yang keren. Tuh si Jovan juga keren," Tedi ikut berkomentar.
"Jovan prestasinya apa anjir," Bianca yang kenal betul dengan Jovan tak sepakat. Pemuda itu punya mulut kaleng rombeng, ditambah keahliannya ghibah, paket komplit buat mengubur program podcast Smupie dalam satu malam—alias tamat karena diboikot pendengar.
Avella melepas kacamata bacanya, lantas memijit kening sebab kepalanya mendadak berdenyut nyeri. Kekacauan macam apalagi ini? Kenapa hidupnya jadi semakin tak terkendali? Padahal Avella sudah pastikan bahwa perahunya berlayar sesuai navigasi. Menuliskan apa saja rencana hidupnya melalui proses screening yang ketat, kemudian menyingkirkan yang tidak perlu.
That's just the way Avella is. Hidupnya selalu penuh dengan perencanaan. Sepulang dari rumah sakit hal pertama yang dilakukannya yaitu merevisi list to do untuk jangka pendek. Hari-hari di rumah sakit menyebabkan kapalnya mengalami keterlambatan untuk sampai tujuan. Dia harus secepatnya menyiapkan planning cadangan agar kapalnya tetap berlayar.
Kali ini dia pun akan melakukan hal yang sama. Jika anak Marketing tidak dapat meng-handle tugas mereka, maka dia bersedia menceburkan diri. Suka tidak suka, melanggar batas atau tidak sopan—whatever lah orang menyebut apa. Yang dipikirkan Avella saat ini cuma satu, yaitu acara berjalan sesuai rencana.
"Biar gue yang ngomong ke Daniel," tegas Avella meraih tasnya di sofa, lantas pergi begitu saja. Langkahnya terhenti ketika Bianca menghadangnya di ambang pintu.
"Kita bisa rapatin masalah ini sama-sama, jangan semuanya lo handle sendirian!"
"Ngga ada waktu, Bi, kita cuma punya sisa tiga hari! Kalo lo bisa yakinin Daniel, gue juga ngga akan gini," Avella mulai naik pitam. Bianca sama sekali tidak mengerti beban sebagai ketua ukm broadcasting. Dituntut untuk selalu menyuguhkan program-program menarik untuk menggaet sponsor. Belum lagi, kampusnya selalu memberikan ekspektasi tinggi pada Avella. Katanya sebagai mahasiswi berprestasi, otak cerdasnya tentu dapat memajukan Smupie dari tahun-tahun sebelumnya.
Kadang, saat kesal Avella cuma bisa membatin, "Mau maju ke mana lagi sih? Simpang lima?!"
Jadi mahasiswi berprestasi, plus populer di kampus realitanya tak seenak yang terlihat. Kalau kata Pascal privilege yang dia dapatkan tak sebanding dengan kesehatan mentalnya. Lagi-lagi Avella cuma bisa membenarkannya dalam hati. Karena dia sudah berjanji untuk hidup sebagai manusia baik dan membahagiakan orang-orang di sekitarnya.
Sial! Bianca masih saja keras kepala menentang keputusannya.
"Gue tahu kok, semua orang di sini juga tahu," katanya enggan beranjak dari tempatnya. Masih berdiri di tengah pintu menghalanginya.
"Tapi ya elo mikir aja sih, Ve, mereka yang ikut UKM Smupie bukan cuma buat menyalurkan bakat dan hobi atau seneng-seneng doing...," gadis itu melirik sekilas teman-teman seangkatan serta junior yang sejak tadi tak berani bersuara, lalu kembali mengunci pandangannya pada Avella yang menatapanya malas, "mereka juga perlu belajar meningkatkan kemampuan problem solving—terutama buat yang masih ditahun pertama."
"Gue ketuanya, gue tahu apa yang paling dibutuhkan Smupie." Avella mendorong tubuh Bianca agar menyingkir dari pandangannya. Keputusannya sudah bulat. Avella terlampau gemas jika masih harus membuang waktu dengan melakukan rapat. Sementara tak banyak waktu yang mereka miliki.
Avella Linca Aggjesta tak sadar bahwa ambisinya telah melukai harga diri orang lain. Niat baik agar program Smupie berjalan lancar, tak ditangkap baik oleh teman-temannya. Apa yang dilakukan Avella terkesan seperti dia ingin mengendalikan Smupie. Anggota yang terlibat di dalamnya hanya lah robot yang bisa sesuka hati dia perintah.
Dan Bianca lah yang paling kentara menunjukkan ketidaksukaannya tersebut. "Tuh anak emang perlu dikasih pelajaran."
KAMU SEDANG MEMBACA
KILL ME, HEAL ME [Weekly Update]
Literatura FemininaHanya karena satu kesalahan, Avella telah menenggelamkan kapal impiannya. Hidupnya tidak akan pernah sama lagi. Dia hanyalah seonggok manusia hina yang tidak pantas mendapat berkah Tuhan, yaitu kebahagiaan. Lalu seseorang berkata, "Di Jepang ada tr...