11

1.9K 306 175
                                    

"Kapan pulang?" Pertanyaan Indah menghentikan langkah kaki Oniel yang hendak meninggalkan kantor ini. Sudah pukul enam, semua karyawannya pulang, hanya tersisa mereka.

Oniel berbalik, menatap Indah cukup lama. Sejak pertengkaran malam itu, Oniel benar-benar belum pulang sama sekali. Oniel takut keributan antara mereka terjadi lagi, Oniel takut ia tidak mampu menahan emosinya lagi dan ia takut Indah menuntutnya untuk berpisah. Terlalu banyak ketakutan yang ia rasakan sampai ia belum berani pulang meski ia sangat merindukan Oline.

"Aku egois, aku tau aku salah, aku minta maaf, tolong, Oline butuh kamu, dia demam, dia nangis tiap malam, dia gak bisa tidur nyenyak tanpa kamu. Kalo kamu gak bisa pulang karna aku, aku mohon, pulang karna Oline. Anak kamu butuh kamu." Indah menahan sesak di dadanya. Indah sudah tidak punya cara untuk menenangkan Oline selain meminta Oniel pulang.

Oniel tidak menjawab, ia berbalik dan melanjutkan kembali langkahnya.

"Kenny gugat aku, dia mau ambil Oline dari kita, kalo kita jalan masing-masing gini gimana kita punya kekuatan buat lawan dia? Gimana cara kita mempertahankan Oline? Aku udah berusaha turunin ego aku, aku harap kamu melakukan hal yang sama." Indah hanya bisa mengembuskan nafas panjang melihat Oniel terus berjalan meninggalkannya tanpa mengatakan apapun. Apa Oniel sudah tidak peduli lagi dengannya?

Matahari sudah tenggelam, hari berganti malam, Azizi dengan keresahan yang tidak biasa sedang duduk di balkon kamar rumahnya, tidak ada yang ia lakukan sedari tadi selain melamun dan menghabiskan satu persatu rokoknya. Azizi merasa sangat frustrasi sekarang, belum cukup ia dipusingkan karena cinta, ia harus memikirkan semua uang Ashel yang raib karena kecorobohannya.

"Woy! Ngelamun mulu, bro!" Ara yang baru selesai bermain PlayStation milik Azizi kini memilih untuk menyusul Azizi. Ara mengambil satu batang rokok milik Azizi, menghidupkannya sebelum menghisapnya. Malam ini Chika bermain bersama temannya, jadi karena bosan, ia memutuskan untuk pulang ke rumah Azizi.

Azizi tidak menjawab, ia menikmati kopi panas yang sudah tak lagi panas itu. Azizi masih tenggelam dalam lamunannya, bagaimana jika Ashel kembali bertanya? Apa yang harus ia jawab? Ashel pasti kecewa kepadanya. Ah, kadang ia sangat membenci dirinya sendiri.

"Lo kenapa? Kalah judi?" Ara memang pandai menebak isi pikiran seseorang. Hanya Ara yang tau kebiasaan buruk Azizi karena ia sering diam-diam mengintip ponselnya.

"Iya, gue tarik uang investasi Ashel dan gue pake buat judi, abis semua." Azizi mengusap wajahnya frustrasi kemudian menatap Ara. "Dia nanyain uangnya tadi."

"Gila lo, ah gue gak ikut-ikutan dah." Ara menggeleng. Ara tau sebesar apa uang Ashel yang Azizi pegang, jika Ashel mengetahui semua uangnya raib dipakai judi oleh Azizi, Ashel pasti akan marah besar.

"Gue minjem duit ke pinjol, tapi dipake lagi, abis lagi." Azizi mengembuskan nafas panjang sambil membuang pandangannya lurus ke depan. "Sertifikat rumah almarhum nyokap sama bokap di Bandung gue gadein ke bank, kemarin Om gue nanyain karna dia mau beli rumah itu, gue harus tebus sertifikatnya."

"Berapa?" Ara mengambil kopi milik Azizi, mulai meminumnya.

"Dua ratus juta."

Kopi yang baru saja menyentuh tenggorokan Ara kini tersembur keluar, Ara mengusap bibirnya dan langsung menatap Azizi dengan mata terbelalak. "Sumpah lo gila banget." Ara tidak percaya orang yang terlihat sangat pinter seperti Azizi melakukan kebodohan sebesar itu.

"Uang Ashel itu hampir dua ratus karna semua emasnya gue ambil, nebus sertifikat dua ratus, pinjol enam puluh lima juta, duit dari mana gue segede itu? Jual mobil paling cuma laku tujuh puluh." Azizi menyandarkan kepalanya yang sangat lelah di tembok. "Keluarga gue gak berenti nanyain, gue takut diaduin ke nenek, dia pasti shock."

AKARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang