"Hey, wake up. Talk to me."
Raut penuh kelegaan Prince adalah yang pertama tertangkap oleh mataku. Aku masih bersandar pada dinding lift. Permukaan dingin itu menembus bahan pakaianku. Mengirim sensasi membekukan di sepanjang tulang punggung. Kepanikan kembali menyergap saat aku menyadari bahwa diriku masih terjebak pada situasi yang sama. Terkurung di dalam lift sempit tanpa pasokan udara. Kedua kakiku tidak dapat menopang tubuhku lagi. Kini aku duduk dengan seluruh badan gemetar hebat. Serta dada sesak tanpa oksigen.
Prince menyadari bahwa aku hampir kehilangan kesadaran lagi. Dia mengguncang bahuku agar aku tetap terjaga.
"Stay with me."
Kutekan tangan lebih kuat ke dada. Dia tidak memiliki kesulitan bernapas yang sama meski kami sama-sama terkurung di tempat sempit ini.
"I can't ... breath...." ucapku dengan susah payah. Memandang horor pada dinding yang mengurung kami. Prince mengikuti arah tatapanku. Masih bernapas normal tanpa hambatan. Sebuah pemahaman hinggap di wajahnya. Dia menekuk kedua lututku, kemudian mendorong punggungku pelan hingga aku duduk dengan posisi meringkuk.
"Breath. Slowly." Dia memerintah lembut. Mengusap punggungku yang basah oleh keringat.
"I... can't...." Napasku tersengal. Berat. Seakan ada beban tak kasatmata yang mengimpit dada.
"Yes, you can. Letakkan kepalamu di antara kedua lutut."
"I'm ... gonna ... die...."
"You're not gonna die. Look at me. Look. I'm not gonna let that happen. Now, take long and deep breaths."
Aku mengikuti perintahnya. Bernapas panjang dan dalam. Perlahan, aku merasakan oksigen mulai mengisi paru-paru. Mengaliri pembuluh darahku.
"Lebih baik?"
Aku mengangguk kecil, masih membenamkan kepala di antara lututku.
"You're claustrophobic*?"
Anggukan lagi. Dan aku memilih untuk tetap menunduk.
"Harusnya kau bilang sejak awal."
"Kupikir kau tidak bisa bahasa Inggris."
Dia mengeluarkan suara tersedak sebagai respons atas komentarku. Aku masih tidak mengangkat wajah. Meski napasku mulai teratur, rasa panik masih menderaku. Ruang sempit di sekeliling sanggup membunuhku dari dalam. Ketakutan mengambil alih akal sehatku. Air mataku luruh saat aku terisak dengan tangan memeluk lutut.
"Jangan menangis. Kau akan baik-baik saja." Prince juga terdengar panik. Meski karena alasan yang sama sekali berbeda dengan diriku.
"Tidak. Lift ini akan jatuh dan kita akan mati di dalamnya," sangkalku yakin. Aku mengubur wajah lebih dalam. Meredam tangisanku yang makin keras.
"Ini hanya mati lampu. Sebentar lagi listrik akan menyala dan lift ini akan bergerak seperti semula."
"Kau tidak tahu itu. Bisa saja listrik tidak akan pernah menyala!"
"This is New York City. Listrik tidak akan terputus selama itu." Prince mengatakannya seakan dia sedang bicara dengan anak kecil yang sedang merajuk.
"Ini gedung tua. Bisa saja hanya listrik di sini yang putus, bukan seluruh kota."
Terdengar bunyi gesekan. Kuduga itu adalah suara Prince yang menggaruk kepala bingung karena kehabisan argumen.
"I'm Adam. What's your name?"
Kepalaku sedikit terangkat, menatap tangan yang terulur ke arahku. Jadi, namanya Adam. Bukan Prince. Tentu saja bukan, rutukku dalam benak.