LIMA

117 25 75
                                    

Malam ini, Radja baru saja sampai di rumah. Ia tampak memasukkan motor sportnya ke dalam garasi secara perlahan karena ia takut mengganggu Jansen yang mungkin sudah terlelap.

Setelahnya, ia tampak beranjak menuju ke pintu masuk seraya membuka kunci pintu tersebut dengan kunci cadangan yang selalu ia bawa.

Keadaan di dalam rumah yang sudah di sewa oleh Jansen itu terlihat begitu gelap. Hanya lampu teras dan lampu dapur saja yang Jansen nyalakan malam ini.

Radja kembali menutup pintu rumah seraya menguncinya dengan rapat. Setelahnya, ia kembali beranjak menuju ke anak tangga untuk naik ke lantai dua.

“Dari mana kamu?”

Ketika ia akan menaiki anak tangga, tiba-tiba ia mendengar suara Jansen dari arah sofa ruang tengah. Radja segera mengarahkan pandangannya pada sumber suara kakaknya tersebut. Di dalam kegelapan, ia bisa melihat Jansen yang sedang duduk di atas sofa sembari menatapnya dengan tatapan yang cukup tajam.

Saat itu, Radja hanya bisa tersenyum sembari menggaruk tengkuk lehernya yang sekalipun tidak gatal. Setelahnya, ia tampak berjalan secara perlahan untuk menghampiri kakak kandungnya tersebut.

“Maaf, saya pergi tidak memberitahu Kakak,” seru Radja pada Jansen dengan menggunakan Bahasa Thailand.

“Duduk!” tegas Jansen sembari mendelik sekilas ke arah sofa di sampingnya.

Radja tampak menurut. Ia langsung duduk di sofa yang berdampingan langsung dengan sofa tempat Jansen duduk.

“Kamu tahu? Kita hanya hidup berdua di negara ini!” Jansen kembali menegaskan.

Radja mulai menganggukkan kepalanya sembari menunduk takut. “Tadinya, saya hanya ingin pergi sebentar. Tapi, setelah saya sampai di Kota Jakarta, teman saya malah melarang saya untuk pulang.”

“Dan kamu hanya bisa menurut begitu saja?” cecar Jansen. Nada suaranya terdengar sedikit meninggi.

Radja semakin menundukkan kepalanya. Bahkan, ia bisa merasakan keringat dingin mulai keluar di area tengkuknya.

“Saya hanya ingin jatuh cinta dengan benar. Sialnya, gadis itu memutuskan hubungannya dengan saya setelah saya memaksa ingin pulang,” keluh Radja dengan suara yang cukup lirih.

Jansen meraup oksigen cukup banyak. Belum ada satu tahun Radja tinggal di Negara Indonesia. Tapi, secepat ini ia bisa mempercayakan hatinya kepada seorang gadis di negara ini.

“Dengar!” Jansen kembali bersuara seraya menegaskan. “Kakak tidak melarang kamu untuk jatuh cinta. Dengan gadis mana pun, itu adalah hak kamu! Tapi, Kakak mohon ... Jangan mempermalukan dirimu sendiri di negara orang lain dengan mengenal wanita yang salah!”

Radja menganggukkan kepalanya pelan. “Saya janji, tidak akan mengulanginya lagi.”

Jansen kembali menghela napas berat. Ia hanya khawatir pada adiknya tersebut. Hanya saja, Jansen terbilang pria yang sangat kaku. Sedikit teguran seperti tadi saja, mampu membuat Radja ketakutan. Walaupun, Jansen tidak sampai membentaknya.

Karena Jansen hanya diam, Radja memutuskan untuk bangkit dari duduknya seraya berdiri. Tapi, ketika ia akan melangkahkan kakinya, Jansen kembali bersuara untuk menanyakan sesuatu padanya.

“Apa Hanny baik-baik saja?”

Seketika Radja kembali menghentikan langkahnya ketika Jansen menanyakan perihal teman baiknya tersebut.

“Dia tidak pernah menunjukkan rasa sedihnya di hadapan saya. Kalau Kakak penasaran, Kakak bisa temui dia. Kebetulan, besok jadwal kuliah kita berdua sedang kosong,” jawab Radja sembari menatap Jansen yang masih duduk di atas sofa.

SOULMATE : Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang