Gigi membuka matanya, cahaya menelisik masuk melalui jendela kamarnya yang besar. Wait, kamarnya? Ya, ini kamarnya di rumah orang tuanya.
Kenapa ia disini? Dirinya masih kebingungan dengan sekitarnya. Suara keluarganya terdengar kencang dari dalam kamar, ia membuka kenop pintunya dan menemukan seluruh keluarganya, termasuk Jesse, sedang berkumpul di ruang keluarga.
Gigi tersenyum. Pemandangan ini menghangati hatinya. Gigi berusaha menyapa tetapi Opa, Oma, maupun Jesse tidak ada yang mengindahkan.
"Halo? Opa? HAII, OMA, JESSE." Gigi berteriak.
Am I, Dead?
Gigi berteriak sekali lagi, "JESSE? Aku mohon, Je. Balas aku," Gigi berusaha menyentuh Jesse, "JESSE!"
【-】【-】【-】
Napas Gigi tersengal, ia terbangun dengan masker oksigen menutupi hidung dan mulutnya dengan infus yang tertancap di punggung tangannya.
Rumah Sakit?
"GI? GI LO UDAH BANGUN?" Suara Raya menyadarkan Gigi sepenuhnya, air mata Raya bercucuran membasahi baju rumah sakit Gigi.
"JE, GIGI BANGUN." Raya berlarian keluar.
Beberapa saat kemudian ruangan rumah sakitnya penuh dengan dokter dan keluarganya, termasuk Jesse.
Jesse terlihat sungguh memprihatinkan, pipi tembamnya menjadi sedikit cekung dan bawah matanya gelap ditambah dengan kumis halus yang mulai tumbuh.
"Je, h-have you been fine?" Tanya Gigi lemas. Jesse hanya diam saja menunjukkan raut sedih sambil menciumi tangan Gigi.
"Ibu Genevieve? Bagaimana perasaan Anda?" seorang dokter senior bertanya sembari mendengarkan detak jantung Gigi.
Gigi mengangguk pelan, "tapi saya sedikit pusing dan haus, dok." Gigi berhenti sejenak, tangannya automatis bergerak menuju perutnya, "b-bagaimana...?"
"Ah. Semenjak 10 hari yang lalu kami selalu memonitor janin. Untungnya ia dalam keadaan yang baik, bu. Sepertinya ia sangat ingin menjadi anak ibu." Ucap dokter lainnya dengan tersenyum lebar.
Thank God. Gigi tersenyum lega.
"Itu bukan jadi main concern aku, Gi. Dia gapenting dibanding kamu." Ucap Jesse, suaranya parau. Sepertinya selama 10 hari Gigi koma, tidak sehari pun Jesse absen datang ke rumah sakit dan menunggu Gigi.
"No, you can't say that, Je." Gigi membelai wajah kasar Jesse.
Para dokter kemudian izin keluar dan diikuti dengan Raya dan anggota keluarga yang hadir.
"Anak ini hampir buat kamu ngga ada, Gi. Gimana aku bisa tenang? Gimana aku bisa santai dan tetap senang menerima kehadirannya." Jesse mengalihkan wajahnya, ia tidak ingin melihat ekspresi kesakitan Gigi, "kalau karena dia kamu hampir pergi."
"Je..." Gigi mengambil tangan lebar Jesse dan membawanya ke perut Gigi yang mulai terlihat. "Dia masih hidup, Je. Dia masih hidup walaupun udah melewati kejadian gila kayak kemarin. Dia mau disini, dia milih kita Je."
Dia milih kita.
Jesse menangis kencang. Tidak peduli suaranya akan terdengar sampai luar. "Maafin aku Gi, maaf."
"minta maaf ke dia, lah." Gigi tertawa pelan melihat Jesse yang menangis seperti anak kecil.
"Maaf, Juliette." Jesse mengusap air matanya dan berbisik pada perut Gigi.
"Juliette?" Gigi bertanya.
"Nama dia. Juliette." Jesse berkata malu, "aku yakin dia perempuan."
"Aaah...Okay...Halo Juliette."
Juliette: Ceria, penuh keyakinan, penuh semangat dan mudah beradaptasi.
Author's Note:
EHHEHEHE....
terima kasih sudah membaca, ditunggu side story lainnya <33 Untuk side story ngga akan panjang-panjang karena untuk main storynya sudah selesai, jadi di side story hanya akan ada aftermath nya ajaa. THANK U!!!!
XOXOXO
KAMU SEDANG MEMBACA
The Princess and The Mastermind
Любовные романыMr. Mahaprana dan Mrs. Mahaprana. Genevieve tersenyum kecil saat memikirkan hal tersebut. Dirinya sekarang sudah resmi menjadi istri dari seorang Jesse Aiden. Jesse. Aiden. Tetapi perasaan ini hampir runtuh saat Genevieve mendengar yang tidak harus...