22. Di Balik Topeng Itu

177 31 37
                                    

"Tante cuma bisa anter kamu sampe sini. Dokter Rossa orangnya baik kok."

Shanin mengangguk. Tatapannya mengarah ke bawah. Membuat Anne harus memegang kedua bahu gadis itu.

"Tante sama sekali nggak punya prasangka buruk soal kamu, Tante lakuin ini karena Tante sayang sama kamu," jelasnya mencoba memberikan pengertian.

Shanin tersenyum kemudian mengangguk. "Tante tenang aja. Shanin ketemu sama psikolog kan bukan berarti gila, Shanin ngerti. Shanin tau Tante sayang sama Shanin."

Anne memeluk tubuh Shanin. "Makasih, Sayang." Anne kemudian memberi kecupan pada kening  Shanin.

"Tante pergi meeting dulu ya."

Shanin mengangguk kemudian melambaikan tangannya. Setelah melihat mobil Anne pergi, Shanin pun mulai masuk ke dalam gedung itu. Dibantu oleh salah satu perawat, Shanin pun akhirnya sampai di ruangan teman sang tante.

"Shanin. Anne banyak cerita tentang kamu, ternyata lebih cantik aslinya ya. Ciao."

"Makasih, Dokter." Shanin tersenyum tersipu. "Tapi maaf, Shanin nggak bisa bahasa Mandarin."

Rossa tertegun sejenak, tapi sedetik kemudian dia kembali mengendalikan ekspresinya. "Ayo duduk," ucapnya dengan ramah.

Shanin pun menarik kursi lalu duduk di sana. Rossa menyodorkan beberapa cemilan. Shanin memilih permen coklat dan mulai memakannya.

"Kata Tante kamu, kamu lagi deket sama cowok ya. Pacaran?"

Shanin menggeleng, dia mengunyah permen itu dengan santai.

"Oh, aku salah nangkep berarti. Kata Anne kalian deket banget katanya." Rossa memasang wajah meninta maaf.

"Dulu Shanin sering ketemu orang kayak Tante," tanya Shanin yang tidak sejalur dengan pembicaraan Rossa.

"Oh ya? Semoga bukan yang ngingetin kamu sama orang yang jahat ya."

Shanin tertawa kecil. "Nggak, maksudnya orang yang profesinya sama kayak, Tante."

"Oh? Di mana?"

"Tapi aku nggak suka." Shanin tidak menjawab pertanyaan Rossa. Dia mulai mengambil permen ke duanya.

"Karena pembohong."

"Pembohong?"

"Katanya tau apa yang kita rasain, ternyata nggak. Mereka cuma kerja, ngumpulin uang." Shanin menyunggingkan senyum manis, tapi matanya tak bisa berbohong soal rasa kecewa atas harapan yang terpatahkan.

"Yang kamu temuin mungkin emang pembohong, tapi aku pasti bisa bantu kamu kok."

Shanin menarik lengan sweater-nya hingga memperlihatkan bekas luka lama di pergelangan tangannya.

"Ya ampun, Shanin pernah terluka?"

Shanin mengangguk. "Menurut Tante, aku pantas masuk ke rumah sakit jiwa nggak?" Shanin menatap kosong pada bekas luka itu, tangannya yang lain ikut mengusap-usap.

"Begini Shanin, mendatangi psikolog bukan berarti kamu gila. Stereotip di luar sana emang kejam banget. Padahal psikolog itu bisa membatu perasaan kamu menjadi lebih baik atau kamu bisa mengatasi masalah yang sedang kamu hadapi."

"Tapi menurut Tante, aku gila nggak?"

Rossa meraih tangan Shanin dan menggenggamnya, dia tersenyum lembut. "Kamu ngerasa nyaman pada sesuatu yang sebelumnya dicap buruk. Itu nggak serta-merta kamu layak di-judge kok."

"Kalau seseorang menangis karena ketakutan, apa dia harus dimasukin ke rumah sakit jiwa?"

Rossa menggeleng. "Menangis karena takut itu wajar."

Untitled MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang