3

1 0 0
                                    

Nadia menghela nafas berat. Seorang wanita sedang mengoceh tidak jelas karena pengaruh alkohol. Sesekali ia melempar barang-barang yang ada di ruang tamu, menunjuk dan mengatakan hal-hal menyakitkan pada Nadia saat wanita itu melihat kehadirannya.

Wanita lainnya yang tampak lebih tua itu meringis melihat majikannya saat ini. Melihat Nadia yang pulang larut malam, wanita yang memiliki nama Sulis itu merasa kasihan pada Nadia.

"Kamu mau makan dulu, gak? Nanti Bibi siapkan."

Nadia menggelengkan kepalanya. "Gak usah, Bi. Nadia mau anter ibu ke kamar dulu, terus istirahat. Nadia minta tolong buat beresin yang berantakannya, ya Bi."

Sulis mengangguk. Nadia berjalan mendekat pada sang ibu. Dia memapah tubuh wanita yang terus meracau itu, berjalan dengan susah payah ke lantai atas.

"Nadia ... kalo gak ada kamu, sekarang saya udah jadi aktris. Saya bisa sukses ... bisa kejar cita-cita saya," cerocos Rani.

Nadia enggan menjawab ucapan ibunya, ia memilih untuk diam dan mengantar Rani ke kamar. Setiap langkahnya terasa semakin berat, saat Nadia terus saja mendengar kalimat yang keluar dari mulut Rani.

Sesampainya di kamar Rani, perempuan yang masih memakai seragam itu membaringkan tubuh sang ibu di atas kasur. Membiarkan berbaring dengan nyaman, walaupun mulutnya masih tidak bisa diam. Nadia menarik selimut dan menutupi tubuh Rani agar tidak kedinginan.

Nadia berdiri diam di samping kasur, menatap kosong ke arah Rani yang mulai terlelap. Perasaannya campur aduk. Mengingat perkataan Rani tadi, Nadia selalu merasa kesal. Tapi ia kembali berpikir, kelahirannya ke dunia ini memang tidak diinginkan.

Dia anak hasil perselingkuhan sang ayah dari dan Rani. Saat ini, ayah Nadia berada jauh di luar negeri. Lebih tepatnya, tinggal bersama istri sahnya. Walaupun begitu, ia tetap melaksanakan kewajibannya dengan menafkahi Nadia dan juga Rani. Dia juga mempekerjakan satu pembantu dan satu supir untuk mereka di sini.

Ayah Nadia juga meninggalkan sekertarisnya di sini untuk menjaga Nadia dan perusahaannya yang ada di sini. Tiara, wanita itu justru berniat menyingkirkan Rani untuk mengambil hartanya. Semakin Nadia tumbuh dewasa, Tiara semakin sulit untuk melakukan tujuannya.

Karena ditinggalkan oleh ayah Nadia, Rani saat ini jadi pecandu alkohol. Dia selalu meminum alkohol untuk menyenangkan hatinya yang hancur. Nadia tidak bisa berbuat apapun, selain membantu mengurus dan membelikan obat penenang untuk Rani.

"Pergi," ucap Rani dengan mata yang masih terpejam. "Saya gak mau lihat wajah kamu, pergi."

Nadia berjalan keluar kamar, ia membanting pintu dengan kencang sehingga menimbulkan suara yang keras. Sulis terkejut mendengarnya, namun ia tidak mau terlalu ikut campur.

Nadia kembali menghela nafas saat ia tiba di kamarnya. Tempat ternyaman setelah sekolah, adalah kamarnya sendiri. Nadia berjalan mendekat pada kasur setelah menyimpan tasnya di atas meja belajar. Dia memejamkan matanya, membual skenario menyenangkan dalam pikirannya sebelum terlelap.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Nadia mengambil benda pipih itu dari saku almamaternya, melihat siapa yang mengirim pesan selarut ini.

Asep
Soal ajakan Nara tadi, lu mau ikut?

Nadia membalikkan tubuhnya, menjadi terlentang di atas kasur. Jarinya bergerak di atas layar ponselnya, mengetik kalimat untuk membalas chat dari Asep.

Nadia
Gak tau, gua khawatir buat ninggalin ibu di sini.

Asep
Oh, gitu. Ya udah, sorry ya ngechat lu malem-malem.

Nadia
No problem.

Setelah percakapan mereka selesai, Nadia menyimpan ponselnya sembarangan. Dia menutup matanya, melanjutkan skenario di dalam kepalanya.

...

Pagi harinya. Nadia membuka matanya, matanya langsung menatap ke langit-langit kamar. Cahaya matahari menyeruak masuk dari jendela kamarnya yang hanya di halangi oleh gorden transparan. Kamar yang tadinya gelap, sekarang kembali bercahaya.

Saat matanya terbuka, ia berdoa dan meminta kepada Tuhan, supaya hari ini menjadi hari yang baik. Tubuhnya seakan sudah berakar dengan kasur, Nadia sama sekali tidak mau beranjak karena merasa nyaman berbaring di atas kasurnya.

Kenyamanan itu sirna. Dia kembali menghela nafas berat. Sudut bibirnya menurun, dengan tatapan yang kembali kosong. Nadia mendengar teriakkan Rani di lantai bawah. Terdengar wanita itu sedang memaksa Sulis untuk memberikannya minuman beralkohol lagi.

Akar yang menempel di tubuh dan kasurnya seketika terputus. Nadia beranjak dari kasurnya, segera ia berjalan ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya. Setibanya di kamar mandi yang ada di lantai dua—tempat kamarnya dan kamar Rani berada—Nadia menatap dirinya sendiri dari balik cermin.

Tatapannya penuh kekesalan, kesedihan, dan dendam. Dia terus menghela nafas ketika mendengat teriakkan Rani yang memuakkan. Nadia segera mencuci wajahnya dan menggosok giginya sampai bersih. Dia berjalan menuruni tangga setelah mencuci wajahnya.

Sesampainya di lantai bawah, Nadia langsung melihat seisi ruangan yang cukup berantakan. Sulis menoleh pada Nadia setelah menyadari kehadirannya. Alisnya melengkung ke atas seolah ia sedang sedih melihat keadaan Rani yang terus mengamuk, meminta sebotol minuman beralkohol itu.

"Kasih saya minuman, Sulis! Sulis ... satu botol-"

Belum selesai Rani mengatakan keinginannya, Nadia segera mendekat dan menarik wanita itu ke dalam dekapannya. Ranj hanya menangis di bahu anaknya yang kini sudah tumbuh tinggi. Melihat itu, Sulis merasa tersentuh.

Rani mendorong tubuh Nadia hingga terlepas dari dekapannya. "Kamu ... kalo gak ada kamu, saya bisa jadi aktris. Dan- dan suami saya ...."

Rani kembali menangis tersedu-sedu, membuat hati Nadia terasa di remas kuat. Dengan sekuat tenaga, ia tahan air matanya. Nadia kembali memeluk tubuh kurus ibunya, membiarkannya menangis dan membasahi baju piyamanya.

"Ibu masih bisa jadi aktris, Nadia yakin," ujar Nadia. "Nadia janji, ibu pasti akan jadi aktris terkenal."

...

Langit yang tadinya gelap dan dihiasi bintang-bintang yang indah, kini sudah cerah dan berubah menjadi dihiasi oleh awan-awan putih. Asep membuka matanya saat keheningan berubah menjadi bising. Dia mendongakkan kepalanya, melihat keadaan seisi kelas saat ini.

Ternyata sudah ada beberapa siswa di sana, dan satu temannya yang sudah duduk siap di kursinya sambil membaca satu buku. Asep menoleh ke arah kiri, tiga laki-laki berdiri sambil bersandar pada laci kelas. Mereka sedang memandang Asep dengan tatapan yang menggangu.

Asep menyipitkan matanya, mencoba melihat dengan jelas. Dia pun kembali menurunkan kepalanya, setelah melihat salah satu dari tiga laki-laki itu adalah Juan. Tiga siswa itu sedang menunggu meja mereka yang dijadikan tempat tidur oleh Asep.

"Dua menit lagi," ujar Asep.

Melihat laki-laki itu menutup matanya kembali, membuat Juan jengkel. Dengan kesal, ia berjalan mendekat pada Asep yang masih berbaring.

"Minggir."

Asep membuka satu matanya. "Gua tau. Lu belum selesaiin tugas hari ini, kan? Makanya lu berangkat pagi-pagi buat ngerjain tugas di sini. Dan lu mau ngambil paksa buku-buku punya cewek, buat ngeliat tugas mereka dan disalin ke buku lu, kan?"

Mendengar kalimat panjang lebar dari Asep yang benar setiap katanya, tentu membuat Juan bungkam.

SARASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang