Chapter 20: One Last Dance

364 30 9
                                    

hari kejadian

Seperti hari-hari biasa, Gigi berangkat di jam 7 pagi. Setelah Jesse sudah terlebih dahulu pergi lebih awal darinya. 

Nothing special. 

Sesampainya di kantor ia tiba-tiba didekati seseorang berpakaian tertutup. 

"dengan ibu Genevieve?" Sesosok laki-laki tersebut berusia pertengahan 20-an memberhentikan Gigi.

"Iya?"

"Ibu sebaiknya ikut dengan saya." Laki-laki tersebut mendekati Gigi dan mencengkram lengan Gigi.

"L-lepasin!" Gigi memberontak, "lepasin atau saya teriak."

Laki-laki bermasker dan bertopi hitam itu hanya diam saja sebelum menutup mulut Gigi dengan kain basah.

Kloroform?

Gigi kehilangan kesadarannya. 

【-】【-】【-】

Gigi's POV

Suara keras konstruksi membuatku pening. Kubuka pelan mataku untuk menemukan diriku di posisi terikat di sebuah gudang lusuh. 

Rasa pusing yang melandaku membuat perutku juga berkecamuk, sarapan tadi pagi sepertinya tidak cukup untuk menahan asam lambungku. 

okay. Tenang Gi. Think. 

Aku berusaha menenangkan diriku dan menahan air mata yang memaksa keluar dari pelupuk. Seketika aku mengingat  bahwa aku menaruh Jesse sebagai kontak darurat di smart watch yang sedang kupakai. 

Sejak peringatan Tante Mia 2 hari yang lalu, aku selalu mawas diri dan menyiapkan smart watch ini untuk keadaan darurat. Aku menekan sisi smart watch untuk menelepon Jesse.

Please angkat. Please angkat. 

"Gi?" Suara berat Jesse menenangkanku. 

"jangan ngomong apa-apa. Lacak aku Je. I think I am being kidnapped." bisikku, berusaha untuk tidak gemetar. Aku tahu apabila aku menunjukkan sedikitpun rasa khawatir atau takut Jesse akan kehilangan kontrol dan membuat operasi bunuh diri. Jesse tidak menjawab sepatah katapun setelahnya tetapi aku tahu ia mengerti maksudku dan apa yang harus ia lakukan.

Cklek. 

Mendengar kunci yang dibuka aku pura-pura tidur. 

"Seperti yang Anda minta, pak." Aku mengenali suara itu, dia orang yang menculikku.

"Good job. Bayarannya nanti akan saya taruh di tempat itu. Seperti biasa, jangan beri tahu siapapun soal ini." Om Rowan. Itu Om Rowan, aku yakin. 

"Tapi kalau saya boleh tanya, bukannya dia ini anaknya temen Pak Rowan?" Si brengsek itu masih berani bertanya. 

Rowan diam sejenak, aku sudah membayangkan ekspresinya yang keras, "saya butuh dia untuk tetap diam." 

baik pak. Suara orang itu mengecil dan aku bisa mendengar suara langkahnya semakin menjauh. Sekarang hanya aku dan Om Rowan dalam ruangan menyesakkan dan berdebu itu. 

"Genevieve..." namaku terdengar nista di mulutnya, "sebaiknya kamu tetap di jalurmu. Bukan urusanmu ikut campur dalam permasalahan orang dewasa." Ucap Rowan.

"buka matamu, saya tahu kamu sudah sadar." Suara Om Rowan mencekam, membuat degup jantungku tidak karuan. 

"Heh. Ketahuan ternyata." aku membuka mataku, menatap mata Om Rowan yang dipenuhi kebencian, ujung mulutnya tertarik seperti memaksa tersenyum. 

The Princess and The MastermindTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang