Hari pertama Arsena dibawa mereka berdua menuju tempat yang jauh. Entah kemana mobil tua yang tak nuaman itu melaju. Yang jelas melewati beberapa perkampungan kumuh yang padat lalu melewati hutan kemudian sawah.
Namun saat kembali masuk sebuah kota, mereka bertukar mobil. Memang perjalanan ditempuh 2 jam, dan karena malam hari maka tak banyak orang lewat di depan supermarket ini.
"Kau tak mau tau tujuan kita kemana?" Bisik Manuela sambil menggigit pelan telinga Arsena.
"Percuma, meski kalian memberi tahu tujuannya aku tak tau tempat itu. Lagipula kalian sudah menyita ponsel dan dompetku." Arsena masih datar, ia masih tenang tanpa curiga berlebih.
"Ini baru anakku. Coba saja kau terlahir sebagai anakku, pasti akan sangat kubanggakan. Bahkan akan kupamerkan pada seluruh kenalanku." Ujar Renzo dengan semangat.
"Hahahaha, kau masih menyesali soal anakmu itu?" Sindir Manuela dengan memeluk lebih mesra tubuh Arsena.
"Tutup mulutmu! Atau kubongkar rahasiamu sekarang." Ancaman seorang Razen itu seolah bukan apa-apa bagi wanita yang memberi desahan sensual di telinga Arsena.
"Cih." Decak Razen.
Entah seberapa lama, dashboard di depan terlihat sekarang jam setengah sebelas. Manuela sepenuhnya tertidur sambil mendekap erat Arsena. Sementara anak itu tak bergeming, tak peduli apapun yang terjadi.
"Kau tau nak, orang terdekatmu itu tak ada satupun yang bisa kau percaya." Ucap Razen tiba-tiba.
Mobil masih melaju dengan kecepatan sedang. Lalu masuk dalam tol antar kota.
"Imanuel Alberona, dia adik dari Sabrina Manuela. Dan sepertinya dia punya dendam pribadi denganmu." Jelas Razen.
Perlahan orang itu bersandar. Lalu menggenggam tangan kiri Arsena. Mengelus perlahan punggung tangannya seolah penuh rasa peduli.
"Mungkin ada hubungannya dengan keluarga Evan Santoso Ridl yang pernah Daddy-mu buat bangkrut itu. Tapi entah lah, si bangsat Ridl dan kedua orangtuamu juga sama bejatnya." Razen mulai bercerita meski sebenarnya Arsena tak benar-benar tau apa maksudnya.
"Orang bilang bahwa seringkali orang kaya akan mengucilkan anak kesayangan mereka karena beresiko untuk diculik. Alibinya demikian, tetapi kurasa memang benar. Bagaimana dulu kedua orang tuamu terlihat membencimu, dan kini Daddy bangsatmu itu begitu memujamu." Ia mengangkat tangan Arsena kemudian menciumnya sesaat.
"Apa maksud Anda?" Arsena begitu heran, ia tak tau bagaimana orang ini mengetahui seluk beluk keluarganya dulu.
"Diam dan dengarkan saja." Ia masih menggenggam tangan Arsena dengan kedua tangannya.
"Jujur, dulu aku terkejut karena sempat kehilangan dirimu. Anggap saja aku begitu terobsesi untuk memilikimu, tapi dengan fakta kau anak dari mereka aku membenci hal itu." Dia menghela nafasnya menerawang sebuah masa lalu yang terlihat menyenangkan.
"Aku bahkan tau jika kau sering ke rumah keluarga Ridl. Bahkan terakhir kau ke rumahnya dengan kondisi menangis dan berjalan terseok. Itu membuatku sedih, tetapi benarkah jika putra Ridl itu mempekosamu?" Dari bahasa itu, seolah Razen kini menjadi pria dewasa yang sedang menguatkan anaknya.
"Jika dalam posisi kau bukan anak mereka, pasti kugantung anak itu di depan rumahnya yang kosong itu. Yah tapi bagaimanapun kau anak dari mereka, jadi kutonton saja. Ah aku lupa menyampaikan sesuatu." Mendengar itu, wajah Arsena masih datar, hanya dalam hatinya ia penasaran seberapa banyak yang pria ini tau
"Ponsel dan dompetmu nanti akan dikirim ke kantor. Aku tak mau mengantarkan ke rumah pria lansia itu." Jelas Razen lalu kembali mereka terdiam.
Di waktu hampir subuh, tanpa Arsena ketahui sebuah sapu tangan diletakkan diatas wajahnya dengan perlahan. Sapu tangan yang sebelumnya telah diberikan obat tidur. Semua telah mereka persiapkan sejak awal.
KAMU SEDANG MEMBACA
SOLO
Historia Corta"Kalo masih punya otak MIKIR" bentaknya sambil menatap nyalang. "Lo masih tinggal disini cuma karena kita semua kasian, ngga usah drama!" "Pernah kepikiran hidup bebas diluar? Lakuin aja, Papa malah seneng kalau kamu inisiatif gitu. Seenggaknya Papa...