"Hallo, Pa.""Aku baru saja landing di Jakarta."
Sang ayah terdengar mengucap kalimat syukur di ujung telepon, selalu begitu reaksinya setelah dikabari tiba di tempat tujuan dengan selamat.
Ayahnya cukup protektif. Ia pun wajib memberi kabar selepas mendarat dimana saja. Tentu harus melapor pula akan pergi kemana, walau mereka jarang bertemu dan berada di tempat berbeda.
Aturan tersebut tidak hanya berlaku untuknya, tapi sang adik juga, Sanistya Ayodya.
"Aku akan pulang bersama Kapten Segara, Pa."
Samiya menjawab pertanyaan sang ayah yang bertanya dengan siapa dirinya ke apartemen.
Tentu, orangtuanya tidak keberatan.
Segara Adyatama sudah mendapat lampu hijau dari sang ayah. Mereka direstui mereka.
Entah mengapa, ia lega luar biasa. Setidaknya memperoleh izin melepas masa lajang dengan pria pilihan, tidak ditentang sang ayah.
Ada sedikit kecemasan tentang perjodohan. Ia tak cukup siap berumah tangga dengan sosok asing, siapa pun pilihan orangtuanya nanti.
Minimal dengan Segara, pria itu pernah hadir di hidupnya. Memiliki cinta yang amat tulus. Dan sudah berkomitmen serius dengannya.
Hanya tinggal menunggu ingatannya pulih lagi seperti dulu untuk Segara, maka romansa di antara mereka akan hidup kembali bukan?
Samiya sangat berharap semua memori yang ada kaitan dengan hubungannya dan Segara segera diingat. Tak akan hilang permanen.
"Aku? Bagaimana, Pa?"
Samiya belum mampu memahami makna dalam pertanyaan diajukan sang ayah tentang apakah dirinya senang bisa pulang bersama Segara.
Tentu, ayahnya ulang bertanya lagi.
"Iya, Papa." Samiya menyahuti cepat ucapan sang ayah yang meminta mengakhiri panggilan.
Dan sambungan telepon disudahi lebih dulu oleh ayahnya di seberang sana. Benar-benar berakhir percakapan ringan dengan orangtuanya.
Samiya tergelitik ingin menanyakan bagaimana pendapat sang ayah tentang Segara. Apakah ada sifat sang kapten tak disukai oleh ayahnya.
Namun saat melihat bagaimana akrab dan santai mereka berdua mengobrol di Singapura, tidak mungkin ayahnya tak suka Segara Adyatama.
Apalagi, lampu hijau untuk menikah telah diberi.
Ya, kedua orangtuanya memberi restu dengan mudah. Tak ada keberatan sama sekali.
Tinggal mengadakan pertemuan kedua keluarga guna membahas pernikahan lebih lanjut.
Dan semoga, ia bisa secepatnya mengikat janji suci dengan Kapten Segara Adyatama, tanpa ada hambatan yang bisa menghalangi rencananya.
"Hai."
Samiya mendapat tepukan pada bahu kirinya. Ia pun langsung membalikkan badan guna melihat Kapten Segara. Dan pria itu tersenyum padanya.
"Aku sudah selesai. Mau pulang sekarang?"
Samiya mengangguk mengiyakan ajakan.
Lalu, tangan kanannya diraih. Digenggam yang erat. Membuatnya menjadi gugup seketika.
Sudah beberapa kali kedekatan seperti ini terjadi di antara mereka. Semakin sering dilakukan, ia pun merasa kian tegang akan sentuhan ini.
Mereka pun bergandengan berjalan menuju ke tempat dimana mobil Kapten Segara diparkir.
Tanpa banyak mengobrol, bukanlah masalah.
Samiya senantiasa merasa tersanjung akan sigap sang pilot bersikap, termasuk membukakan pintu mobil saat mereka telah mencapai kendaraan.
Wanita mana saja pasti akan senang menerima perlakuan manis seperti ini, ia salah satunya.
Bahkan, di dalam benak, kian banyak pertanyaan muncul akan bagaimana dulu hubungannya dan juga Kapten Segara saat berpacaran.
Andaikan memori ingatan tak hilang, maka akan selalu terbayang dengan mudah kenangan masa lalu di antara mereka berdua di kepalanya.
Sayangnya, belum satu pun terlintas di benak.
"Mau makan dulu, Bu Bos?"
Rasanya ia tidak cukup melamun, namun tetap saja kaget mendapati sosok Kapten Segara telah duduk di jok belakang kemudi mobil.
Pertanyaan yang diajukan tentu didengar. Dan ia harus segera memberikan tanggapan. Gelengan pelan pun dilakukan beberapa kali.
"Sungguh? Langsung ke apartemen?"
"Iya, langsung saja, Kapt." Samiya menjawab mantap karena memang ingin segera pulang.
"Oke, Bu Bos."
Saat baru saja Segara hendak menyalakan mesin kendaraan, ponselnya tiba-tiba saja berdering.
Telepon dari sang ibu.
Tentu akan diangkatnya lebih dulu. Dan bukan dalam mode panggilan suara, tapi video.
Lalu, kamera diarahkan pada Samiya Ayodya.
"Hallo, Nak Miya."
"Calon menantu Bibi semakin cantik saja."
Wajah Samiya langsung bersemu karena malu menerima pujian dari Ibu Citra Rany. Dan tetap berusaha ditunjukkan sikap sopan dengan jenis senyuman ramah yang dilakukan lebar.
"Selamat sore, Bibi."
"Apa kabar, Bibi?" tanyanya dengan santun.
"Bibi baik, Nak Miya."
"Bibi sehat? Syukurlah kalau Bibi sehat," ujar Samiya masih dalam gaya bicara yang hormat.
"Kabar Nak Miya bagaimana? Sehat bukan?"
"Saya sehat, Bibi," jawab Samiya cepat.
"Kapan Nak Miya akan ke Bandung? Bibi ingin sekali bertemu dengan Nak Miya."
"Minggu ini, Bibi."
"Benarkah? Bibi tidak sabar. Mau Bibi masakan apa Nak Miya? Makanan kesukaan Nak Miya?"
"Boleh, Bibi. Makasih," jawab Samiya segera.
"Datanglah ke Bandung. Bibi ingin sekali bisa berjumpa dan memeluk Nak Miya lagi."
Samiya merasa terharu karena disambut dengan antusias niatan dimiliki guna berkunjung. Ibu Citra Rany sepertinya sosok yang baik dan juga hangat. Ia ingin segera bertemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Suami Pilot Posesif
Fiksi Umum[Follow dulu untuk bisa membaca part secara lengkap] Hati Kapten Segara Adyatama masih tertinggal di masa lalunya, untuk sang mantan kekasih, Samiya Ayodya. Dulu hubungan mereka boleh kandas, tapi tetap ada peluang di masa depan untuk bersama, memba...