Joe membenamkan wajah dilipatan tangannya miliknya diatas meja. Masih kepikiran kunci loker yang tiba-tiba hilang lalu kartu minimarket tersebut. Sudah hampir tiga hari ia kepikiran, ia belum berani menyerahkan diri ke perpustakaan.
Kelas sudah ramai tinggal menunggu bel masuk saja, Reva di sampingnya juga sudah mempersiapkan buku diatas meja. Apa ia curhat saja ke Reva? Agar otaknya lebih bisa berfikir jernih.
"Begadang lo?" Tanya Reva menyerahkan permen kopi kepada Joe.
"Nggak, banyak pikiran aja." Jawab Joe lantas mengambil permen yang Reva berikan, di antara yang lain Reva paling dekat dengan Joe mungkin karena mereka duduk bersebelahan.
Joe tidak jadi curhat meskipun ia sudah kepalang pusing. Kalau tidak ada kunci yang ia temukan akan susah melapor ke BK, ia tidak punya bukti yang kuat dan pasti dibilang cari alasan karena menghilangkan kartunya.
Wali kelasnya tiba, sekarang pelajaran beliau. Bu Eri sedang menjelaskan mengenai study campus yang pelaksanaannya setelah Ujian Sekolah selesai. Masih lama.
"Ada yang mau ditanyakan perihal study campus?" Tanya beliau sambil tersenyum ramah.
Sontak murid-murid menggeleng, semua sudah jelas. "Oke, kalau ada pertanyaan bisa tanya di grup kelas, ya."
"Hari ini ibu mau membagikan kelompok untuk ujian praktek. Reva, sini!" Kata beliau menyuruh Reva untuk menulis nama-nama anak kelas.
"Ibu yang pilihkan kelompoknya, jadi jangan ada yang bilang gak adil. Kalian harus belajar bekerja sama dengan siapapun itu," tegas beliau mengabsen acak satu persatu anak muridnya.
Hari ini Joe tidak semangat, gadis itu hanya menatap punggung Reva yang sedang menulis di papan. Ia tidak fokus.
"Sesuai dengan yang ibu bahas minggu lalu, ini untuk ujian praktek prakarya dan kewirausahaan. Jangka waktunya tiga minggu pertemuan selanjutnya ibu mau lihat perencanaan kalian jika sudah matang maka ibu tetapkan tanggalnya." Jelas beliau lalu membereskan bukunya.
"Silahkan berdiskusi. Kalau ada keperluan temui ibu di ruang guru,"
Kelas menjadi ricuh karena melihat kelompok yang ditetapkan wali kelas mereka. Ada yang merasa kecewa ada juga yang bersyukur. Joe termasuk yang hela nafas tidak tenang, semenjak kejadian itu Joe tidak berani bersitatap dengan Kaysan, padahal Reva memberitahunya kalau Kaysan sering menatapnya.
Pasti takut Joe mengadu ke guru? Tenang Joe anak yang menghindari masalah sekecil apapun itu.
Kelompok dua dengan enam anggota, tiga perempuan dan tiga laki-laki. Agis, Evan, Keira, Ciko, Kaysan dan dirinya. Joe menatap iri ketiga temannya, bisa-bisa mereka satu kelompok.
"Gak banget, anjim! Gue barengin kek sama Joe!" Keluh Ziya.
"Selamat menikmati-mati ..." ledek Reva tertawa ngakak, kali ini dia menang biasanya Reva yang sering ke pisah.
"Bye, kita mau kerkom!" Nadia menarik lengan Reva dan Ayu meninggalkan dua gadis itu menuju meja Galung.
Ziya melirik Joe yang masih ogah bangkit dari bangkunya. "Hati-hati," ucap gadis itu menepuk pelan kepala Joe sebelum pergi menemui kelompoknya.
Joe hanya mengangguk lalu membuka ponselnya untuk membuat grup chat agar kelompoknya bisa diajak diskusi kapan saja.
"Kita ditempat lo aja ya, ditempat gue udah penuh." Kata Agis membawa kursinya dan duduk berhadapan dengan Joe. Keira juga ada disampingnya.
Joe mengangguk dan tersenyum tipis, tidak lama datang Evan dan Kaysan. Kaysan duduk di kursi Reva sementara Evan membawa kursi lain dan duduk disebelah Keira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Is This Reality?
Teen Fiction"Aku siap ada di sisi kamu dalam keadaan apapun, meskipun kamu ragu. Tapi aku gak akan ragu untuk tetap mendampingi kamu." Dia adalah Kaysan. Kalau ada kata lebih dari tulus, itu Kaysan. **** Joe mengakui bahwa perasaannya untuk Kaysan hanya sebatas...